Narasi

Rumah Ibadah Bukan Ruang Politis dan Ujaran Kebencian

Linimasa media sosial, beberapakali menampilkan para netizen yang menolak adanya politisasi agama, bahkan ada yang secara terang-terangan menyebut politisasi masjid atau rumah ibadah. Hal ini tentunya menimbulkan pro-kontra di ruang publik, namun secara umum masyarakat mengamini realitas tersebut, bahwa dewasa ini rumah ibadah banyak disalahgunakan fungsinya sebagai ruang untuk menyampaikan pesan politis yang mengarah pada nada kebencian, sikap radikal dan kepentingan primordial. Realitas ini tampaknya akan semakin menguat seiring dengan semakin memanasnya iklim kontestasi perpolitikan negara.

Ajaran Kasih Sayang

Menurut pandangan penulis ada beberapa hal yang harus dicernati bersama. Pertama, adanya politisasi agama atau tempat ibadah secara sosiologis menunjukkan adanya upaya kelompok masyarakat bahkan elite politik untuk menggunakan ayat-ayat suci maupun tempat ibadah sebagai komoditas politik demi keuntungan pribadinya dan menyerang pihak lain. Kedua, mengenai literasi politik para pemuka agama. Pada konteks ini harus diakui, tidak semua pemuka agama memiliki kapasitas yang memadai untuk berbicara politik, dalam pengertian pendidikan politik. Keterbatasan kapasitas inilah yang kemudian justru membawa sisi kontraproduktif, alih-alih ingin memberikan pemahaman yang terjadi justru penggiringan (framing) opini yang mengarah pada kebencian pada kelompok tertentu. Dan inilah yang saat ini sedang terjadi.

Realitas sosial yang ditunjukkan dengan adanya diskursus  di ruang-ruang agama sebenarnya bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Namun demikian kiranya point yang paling penting ialah jangan sampai publik terjebak pada politisasi agama, sehingga mengarah pada ujaran kebencian dan mengesampingkan sikap toleran pada sesama. Dalam diskurs kenegaraan ormas keagamaan seperti Muhammadiyah maupun NU secara edukatif selalu memberikan literasi  yakni dengan menekankan pada persoalan bagaimana umat beragama senantiasa saling menghormti, toleran, berempati, dan mengikis habis semua pemahaman yang salah atas agama yang berdampak pada sikap radikal. Disamping itu juga tidak menyarankan menggunakan tempat ibadah sebagai ajang kampanye politik praksis yang hanya akan memecah belah umat dan mendorong publik untuk saling curiga.

Menolak Radikalisme

Adanya jual beli ayat yang seringkali terjadi dalam tempat ibadah karena kepentingan kelompok memang sangat disayangkan, namun demikian menegasikan keberadaan agama, melalui tempat ibadah seperti: masjid, gereja, pura, dan vihara, untuk memberikan pendidikan kebangsaan tentunya bukan sikap yang kita harapkan. Untuk itulah negara dan ormas keagamaan harus saling paham dan bersinergi dalam memberikan pendidikan mengenai toleransi, anti radikalisme, dan menjaga kebhinnekaan.

Wuthnow (1999) dalam tulisan Saiful Mujani: Muslim Demokrat, menjelaskan justru ada dasar logika yang kuat antara agama dengan sikap menjadi warga negara yang baik. Studi kasus di Amerika, para anggota gereja yang aktif akan cenderung diperkenalkan dengan dengan ajaran agama yang mendorong dirinya menjadi warga negara yang bertanggung jawab sehingga tertanaman sikap saling menghormati, toleran, dan mengedepankan harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Adapun dalam pandangan McDonough, Shin, dan Moises, dengan mengambil contoh Brazil dan Korea Selatan, Agama menjadi faktor penggerak demokratisasi, posisinya tidak hanya menjadi pendorong bahkan menjadi salah satu faktor utama bagi aksi kolektif.

Muhammad Natsir, dalam pidato saat menjadi pembicara di Pakistan Institute For International Relation, Karachi, pada tahun 1953, “ Pakistan adalah negara modern, dengan demikian juga negara kami memeluk agama Islam, kami menyebutnya dalam kosntitusi. Bukan berarti mengeluarkan agama dari kehidupan, tetapi karena kami telah mengekspresikannya dalam Pancasila, yang menjadi ajaran spiritual, moral, dan landasan etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Apa yang dikatakan Oleh Natsir menjadi pertanda bahwa nilai-nilai agama yang diajarkan dalam ruang-ruang ibadah maupun terlembaga secara konstitusional harus terimplementasi dalam kehidupan bernegara sehingga menjadi perilaku yang Pancasilais guna mencegah sikap radikal dan mengedepankan sikap toleran kepada sesama.

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

4 jam ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

5 jam ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

5 jam ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

1 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

1 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

1 hari ago