Sebelum memasuki tahun baru 2025, adalah hal yang penting untuk melakukan retrospeksi. Istilah retrospeksi berarti melihat kembali peristiwa atau pengalaman di masa lalu untuk belajar dan memperbaiki diri. Retrospeksi dibutuhkan agar kita tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.
Jika melihat perjalanan setahun ke belakang, kita patut berbangga atas capaian bangsa ini. Kita berhasil menyelenggaran pesta demokrasi dengan aman dan damai. Pesta demokrasi 2024 bahkan steril dari politik identitas dan politisasi agama. Di saat yang sama, kita berhasil mempertahankan kondisi zero attack terrorism. Pembubaran diri Jamaah Islamiyyah secara sukarela juga menambah daftar capaian di tahun 2024.
Namun, di sisi lain, tahun 2024 juga menandai kebangkitan propaganda radikalisme daring. Di tahun 2024, jumlah situs keislaman yang mempromosikan paham salafisme-wahabisme melonjak drastic. Demikian juga akun-akun medsos yang berafiliasi dengan gerakan salafisme-wahabisme terus beranak-pinak dan melakukan gerilya di digital di medsos. Sasaran mereka adalah generasi digital native dan generasi Z.
Di era pra-digital, paham salafisme-wahabisme banyak disebarluaskan melalui media konvensional, yakni lembaga pendidikan, pengajian umum, selebaran, dan buku-buku yang dibagikan gratis.
Wahabisme Berkedok Kajian Sunnah dan Islam Salaf
Kini, di era digital paham salafisme-wahabisme lebih banyak disebarluaskan melalui kanal-kanal media sosial seperti Instagram, Youtube, dan TikTok. Ciri khas mereka adalah kerap menambahkan kata-kata “sunnah” atau “salaf” dalam nama akun media sosialnya.
Media sosial yang berafiliasi dengan paham wahabisme dan salafisme ini umumnya membahas fiqih-fiqih praktis dalam kehidupan. Misalnya, fiqih pernikahan, kiat-kiat keluarga bahagia ala Rasulullah, cara mendapat rezeki yang melimpah, tips mendidik anak, dan sejenisnya. Sekilas, tidak ada yang bermasalah dari konten-konten akun medsos salafi-wahabi itu. Namun, jika diamati lebih detil lagi, mulai tampak sejumlah hal problematik.
Antara lain, kecenderungan untuk berpikir tekstualis, dalam artian menganggap teks keislaman sebagai satu-satunya sumber kebenaran agama. Juga kecenderungan untuk bersikap fanatik, yakni menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar.
Yang paling berbahaya dari konten-konten akun medsos salafi-wahabi itu adalah seruan untuk memurnikan ajaran Islam dengan cara membenturkan ajaran Islam dengan kearifan lokal, ideologi Pancasila, serta konstitusi UUD 1945.
Seruan pemurnian Islam ini memang menjadi ciri khas gerakan wahabi-salafi. Maka, tidak mengherankan jika Khaled Abou el Fadl menjuluki wahabi-salafi ini sebagai kelompok puritan paling berbahaya dalam Islam. Mereka memang tidak secara langsung menyuruh pengikutnya untuk membunuh atau memerangi kelompok yang berbeda.
Namun, fatwa-fatwa ulama wahabi-salafi rentan dijadikan sebagai dalil pembenaran atas tindakan teror dan kekerasan. Dan itu yang terjadi selama ini. Teroris seperti Taliban, Al Qaeda, bahkan Jamaah Islamiyyah kerap mengutip fatwa ulama wahabi-salafi untuk menjustifikasi tindakan teror yang mereka lakukan.
Jangan Permisif pada Wahabisme
Maka, kita tidak boleh permisif dengan penetrasi akun-akun medsos berkedok ajaran sunnah atau salaf, padahal isinya adalah propaganda wahabisme. Akun-akun itu memang tidak secara langsung menyuruh berbuat kekerasan, namun sekali lagi, pandangan keagamaan yang intoleran dan anti-kebangsaan rawan dijadikan sebagai dasar hukum untuk melakukan kekerasan dan teror pada kelompok lain.
Pada titik tertentu, kita patut khawatir bahwa masifnya penetrasi akun medsos salafi-wahabi itu akan melahirkan para jihadis gen z. Kekhawatiran ini valid mengingat generasi z adalah kelompok yang paling aktif di dunia maya saat ini. Mayoritas dari mereka juga belajar agama melalui medsos. Ironisnya, jujugan mereka adalah kanal-kanal yang terafiliasi dengan salafi-wahabi.
Jika merujuk pada data terakhir, para pelaku aksi terorisme didominasi oleh kelompok milenial, dan sisanya adalah gen z. Bukan tidak mungkin, di tahun-tahun mendatang, jumlah jihadis gen z akan semakin bertambah, seiring dengan kian masifnya penetrasi ajaran wahabi melalui medsos. Disinilah pentingnya sinergi bersama antara pemeritah dan masyarakat untuk membendung popularitas wahabi-salafi.
Umat Islam, terutama gen z harus mampu mengidentifikasi diseminasi paham wahabisme-salafisme di media sosial. Gen z yang awam akan Islam kiranya jangan mudah terkecoh dengan kajian atau konten yang berlabel sunnah atau salaf. Jangan buru-buru terpesona label “sunnah” atau “salaf” sudah pasti merepresentasikan Islam yang paling benar atau murni.
Sebenarnya label “sunnah” atau “salaf” ini tidak hanya marak di medsos saja. Di dunia nyata kini muncul banyak lembaga pendidikan yang juga memakai embel-embel “sunnah” atau “salaf”. Seperti “sekolah sunnah” yang rajin dipromosikan oleh seorang influencer yang juga berafiliasi dengan wahabi. Atau “pondok salaf” yang isinya mengajarkan pandangan-pandangan dari ulama-ulama wahabi.
Fenomena ini harus diwaspadai oleh umat Islam. Para orang tua harus selektif memilih lembaga pendidikan untuk anak-anaknya. Jangan hanya terbuai oleh label “sunnah” atau “salaf”, namun wajib dipastikan kurikulum dan materi pembelajarannya. Jangan sampai generasi yang diharapkan menjadi penerus bangsa itu justru menjadi jihadis-jihadis baru yang menebar teror dan kerusakan.
Memasuki tahun 2025, Indonesia patut berbangga atas pencapaian yang telah diraih selama dua tahun terakhir…
Namun sudahkah manusia memahami perihal mencintai dengan baik? Bagaimana jika sesuatu itu tidak indah, apakah…
Tahun baru yang jatuh pada Rabu (1/1/2025) bertepatan dengan bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah…
Tahun 2024 menorehkan berbagai peristiwa yang menuntut refleksi mendalam, khususnya terkait dengan harmoni antarumat beragama.…
Melihat kembali perjalanan tahun 2024 kita akan disuguhi lanskap keagamaan yang menarik. Di satu sisi,…
Di tahun 2024, Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam hubungan beragama. Pada era pilkada, muncul tantangan…