Tahun 2020 ialah tahun krusial bagi bangsa Indonesia. Pasca Pilpres 2019 yang menyisakan polarisasi politik, kita sibuk menenun ulang komitmen kebangsaan kita. Di level elite, jalan rekonsiliasi itu ditempuh melalui jalur politis, yakni mengajak kelompok oposisi bergabung dengan pemerintah. Upaya ini sedikit-banyak mengurangi ketegangan dan memperkuat stabilitas politik nasional. Sayangnya, di level akar rumput, polarisasi politik itu justru kian meruncing. Hal itu tampak pada maraknya ujaran kebencian dan narasi intoleransi di dunia maya. Internet menjelma menjadi ruang menebar hasutan kebencian yang berpotensi meretakkan ikatan kebangsaan.
Kini, tahun 2020 sudah ada di ujung penghabisannya. Lembar baru tahun 2021 menunggu untuk diisi. Pertanyannya, apakah kita akan memasuki tahun baru dengan spirit lama, yakni spirit kebencian dan intoleransi? Jika demikian, maka sesungguhnya kita adalah bangsa yang tidak pernah mau belajar dari kesalahan. Kita gegap gempita merayakan tahun baru, bahkan memaksakan berlibur di tengah ancaman pandemi. Namun setelahnya, kita justru melanggengkan kebencian dan intoleransi di dunia maya. Tahun baru idealnya menjadi momentum untuk melahirkan spirit baru yang lebih baik. Dalam konteks kebangsaan kita saat ini, spirit baru itu idealnya mewujud ke dalam konsolidasi masyarakat dalam menghalau kebencian dan intoleransi di dunia maya.
Kita tahu bahwa tahun 2021 ialah tahun yang tidak akan mudah untuk kita lewati. Pandemi kemungkinan besar masih akan mengancam, meski vaksin sudah tersedia. Pemulihan ekonomi juga akan membutuhkan kerja keras semua pihak. Namun, kita patut menatap tahun 2021 dengan optimistik. Kita ialah bangsa besar yang berpengalaman menghadapi ujian besar, mulai dari bencana alam, krisis ekonomi hingga gejolak politik. Pandemi kiranya dapat dikendalikan dengan vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan ketat. Ekonomi nasional akan segera pulih dengan bangkitnya ekonomi global. Sedangkan wabah intoleransi dan kebencian di dunia maya hanya bisa dihalau dengan komitmen penuh dan kerjasama seluruh elemen masyarakat.
Kebencian dan Intoleransi Sebagai Ekses Kebangkitan Populisme Kanan
Cherian George dalam bukunya The Spin of Hate menjelaskan bahwa wabah intoleransi dan kebencian di dunia maya maupun di dunia nyata tidak hanya berakar pada perbedaan agama atau politik di masyarakat itu sendiri. Lebih dari itu, kebencian dan intoleransi merupakan ekses dari oportunisme politik yang dipertontonkan oleh para elite untuk memobiliasi dukungan dan menyingkirkan lawannya. Cherian ingin mengatakan bahwa intoleransi dan kebencian di dunia maya erat kaitannya dengan fenomena kebangkitan populisme sayap kanan (right-wing populism) yang mengusung isu politik identitas sebagai komoditas utama meraih dukungan elektoral.
Amatan Cherian ini relevan untuk melihat situasi Indonesia satu dasawarsa terakhir. Semburan kebencian dan intoleransi di dunia maya mulai masif bersamaan dengan memanasnya kontestasi politik pada Pilpres tahun 2014. Perbedaan identitas SARA kala itu mencuat sebagai isu yang menonjol dalam perdebatan politik kita. Di saat yang sama, fitnah dan ujaran kebencian membanjiri kanal dunia maya kita. Kondisi itu menemukan puncaknya pada dinamika Pilkada DKI tahun 2017 yang bisa jadi merupakan hajatan politik lokal paling panas sepanjang sejarah.
Banyak pengamat internasional memprediksikan Indonesia akan mengalami konflik sosial akibat masifnya ujaran kebencian dan intoleransi di dunia maya. Beruntung, meski dunia maya panas, namun di lapangan relasi sosial kita nisbi masih adem-ayem. Meski demikian, kita tetap tidak bisa bersikap santai apalagi abai pada dinamika yang terjadi di dunia maya. Bagaimana pun juga, internet terutama media sosial telah menjadi instrumen penting pembentukan opini publik. Kini, meski kondisi politik kita relatif normal dan stabil, nyatanya dunia maya tidak pernah sepi dari narasi kebencian dan intoleransi. Hal itu terjadi lantaran masih ada sejumlah pihak yang berupaya merawat kebencian dan intoleransi di dunia maya. Mereka ialah kelompok-kelompok yang tidak menghendaki Indonesia damai.
