Narasi

“Ronda Kedamaian” di Media Sosial

Belakangan, publik dikejutkan dengan kabar pelbagai kasus kekerasan dan teror yang menimpa tokoh-tokoh agama dan rumah ibadah. Di awal tahun ini, setidaknya ada lima kasus kekerasan menimpa ustad, ulama, dan gereja (pendeta dan jemaatnya). Mulai dari penganiayaan seorang kiai di sebuah pesantren di Bandung, teror yang dilakukan seorang pemuda di sebuah masjid di Bandung, serangan yang menyebabkan meninggalnya Komandan Brigade PP Persis, pengeroyokan terhadap pemuka agama di Palmerah Jakarta Barat, dan yang baru saja terjadi beberapa hari lalu, penyerangan pada jemaat Gereja Santa Lidwina Sleman oleh seorang pria tak dikenal.

Terlepas dari motif pelaku kekerasan dari setiap kasus yang belum jelas, kabar-kabar tentang tindak kekerasan yang menimpa tokoh dan umat beragama tersebut rentan menjadi bahan propaganda pemecah belah. Kabar-kabar kekerasan tak jarang digunakan sebagai alat untuk menghasut dan menyebarkan kebencian pada kelompok tertentu. Bahkan, bukan tidak mungkin pelbagai kasus tersebut kemudian digunakan untuk mengadu domba masyarakat.

Tentu, kita sangat menyayangkan terjadinya pelbagai peristiwa kekerasan tersebut. Kita juga perlu mengecam tindakan para pelaku teror dan tindak kekerasan tersebut. Sebab, di samping menimbulkan keresahan di masyarakat, tindakan kekerasan dan teror tersebut bisa merusak persaudaraan dan keharmonisan yang sudah terjalin di tengah masyarakat. Namun, di tengah ramainya pelbagai kecaman dan emosi publik tersebut, kita tetap harus bisa bersikap bijak. Jangan sampai kita mudah melontarkan klaim yang gegabah dalam menilai setiap kejadian.

Sebab, di tengah membanjirnya informasi di era media sosial saat ini, kasus-kasus yang belum jelas dan masih dalam proses penyelidikan pihak berwajib, seringkali sudah diklaim untuk memojokkan kelompok atau pihak tertentu. Media-media provokator akan menjadikan setiap kasus sebagai bahan untuk mengadu domba masyarakat. Dari sini, tersebarlah pelbagai kabar provokatif, terutama di media-media sosial. Ketika kabar-kabar provokatif menyebar, masyarakat yang belum mengetahui secara tuntas dan mengerti kronologi kejadian setiap kasus, tak jarang akan mudah terprovokasi, sehingga meluapkan emosi dan amarah di media sosial. Di sinilah, potensi terjadinya pertikaian di dunia maya akan semakin besar.

Di tengah maraknya tindak kekerasan dan risiko penyebaran kabar-kabar provokatif tersebut, menjadi penting bagi kita semua untuk selalu waspada. Jangan sampai kita terpecah-belah hanya karena tindakan satu dua orang oknum. Di media sosial, jangan sampai kita saling menghujat, menghina, bertikai dan bersitegang hanya karena berita-berita yang mengabarkan peristiwa penyerangan dan kekerasan secara provokatif. Kita mesti mengupayakan agar lingkungan dunia maya bisa tetap aman, damai, dan tidak menjadi tempat yang menumbuhkan benih-benih kekerasan dan perpecahan.

Seperti dijelaskan dalam editorial Jalandamai (12/2), salah satu hal yang relevan untuk diupayakan bersama saat ini adalah bagaimana menciptakan konsep, strategi, atau sistem keamanan lingkungan (siskamling) media sosial. Nilai-nilai dan spirit siskamling, di mana sebuah komuntas masyarakat bahu-membahu menjaga keamanan lingkungan, menjadi hal yang menarik diadobsi di media sosial. Sebab, sebagaimana dunia nyata, media sosial atau dunia maya juga perlu dijaga bersama agar tidak menjadi tempat yang justru melahirkan kekerasan, pertikaian, dan kekerasan.

Ronda kedamaian

Siskamling pada dasarnya sudah menjadi budaya di masyarakat sejak dulu. Masyarakat pedesaan biasanya bergantian melakukan ronda malam untuk menjaga keamanan lingkungan dan menghindari pelbagai tindak kejahatan seperti pencurian, kejahatan, sekaligus mengupayakan peringatan dini ketika terjadi bencana alam. Jika melihat sejarah, kemunculan dan tujuan siskamling terus berubah seiring laju zaman dan dinamika kehidupan masyarakat.

Di era kolonial, bangsa penjajah melibatkan warga sipil dalam sistem keamanan lingkungan karena tingginya tingkat kriminalitas. Adapun sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang kita kenal saat ini muncul pada 1981 yang didahului pelbagai persoalan dalam negeri, mulai gejolak politik hingga kriminalitas. Saat itu, Kepala Polisi Awaloedin Djamil menggagas bentuk pengamanan swakarsa, dari ronda kampung atau siskamling di sektor tradisional hingga industrial security seperti satpam. Sajak saat itu, dibentuklah pos keamanan lingkungan (poskamling) di kota-kota hingga pelosok desa (historia.id, 20/10/2010).

Kini, zaman telah jauh berubah. Ancaman terhadap keamanan tak sekadar muncul dari tindak kejahatan di lingkungan sekitar atau dunia nyata, namun juga bisa bermula dari pertikaian di dunia maya. Di media sosial terutama, orang dengan mudah bisa bertikai, melontarkan caci maki dengan sesama hanya karena kabar provokatif. Tak jarang, pertikaian tersebut kemudian menjalar dan meluas hingga mengancam keharmonisan hidup bersama. Di sinilah, penting bagi kita untuk membangun kesadaran bersama agar selalu mengupayakan keamanan di dunia maya atau media sosial.

Budaya siskamling yang ada di masyarakat bisa diadobsi nilai-nilai dan spiritnya untuk menciptakan keamanan dan kedamaian di dunia maya. Jika zaman dahulu orang berjaga-jaga di pos ronda untuk menjaga lingkungan dari pelbagai tindak kejahatan maupun sebagai antisipasi dini ketika terjadi bencana alam, kini orang-orang di media sosial (warganet) bisa melakukan “ronda kedamaian” dengan selalu mengedepankan sikap bijak dalam beraktivitas di media sosial. Setiap warganet harus berupaya menciptakan kesejukan dan mengantisipasi berkembangnya isu-isu atau kabar provokatif di ruang maya.

Ketika sebuah isu beredar dan menciptakan kegaduhan di media sosial, warganet yang punya kesadaran untuk “ronda kedamaian” harus bisa mengantisipasi agar kegaduhan tak semakin luas. Di tengah perbedatan di kalangan warganet, kita perlu menjadi penengah dan mengantisipasi agar perbedatan tak merunjing dan berubah menjadi pertikaian. Memang ini tak mudah, sebab informasi di media sosial menyebar sangat cepat dan sulit dikendalikan. Namun, jika setiap individu memiliki kesadaran untuk selalu “beronda menjaga kedamaian” di media sosial, setidaknya kita bisa meminimalisir risiko terjadinya pertikaian agar tidak semakin meluas.

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago