Kebangsaan

Refleksi Hari Kemerdekaan RI 71 Tahun Indonesia dan Tantangan Ideologi Kekerasan

Rasanya baru kemaren ketika suara lantang sang proklamator membacakan ikrar kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ucap syukur kepada Tuhan YME tentu saja terus menjadi bagian penting dalam menikmati kemerdekaan hingga saat ini. Kemerdekaan bangsa ini tidak hanya lahir dari jerih payah para pejuang dan mujahid bangsa, tetapi kemerdekaan juga dimaknai sebagai sebuah anugerah dan rekayasa Tuhan untuk bangsa Indonesia.

Usia 71 tahun bisa dikatakan masih belia untuk suatu negara yang terus membangun kesejahteraan seluruh warganya. Namun usia yang melebihi setengah abad ini semestinya merupakan usia matang bagi sebuah bangsa untuk tidak lagi meributkan dan dipusingkan dengan kebisingan kelompok yang merongrong ideologi dan falsafah negara. Kenapa ideologi ini penting dikuatkan karena kehancuran sebuah bangsa berawal dari rapuhnya ideologi dan identitas kebangsaan yang mulai pudar. Ketika warga negara mengalami erosi kebangsaan dan longgarnya ikatan konsensus nasional yang disepakati bersama, ketika itu ancaman dengan dimensi apapun mudah masuk sebagai ancaman.

Salah satu ancaman pada aspek ideologis yang kita hadapi saat ini adalah ideologi kekerasan dari kelompok radikal terorisme. Terorisme hakikatnya tidak hanya ancaman nyata pada aspek fisik keamanan dan kedaulatan, tetapi ancaman yang sesungguhnya dari terorisme adalah proses produksi dan reproduksi ideologi dan ajakan kekerasan yang dapat menggangu keutuhan bangsa. Terorisme sejatinya lahir tidak untuk merusak fisik, tetapi terorisme ingin menggiring kesadaran dan pola pikir bahwa negara sedang tidak aman, pemerintah lalai memberikan jaminan kenyamanan, dan ideologi negara saat ini tidak relevan sebagai falsafah bernegara.

Hilangnya rasa berbangsa dan bernegara menjadi target utama bagaimana menghancurkan sebuah bangsa. Mari kita lihat bagaimana sebuah negara mudah goyah ketika identitas dan ideologi kebangsaannya terkelupas dari bingkai wawasan warga negaranya. Kenapa beberapa negara di Timur Tengah mudah terusik dengan jaringan terorisme, bahkan jaringan teroris seperti ISIS bisa menguasai satu teritorial di kawasan tersebut?

Melemahnya atau bahkan hilangnya spekrum nilai berbangsa dan bernegara (nation-state) menyebabkan beberapa negara di Timur Tengah mudah jatuh menjadi negara yang gagal (failed state). Pemerintah gagal dalam memberikan layanan umum dasar kepada warganya, memberikan keamanan, dan menjaga kedaulatan seluruh wilayahnya. Ketika kekisruhan politik dan perebutan kekuasaan buta terjadi, tidak ada perekat sosial yang melekat di mana warga negara selayaknya dapat melabuhkan pijakan identitas kebangsaannya.

Agama (baca;Islam) yang sejatinya diharapkan menguatkan fungsi perekat sosial justru pudar, kalah pamor dengan menguatnya sektarianisme. Semangat persatuan nasional terbelah oleh bilik-bilik sekterian dalam beragama. Dalam kasus Suriah dan Irak masyarakat setempat telah kehilangan identitas untuk mengidentifikasi dan memiliki afiliasi diri sebagai bangsa Irak atau Suriah dan lebih memilih pada sudut sekteranisme masing-masing.