Jumlah mereka memang sedikit, namun mereka aktif mengampanyekan propaganda negatifnya di dunia maya. Maka, menjadi wajar jika mereka memiliki jaringan dan modal sosial yang kuat. Maka, penting kiranya kita melakukan konsolidasi untuk merapatkan barisan demi menghalau kelompok oportunis tersebut. Di saat yang sama, kelompok masyarakat sipil moderat selama ini cenderung menempatkan diri sebagai silent majority dan lebih banya diam melihat manuver kaum ekstremis yang mengacak-acak tatanan kebangsaan.
Tidak hanya itu, di lapangan gerakan masyarakat sipil juga terfragmentasi ke dalam isu-isu parsial. Jaringan masyarakat sipil yang terbentuk sejak dekade 1980-an masih terkotak-kotakkan dalam gugus-gugus kecil yang seolah tidak saling terhubung dan hanya memperjuangkan isu atau agendanya masing-masing. Misalnya, aktivis lingkungan hidup begitu vokal menyuarakan isu kerusakan lingkungan hidup, namun acap abai pada kasus kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok ekstremis. Begitu pula pejuang HAM yang gigih membela kelompok marjinal namun acap apatis pada wacana pluralisme dan toleransi agama. Atau para pembela feminisme yang kerap tidak aktif dalam isu-isu melawan ekstremisme.
Konsolidasi dan Sinergi Gerakan Masyarakat Sipil
Di titik ini, gagasan equivalence of chain sebagaimana diperkenalkan oleh Gayatri Spivak menjadi sangat relevan kita kembangkan. Gagasan equivalance of chain diperkenalkan Spivak lantaran melihat gerakan sosial di negara-negara bekas jajahan (AS dan Eropa) yang cenderung terfragmentasi ke dalam isu-isu parsial dan sporadis. Menurut Spivak, gerakan sosial di sejumlah negara berkembang lebih banyak dikonstruksi oleh nalar poskolonialis yang cenderung tidak mengakar pada isu-isu krusial yang terjadi di masyarakat. Akibatnya, justru persoalan mendasar yang terjadi di sebuah negara menjadi terabaikan. Argumen Spivak ini menarik untuk melihat kondisi Indonesia saat ini.
Kita tentu menaruh apresiasi setinggi-tingginya pada gerakan sosial berbasis isu-isu civic values seperti HAM, keadilan gender, pembangunan berwawasan lingkungan dan lain sebagainya. Namun, adalah hal yang ironis jika gerakan-gerakan itu justru berjalan sendiri-sendiri dan pada akhirnya seolah saling menafikan satu sama lain. Sementara di saat yang sama, kelompok ekstremis nyaris kompak satu suara dalam mengampanyekan gagasan intoleransinya. Jika demikian adanya, maka bisa dikatakan para pejuang toleransi dan pluralisme tengah berjuang sendirian membendung arus intoleransi dan radikalisasi di dunia maya.
Berkaca pada kondisi itu, kita memerlukan sebuah konsolidasi untuk menata kembali gerakan masyarakat sipil. Persoalan kebencian dan intoleransi di dunia maya ialah persoalan seluruh elemen gerakan masyarakat sipil, apa pun konsern yang diusungnya. Maka dari itu, penting untuk membangun kesadaran di kalangan pegiat gerakan masyarakat sipil untuk berpartisipasi aktif menghalau narasi intoleransi dan ujaran kebencian di dunia maya. Jejaring masyarakat sipil dengan berbagai latar belakang, mulai dari ulama, akademisi, aktivis sampai masyarakat umum idealnya berperan aktif menyuarakan pesan perdamaian dan toleransi di dunia maya. Narasi kebencian dan intoleransi harus dilawan dengan narasi perdamaian dan persatuan. Masyarakat sipil berkarakter moderat-progresif harus bersinergi menutup ruang gerak kaum ekstremis. Hanya dengan konsolidasi itulah, kekuatan kaum ekstremis-oportunis penyebar kebencian dan intoleransi dapat dilumpuhkan dan dikunci ruang geraknya.
This post was last modified on 29 Desember 2020 11:12 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…