Mungkin masih ada dari kita yang familiar dengan gerakan “Stop Making Stupid People Famous”. Gerakan ini sempat tenar pada beberapa tahun yang lalu. Gerakan tersebut cukup bisa mengambil perhatian masyarakat. Pasalnya terdapat beberapa kelompok masyarakat yang berteriak lantang akibat kejenuhan yang mereka rasakan tatkala melihat dunia hiburan yang terkesan mengutamakan pemunculan hal-hal konyol dan mengabaikan keinginan kalangan lain yang ingin menikmati acara yang berbeda.
Salah satu latar yang menyebabkan kejenuhan masyarakat yang cukup tinggi tersebut adalah tenarnya sebuah hal yang jauh dari kata mencerdaskan, namun sangat disukai khalayak ramai. Sehingga para penikmat informasi dengan genre yang berbeda terpaksa harus kehilangan haknya untuk memperoleh bentuk-bentuk informasi yang diharapkannya hadir. Bisa dikatakan hak-hak yang mereka miliki untuk menikmati acara yang berkualitas harus dikangkangi oleh persoalan rating dan popularitas.
Bila kita kemudian memahami hal tersebut dan meletakkannya pada sebuah frame berfikir, sambil melihat kenyataan yang belakangan ini hadir dan meresahkan banyak pihak, yaitu tentang Informasi bohong (hoax). Maka kita akan mendapati bahwa adanya kemiripan fenomena tersebut dengan membanjirnya hoax di tengah-tengah masyarakat. Terdapat kesamaan, namun jelas perbedaan pun hadir. Salah satu Perbedaan yang mendasar adalah fenomena stop making stupid people famous mengarahkan kritiknya kepada orang per-orang yang muncul tiba-tiba dalam dunia hiburan meskipun yang dihadirkannya hanyalah sebentuk kekonyolan.
Sementara hoax adalah informasi bohong yang disebarluaskan untuk mempengaruhi opini masyarakat. Lalu kesamaan antara keduanya yang pertama adalah keduanya menggunakan media-media yang ada sebagai sarananya, sehingga daya jangkaunya bisa sangat luas. Yang kedua adalah keduanya potensial menggiring pemikiran manusia untuk menjauhi rasionalitasnya. Sehingga, tidak mengherankan bila ada masyarakat yang sangat terpukau akan keduanya dan menganggapnya sebagai sebuah kenyataan yang menarik dan mesti turut serta menyebarluaskannya. Terkadang banyak masyarakat yang merasa bila mampu menjadi orang pertama yang membagikannya dalam komunitasnya akan melahirkan semacam kebanggaan bagi dirinya.
Hoax dan Masyarakat
Kenyataan semakin buram dalam pemikiran banyak orang, apalagi bila sudah bersentuhan dengan persoalan sosial, ekonomi atau pun politik. Dalam periode yang sering disebut orang sebagai periode post-truth, banyak masyarakat yang semakin terlarut dan sulit menyaring setiap informasi yang beredar. Yang kebanyakan ada, hanyalah semakin bombastis sebuah informasi, maka kemungkinan besar semakin valid tingkat kebenarannya. Ini dimungkinkan terjadi karena semuanya dilatari pada analisis sederhana tentang adanya konspirasi.
Ketegangan yang dibentuk oleh informasi bohong yang disebarluaskan bisa berdampak sangat dahsyat apalagi bila ditautkan dengan identitas tertentu yang dirasa sangat sensitif di masyarakat itu. Di Jerman, hal ini pernah meledak ketika seorang Adolf Hitler kerap melemparkan propaganda kepada masyarakat Jerman untuk membangkitkan kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu melalui kementrian Propagandanya yang dipimpin oleh Joseph Goebbels. Seorang Joseph Goebbels sendiri pernah menyatakan bahwa Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus akan berubah menjadi kenyataan pada saatnya. Sehingga tidak mengherankan bila kemudian pertumpahan darah menjadi akibat yang mesti ditanggung atas hal tersebut.
Untuk di Indonesia, hal sejenis ini banyak terjadi belakangan ini. Mulai dari hal yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat kampung seperti yang terjadi pada dua pasangan yang diarak telanjang di jalan karena berita hoax yang disebarkan sejumlah orang yang tidak suka dengan mereka hingga isu mengenai kembali hidupnya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kerap dijadikan komoditi ditingkatan politik praktis. Tujuannya jelas membuat masyarakat gaduh, memiliki ketidakpercayaan satu dengan yang lain dan akhirnya memunculkan gerakan massa.
Memahami Hoax
Sampai di bagian itu artinya Hoax sendiri jelas bukanlah sebuah garapan enteng. Dibutuhkan orang-orang yang cakap dibidangnya untuk memformulasikan informasi hoax. Bayangkan saja tahapan yang mesti dilakukan adalah mulai dari membaca kondisi yang ada, mereformulasi isi informasi, menempatkan narasi yang tepat untuk menggugah emosi, menyertakan gambar yang sesuai hingga yang terakhir adalah membuatnya viral di media. Jadi bisa dikatakan bahwa pembuat informasi hoax bukanlah orang bodoh melainkan orang yang nir-moral karena tidak peduli dengan implikasinya di masyarakat. Orang-orang ini hanya peduli dengan kepentingan mereka.
Bila sudah demikian gerakan bersama, mesti diupayakan sebab bila tidak diatasi maka keberlangsungan negara ini dengan keberagamannya akan berada di bibir jurang. Gerakan bersama berupa ronda dalam media sosial perlu digalakkan untuk menggugah kepedulian bersama terhadap bahaya hoax yang bisa menjangkau siapa saja dan di mana saja. Setidaknya langkah kecilnya bisa berupa menahan diri untuk tidak gegabah menyebarluaskan informasi yang bombastis. Sebab bisa jadi hal yang didapatnya itu adalah hoax.
Yang kedua adalah saling mengingatkan kawan atau pun keluarga yang menyebarkan informasi yang bombastis ke semua orang dengan cara menanyakan asal sumber informasi tersebut. Dengan langkah-langkah sepele seperti itu, kita sudah mengupayakan terwujudnya kerukunan masyarakat tanpa dipengaruhi oleh peredaran isu negatif.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…