Faktual

Refleksi HAN 2025; Menjaga Fitrah Anak dari Embrio Intoleransi dan Radikalisasi

Saban tanggal 23 Juli, kita memperingati Hari Anak Nasional. Sebuah peringatan untuk menyadarkan seluruh elemen bangsa dan masyarakat akan pentingnya pemenuhan hak anak dalam kehidupan, tumbuh kembang, serta perlindungan terhadap diskriminasi dan kekerasan.

Salah satu tantangan kompleks yang dihadapi anak di era digital ini adalah maraknya infiltrasi paham intoleran dan radikal. Pasca mengalami kebangkrutan akibat pembubaran organisasi dan pemberangusan jaringan di lapangan, kelompok teroris ekstrem mengubah haluan gerakannya. Mereka tidak lagi fokus merancang aksi teror dan kekerasan lapangan.

Sebaliknya, mereka justru melakukan konsolidasi internal dan mengembangkan target gerakan secara jangka panjang. Salah satunya adalah dengan menarget anak-anak sebagai obyek atau sasaran propaganda paham intoleran radikal. Propaganda radikalisme dan intoleransi pada anak dianggap sebagai investasi yang menjanjikan di masa depan.

Tentu bisa dibayangkan jika anak-anak sejak dini sudah dicekoki oleh paham intoleran radikal, maka ketika dewasa mereka akan menjadi martir yang siap mengorbankan diri demi terwujudnya agenda kelompok radikal-teror.

Peringatan HAN 2025 menjadi momentum tepat untuk merefleksikan tantangan kepengasuhan anak di era banjir propaganda radikalisme dan toleransi. Ada dua hal yang patut kita pahami dalam isu ini. Pertama, kita patut mengidentifikasi pintu masuk paham radikal dan intoleran ke anak. Kedua bagaimana menutup pintu masuk tersebut.

Jika kita amati, pintu masuk paham intoleran dan radikal ke anak-anak itu bisa melalui sejumlah celah. Pertama, melalui institusi pendidikan. Saat ini marak keberadaan sekolah-sekolah berbasis Islam dengan beragam label-nya. Ada yang memakai istilah Islami Terpadu, belakangan muncul pula istilah Sekolah Sunnah.

Label itu bertujuan membangun citra alias imej bahwa sekolah tersebut mengajarkan nilai-nilai keislaman dan sesuai ajara Nabi. Dari luar, label itu tampak menjanjikan. Namun, jika menengok ke dalam, banyak sekali problem terkait model pembelajaran dan paradigma keberagamaan yang diajarkan di sekolah-sekolah tersebut.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian (tidak semua) sekolah berbasis Islam dengan label IT atau sekolah Sunnah justru kerap menjadi arena penyebaran paham intoleran dan radikal. Anak-anak dididik menjadi individu yang eksklusif, merasa diri paling benar dan paling suci lantas menganggap kelompok lain salah atau sesat.

Problem sekolah berbasis Islam baik IT maupun sekolah sunnah, bukan hanya dalam konteks lingkungan sekolah yang homogenik. Lebih dari itu, kurikulum pembelajaran pun kerap kali masih kental dengan nuansa fanatisme golongan.

Pintu masuk kedua adalah lembaga-lembaga pendidikan alquran yang biasanya menjadi sarana anak belajar mengaji pada periode paling awal belajar Islam. Keberadaan TPA (Taman Pendidikan Alquran) menyebar, tidak hanya di pedesaan, namun juga merambah kelompok urban kelas menengah. Riset yang dilakukan PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan bahwa TPA kerap menjadi salah satu media penyebaran paham intoleran, bahkan radikal pada anak.

Temuan riset tersebut menyebutkan bahwa banyak pengajar di TPA (ustad-ustadzah) yang berafiliasi dengan gerakan islam transnasional radikal seperti Hizbut Tahrir dan sebagainya. Mereka inilah yang menyebarkan pandangan intoleran ke para murid TPA. Salah satu yang lantas menjadi viral adalah yel-yel anak soleh yang memasukkan kalimat “Islam yes, Kafir No”.

Pintu masuk ketiga tiada lain adalah jaringan komunikasi di dunia may alias media sosial. Anak-anak yang dikenal aktif bermedia sosial adalah kelompok paling rentan mengalami swaradikalisasi daring. Yakni perubahan pola pikir dan pandangan keagamaan dari yang tadinya toleran-moderat menjadi intoleran-radikal akibat paparan konten keagamaan di medsos.

Anak-anak dikenal memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka juga tengah ada di fase pencarian jati diri. Termasuk dalam hal keagamaan. Di era digital, mereka belajar agama melalui beragam platform medsos, tanpa bekal ilmu dasar agama yang mumpuni.

Akibatnya mereka kerap salah memilih guru. Mereka terjebak pada kajian keagamaan ideologis dan politis yang dikemas ke dalam konten-konten yang populer dan related dengan dunia anak atau remaja. Tanpa sadar, mereka terjebak dalam proses indoktrinasi paham intoleran dan radikal. Padahal, fitrah anak itu adalah insan yang toleran. Tidak ada satu pun bayi dilahirkan dengan membawa sentimen kebencian pada liyan.

Diperlukan kolaborasi dan sinergi antara orang tua dan pemerintah dalam menjaga fitrah anak sebagai makhluk toleran. Di satu sisi, para orang tua wajib memastikan anaknya tumbuh dan berkembang di tengah ekosistem yang mengedepankan budaya toleran dan moderat. Orang tua wajib memilih sekolah yang berkomitmen pada penerapan budaya saling menghormati dan mengakui keragaman agama dan budaya.

Orang tua kiranya tidak mudah terpincut oleh label sekolah islami atau sunnah tanpa terlebih dahulu mengecek bagaimana komitmen institusi pendidikan tersebut terhadap toleransi dan moderasi beragama. Mengirim anak ke sekolah berbasis agama itu sama pentingnya dengan memilihkan sekolah yang inklusif dan toleran terhadap perbedaan. Keduanya idealnya tidak dipisahkan satu sama lain.

Selain itu, orang tua juga wajib memilihkan TPA yang para pengajarnya berafiliasi dengan ormas keislaman moderat seperti NU atau Muhammadiyah. Jangan sampai, tujuan orang tua mengirim anaknya ke TPA untuk mempelajari Alquran justru dibajak oleh para pengasong ideologi transnasional. Terakhir, orang tua wajib hadir membimbing dan mengawasi perilaku anak di media sosial.

Termasuk ketika anak-anak mengakses konten keagamaan. Pastikan anak belajar Islam dari sumber dan referensi yang sahih, dan berguru pada sosok yang tidak hanya populer, namun mendalam keilmuannya dan kuat wawasan kebangsaannya.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Seni Merawat Fitrah Anak

Dalam khazanah Islam, amanah mendidik seorang anak adalah sebuah kehormatan sakral, sebuah tugas yang menuntut…

42 menit ago

Menghadirkan Kurikulum Cinta di Sekolah Keagamaan; Ikhtiar Membangun Persaudaraan Lintas-Iman

Kementerian Agama dibawah kepemimpinan Nasauddin Umar telah meluncurkan program Kurikulum Cinta. Konsep ini merupakan refleksi…

10 jam ago

Membongkar Narasi Sekolah Islami: Antara Misi Peradaban atau Merek Dagangan ?

Di Indonesia, istilah “sekolah Islam” atau “sekolah Islami” telah menjadi merek tersendiri, yang bersaing dengan sekolah favorit lainnya. Banyak…

1 hari ago

Pendidikan yang Tergadai dan Jebakan Cinta Kelompok Ekstremis

Di tengah peringatan Hari Anak Nasional, sebuah ancaman senyap terus mengintai masa depan generasi penerus…

1 hari ago

Jaga Anak dari Virus Intoleransi: Menuju Indonesia Emas 2045

Peringatan Hari Anak Nasional bukan sekadar seremoni tahunan yang dirayakan dengan lomba mewarnai atau parade…

1 hari ago

Sudahkah Kita Kritis Memilihkan Sekolah Keagamaan untuk Anak?

Pada tahun 2018, The Conversation pernah menerbitkan tulisan tentang tipologi sekolah yang rentan terpapar paham…

2 hari ago