Narasi

Relevansi Kartini Sebagai Jihad Literasi

Tanggal 21 April beberapa waktu lalu diperingati sebagai hari Kartini. Spirit Kartini sejatinya menjadi momentum bagi Kartini-kartini Indonesia untuk menegakkan jihad literasi. Sebab, perempuan menjadi salah satu garda terdepan untuk melawan berbagai aksi propaganda melalui media sosial. Mengapa perempuan menjadi peran penting dalam memerangi intoleran dan isu-isu radikal terutama di media sosial? Karena perempuan dianggap lebih bersikap menolak ajaran-ajaran radikalisme.

Ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh oleh Wahid Foundation, bersama United Nation Women dan Lembaga Survei Indonesia, diketahui perempuan lebih menolak bersikap radikal dibanding laki-laki. Dari survei dilakukan pada Oktober 2017 itu terungkap bahwa perempuan memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai dibanding laki-laki dan juga soal perspektif keagamaan sehingga dianggap lebih bebas. Lebih jauh lagi, perempuan lebih banyak mendukung hak kebebasan menjalankan kebebasan agama atau kepercayaan dibanding laki-laki. Jadi kalau perempuan angkanya 80,7%, sementara laki-laki 77,4%.

Terlepas dari paparan data yang dikemukakan di atas, kita memang tidak boleh terlena dan berpangku tangan terhadap gejala-gejala yang berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan. Pasalnya, ajaran-ajaran yang radikal akan terus digalakkan oleh kelompok-kelompok tidak bertanggung jawab untuk merusak kehidupan berbangsa. Karenanya, menjadi sangat relevan apabila semua elemen harus saling menjaga agar embrio radikalisme tidak berkembang.

Secara umum, ada beberapa gejala sosial yang berpotensi menjadi ladang ajaran radikalisme. Pertama, kondisi sosial-politik yang terjadi sekarang ini. Dalam konteks politik, ajaran radikalisme kerap menyusup kepada isu-isu politik untuk mengacak-acak keutuhan bangsa. Perbedaan pandangan, pilihan, suku, agama, dan kepercayaan menjadi ladang paling empuk bagi kelompok radikal untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat dibenturkan dengan dalih tidak seagama, beda kulit, dan beda keyakinan.

Gejala-gejala seperti ini lazim ditemukan dalam aktifitas politik saat ini, dimana kelompok tertentu dengan mudahnya menuduh satu sama lain anti-Islam, kafir, non pribumi, dan melecehkan ajaran-ajaran tertentu. Isu ini terus digoreng menjadi isu publik. Parahnya lagi, masyarakat dengan gegap gempita menerima isu tersebut dan ditelan mentah-mentah. Bahkan tidak ada lagi perbedaan jender dalam menangkap isu-isu tersebut. Laki-laki dan perempuan berbondong-bondong memviralkan isu-isu tersebut.

Kedua, rendahnya literasi digital terhadap perempuan, terutama ibu rumah tangga. Jika kita mengamati perkembangan perempuan di Desa, tidak sedikit yang merespon pemberitaan yang mengatasnamakan agama, sebagai bagian dari pemusnahan keyakinannya. Sebagai contoh kongkret adalah isu munculnya PKI, dan pelarangan adzan di Masjid. Padahal jika ditelusuri, itu semua merupakan berita bohong (hoaks) yang sengaja disebar melalui kanal-kanal berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Namun nahasnya, masyarakat desa lebih cenderung ketakutan ketimbang merespon dengan pendekatan lebih arif dan bijaksana. Hal itu semua terjadi tentu saja karena minimnya pendidikan literasi digSital.

Penulis meyakini masih banyak perempuan-perempuan di berbagai pedesaan yang melek literasi. Namun sayang, sumber daya yang melimpah tersebut tidak dimanfaatkan oleh aparat desa untuk menjadi perempuan-perempuan yang dapat melakukan jihad literasi. Mereka menganggur karena tidak digerakkan oleh aparat pemerintah daerah. Imbasnya, berita bohong, isu-isu radikal tidak dapat dicegah.

Padahal jika perempuan-perempuan melek literasi dimanfaatkan, itu lebih mudah diterima oleh masyarakat, mengingat perempuan merupakan orang yang lebih paham psikologi masyarakat ketimbang laki-laki. Perempuan juga lebih diterima karena dianggap lebih lembut dalam menyampaikan pendapat. Oleh sebab itu, pemerintah harus memanfaatkan SDM yang ada di berbagai daerah terutama perempuan sebagai ujung tombak pendidikan literasi digital. Pemerintah bisa bekerjasama dengan taman-taman bacaan masyarakat yang sudah berdiri di desa-desa. Taman bacaan tidak hanya digunakan untuk memerangi buta aksara atau meningkatkan melek aksara. Namun juga melek literasi digital. Dengan begitu, TBM dapat berfungsi ganda sebagai jihad melek aksara dan melek literasi.

Akhirnya, spirit hari Kartini harus dimanfaatkan dengan baik oleh semua elemen masyarakat. Spirit Kartini menjadi sangat relevan untuk menumbuhkan semangat perempuan-perempuan di desa sebagai ujung tombak literasi.  Dengan begitu, hari Kartini tidak terlewatkan begitu saja, namun dapat menjadi pemantik jihad literasi.

Aminuddin

Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan aktif menulis di berbagai media massa lokal dan nasional

Recent Posts

Bertauhid di Negara Pancasila: Menjawab Narasi Radikal tentang Syariat dan Negara

Di tengah masyarakat yang majemuk, narasi tentang hubungan antara agama dan negara kerap menjadi perbincangan…

10 jam ago

Penangkapan Remaja Terafiliasi ISIS di Gowa : Bukti Nyata Ancaman Radikalisme Digital di Kalangan Generasi Muda

Penangkapan seorang remaja berinisial MAS (18 tahun) oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri di Kabupaten…

10 jam ago

Jalan Terang Syariat Islam di Era Negara Bangsa

Syariat Islam dalam konteks membangun negara, sejatinya tak pernah destruktif terhadap keberagaman atau kemajemukan. Syariat…

10 jam ago

Pancasila : Jalan Tengah Menerapkan Syariat di Tengah Pluralitas

Di jantung kepulauan Nusantara, tersembunyi kearifan-kearifan purba yang tak lekang oleh waktu. Dari tanah Sulawesi,…

2 hari ago

Rekontruksi Tafsir “Syariat” di Negeri Multikultural

Setiap manusia dalam lingkaran kehidupannya pasti selalu dikelilingi dengan aturan-aturan syariat. Karena di dalam syariat…

2 hari ago

Benarkah Menolak Formalisasi Syariah Berarti Anti-Islam?

Agenda formalisasi syariah tampaknya masih menjadi isu seksi yang terus digaungkan oleh kelompok radikal teroris.…

2 hari ago