Di era yang semakin terseret ke pusaran digital, kita menyaksikan lanskap yang terbentuk dari percakapan tanpa akhir. Saling silang pendapat, narasi yang tak jarang berbalut kebencian, serta ketegangan identitas yang terus mengeras dalam ruang maya.
Di tengah hiruk-pikuk ini, Pancasila—yang kerap digambarkan sakti—seakan terdengar sayup. Tak bisa tidak, pertanyaan muncul: Bagaimana Pancasila, dalam makna sakral dan ideologisnya, direkontekstualisasi dalam arus deras dunia digital yang nyaris tak terkendali?
Sebagai sebuah ideologi kebangsaan, Pancasila didengungkan sejak hari-hari penuh kebimbangan ketika Indonesia muda mencari bentuknya. Ia disakralkan, diulang-ulang dalam pidato, dan ditempatkan di atas segalanya. “Kesaktian Pancasila” menjadi mantra yang menahbiskannya sebagai penangkal perpecahan, alat pemersatu di antara berbagai entitas yang berbeda agama, ras, suku, dan budaya.
Namun, dalam ruang digital hari ini, di mana kebebasan berekspresi bersanding erat dengan kebebasan menyerang, apakah kesaktian itu masih terjaga, atau hanya menjadi simbol beku yang tak lagi mempengaruhi perdebatan?
Ruang digital, seperti ruang fisik, adalah arena kontestasi. Di sana, tak ada institusi resmi yang membatasi perdebatan—setiap orang bisa menjadi pewarta kebenaran (atau kebohongan), dan setiap individu seolah bisa berteriak lebih lantang daripada negara itu sendiri. Polarisasi di ruang digital, yang kita lihat dalam perdebatan tentang politik identitas, agama, hingga ekonomi, menyeret kita ke titik ekstrem.
Di sinilah tantangan utama Pancasila: bisakah ia bertahan sebagai nilai yang hidup di tengah jejaring virtual yang lebih cenderung memperbesar perbedaan ketimbang mengharmoniskan?
Dalam ranah digital, Pancasila tidak lagi cukup sekadar dinyatakan. Ia harus dihidupkan melalui reinterpretasi yang kontekstual. Sila-sila dalam Pancasila harus berbicara dengan bahasa zaman ini—bahasa tagar, algoritma, dan viralitas—agar kesaktiannya terasa relevan.
Ketuhanan yang Maha Esa, misalnya, bagaimana ia harus diartikulasikan dalam percakapan yang penuh dengan sindiran atheisme atau fanatisme agama yang merajalela? Atau, kemanusiaan yang adil dan beradab, ketika ruang digital kerap menjadi tempat di mana kekerasan verbal, fitnah, dan ujaran kebencian merajalela? Apakah prinsip kemanusiaan itu harus diteriakkan dalam kicauan di Twitter atau diungkapkan dalam filter-filter gambar yang berisi pesan-pesan damai di Instagram?
Lebih jauh, Pancasila juga seharusnya menjadi filter moral di tengah arus deras informasi yang terkadang memanipulasi. Prinsip “Persatuan Indonesia” terasa sangat rapuh ketika dunia digital justru memperdalam jurang perpecahan. Bagaimana kita bisa bersatu ketika aliran informasi memisahkan masyarakat dalam kotak-kotak ideologi yang semakin kaku, ketika algoritma media sosial lebih mengutamakan keterlibatan (engagement) daripada kebenaran?
Di sini, nilai persatuan yang digagas oleh Pancasila diuji secara fundamental: ia harus menjadi penyeimbang yang menyatukan spektrum perbedaan dalam ruang digital yang tak kenal batas.
Bahkan, di dalam era digital yang penuh tekanan, demokrasi itu sendiri terancam oleh desakan populisme yang berkembang subur dalam ruang maya. Konsep “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” tampak semakin kabur, terlepas dari semangat deliberatif yang diusung Pancasila.
Ruang digital, ironisnya, memberi platform bagi politik yang serba tergesa-gesa, dangkal, dan kerap emosional, di mana permusyawaratan dan kebijaksanaan tampak hilang dalam hiruk-pikuk opini publik yang manipulatif. Algoritma menggiring kita untuk memihak cepat, memilih jalan pintas emosional, dan menyulut ketegangan.
Maka, dalam ruang digital yang tak ada batas, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia—sebagai sila kelima—harus dilihat bukan hanya sebagai hak dalam distribusi materiil, tetapi juga sebagai keadilan informasi. Kesenjangan digital adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri, di mana akses internet yang tidak merata menciptakan ketidakadilan baru: kesenjangan informasi.
Siapa yang mendapat akses informasi, siapa yang bisa bersuara di ruang maya, dan siapa yang tenggelam dalam keramaian adalah masalah yang merongrong keadilan sosial kita. Algoritma digital yang menciptakan “bubble” informasi juga mempersempit pandangan, menimbulkan ketidakadilan dalam cara kita memahami realitas bersama.
Harus ditegaskan bersama, bahwa Pancasila tidak bisa menjadi doktrin statis yang hanya dihafalkan dalam upacara-upacara kenegaraan. Ia harus meresap dalam percakapan sehari-hari, menjadi kompas moral di tengah kebisingan virtual, sekaligus menawarkan ruang untuk kebijaksanaan dalam perdebatan.
Dengan demikian, rekontekstualisasi Pancasila dalam dunia digital bukan hanya sekadar menjaga simbol, melainkan menyelamatkan nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi tiang penyangga keberagaman Indonesia.
Tentu, rekontekstualisasi ini menuntut keterlibatan semua pihak—dari pemerintah hingga masyarakat, dari pengguna individu hingga raksasa platform digital. Pemerintah mungkin bisa merancang kebijakan yang mengatur lalu lintas informasi di ruang maya, tetapi tanpa kesadaran kolektif untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam percakapan digital, yang kita dapatkan hanyalah regulasi tanpa ruh.
Di sinilah letak tantangannya: bagaimana nilai-nilai Pancasila menjadi tidak hanya slogan normatif, tetapi juga prinsip hidup dalam dunia yang lebih cepat menghakimi ketimbang memahami.
Pada akhirnya, Pancasila bukanlah dogma yang kebal perubahan zaman. Ia adalah prinsip hidup yang harus terus diuji relevansinya di setiap era—termasuk era digital ini. Jika kita benar-benar percaya bahwa Pancasila sakti, maka kita harus bisa membuktikannya di dunia digital yang dinamis, di mana kebisingan dan perpecahan sering kali mengalahkan harmoni dan kebersamaan.
Kesaktian Pancasila bukan hanya ada pada masa lalu, tetapi dalam bagaimana ia bisa menjadi suara moderasi yang tegas di tengah riuh rendah ruang maya masa kini.
This post was last modified on 23 Oktober 2024 2:58 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…