 

Kerja Nyata untuk Indonesia Damai

Hilangnya nasionalisme kebangsaan di beberapa negara yang mengalami krisis politik menjadi lahan empuk bagi para penyebar imajinasi politik ilusif bernama Khilafah. Sementara penyebaran ideologi kekerasan dan praktek terorisme dipandang sebagai jalan keluar. Poin penting yang bisa dicatat bahwa melemahnya ideologi kebangsaan, rapuhnya perekat sosial, hilangnya perasaan berbangsa dan bernegara, sejalan dengan munculnya sekterianisme yang memecah belah warga negara melalui penyusupan ideologi radikal. Virus ideologi radikal terorisme bekerja dengan cara memecah belah persatuan dan menanamkan ketidakpercayaan politik kepada pemerintah serta menyemai kebencian dan intoleransi di antara sesama warga negara.

Saya teringat dengan ceramah menarik dari Prof. Dr. Taufiq Al-Buthi, putra dari almarhum Syaikh Ramadhan Al-Buthi saat kunjungan di beberapa tempat di Indonesia. Al-Buthi menegaskan bahwa Suriah adalah contoh negara yang hampir di ambang kehancuran karena konflik bersaudara di dalam negeri. Apa yang menyebabkan Suriah dan juga Irak jatuh dalam kubangan konflik? Dengan tegas Al-Buthi menyatakan ashabul fitnah merupakan ancaman kehancuran sebuah negara sebagaimana terjadi di Suriah. Fitnah telah meluluhlantahkan jalinan persaudaraan dan kekerabatan antar warga negara di Suriah. Kelompok ekstrim menggunakan fitnah sebagai senjata memecah belah warga negara dan merongrong ideologi dan dasar negara.

Ketika suatu negara termakan fitnah dan jatuh dalam lingkaran konflik tiada akhir seperti di Irak dan Suriah, ashabul fitnah yang sejatinya kelompok kecil sangat diuntungkan dengan kegoyahan negara yang telah rapuh secara ideologis dan luntur identitas kebangsaannya. Mereka mudah membelah ikatan masyarakat yang tidak lagi mempunyai pegangan identitas dan falsafah negara yang sebagai tali kohesifitas sosial kewarganegaraan.

Inilah salah satu ancaman bangsa ini menapaki usia 71 tahun ini. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Islam disertai keragaman aliran pemikiran dan kekayaan budaya dan agama adalah potensi sekaligus tantangan. Ashbul fitnah mudah menciptakan narasi-narasi kebencian dan hasutan yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

Indikasinya ada segelintir kelompok yang lantang dan berani mengusung ideologi tandingan negara. Banyak berkeliaran hasutan, provokasi, dan kebencian yang merongrong rasa cinta tanah air, mengkafirkan negara dan mencaci para pemimpinnya. Banyak pula praktek intoleransi yang disemangati oleh sentimen kelompok keagamaan. Mereka gampang menghujat, mencaci maki, menebar kebencian dan fitnah.

Ingat! Mereka hanyalah kelompok kecil yang sedang membuat riak-riak dalam samudera besar kehidupan berbangsa. Namun, jika tidak ada tindakan tegas negara atau ketika mayoritas hanya diam dan acuh, bukan tidak mungkin riak tersebut berubah menjadi gelombang besar yang menyapu persatuan bangsa. Fenomena kelompok terorisme dengan mengusung ideologi kekerasan sebenarnya tidak hanya merongrong ideologi negara, tetapi tujuan akhirnya untuk merusak persatuan bangsa.

Kita harusnya banyak belajar dari beberapa negara gagal yang dimulai dengan keroposnya ideologi dan identitas nasional. Cara menghancurkan bangsa ini adalah dengan merongrong ideologi dan merusak keyakinan masyarakat terhadap identitas nasional. Karena itulah, kemerdekaan adalah momentum mengokohkan kembali ideologi kebangsaan dan identitas nasional. Imaji komunitas berbangsa (imagined community) harus terus melekat dalam benak seluruh bangsa.

Tuhan telah memberkahi kemerdekaan Republik ini dan menjaga kemerdekaan bangsa ini adalah bagian dari menjaga amanat Tuhan yang dianugerahkan untuk Indonesia. Mari rayakan kemerdekaan RI ke-71 dengan “Kerja Nyata” untuk Indonesia Damai, tanpa Kekerasan dan Terorisme.

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

17 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

17 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

17 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

17 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago