Categories: Narasi

Sang Juara Di Kerajaan Sederhana

Sore itu, tampak sebuah mobil minibus yang penuh sesak dengan para siswa MTs yang baru saja selesai mengikuti lomba olimpiade sains yang diselenggarakan oleh Kankemenag kabupaten Sumenep, Madura.

Pak, pulangnya lewat Karduluk, ya, Pak!” pinta salah seorang siswa kepada sopir yang ia panggil ‘pak’.

Wah, nggak mungkin, Dik. Ini sudah malam, sudah hampir jam 5 sore. Nanti saya ditanyain sama orang rumah,” jawab si sopir, menolak ajakan anak-anak MTs yang menyewa mobilnya.

Tapi, kasihan ini, Pak. Kami ingin membawa berita kemenangan Farhatin Habibah, teman kami yang baru saja menyabet juara satu olimpiade, pada orang tuanya di Karduluk,” kata anak-anak memelas.

Si sopir tampak tak tega, akhirnya ia pun menyetujui permintaan mereka. Ia putar balik mobil L300 biru itu melewati jalan lingkar, tembus ke Jalan Raya Sumenep-Pamekasan. Sebenarnya jalur ini menguras lebih banyak waktu dan bahan bakar. Kembali ke Guluk-Guluk lewat jalur selatan itu sama artinya buang-buang jarak sekitar 10-an kilometer. Lebih dari itu, sopir tentu lelah karena mereka berangkat dari sekolah sejak jam 8 pagi dari sekolah.

Anak-anak bersorak gembira, mereka membayangkan raut wajah bapak-ibu Farhatin yang akan kegirangan bukan main mengetahui anak kesayangannya berhasil menjadi juara olimpiade. Terbayang ibu Titin sibuk membuat teh dan menyiapkan makanan ringan, sementara si bapak menemani dua guru pendamping berbincang, Pak Hazin dan Pak Naufan, dengan senyum tak henti-henti dikulum.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar isak tangis di kursi belakang. Pak Hazin menoleh, ditemuinya Farhatin si juara sedang menangis sesenggukan.

Ya, kamu harus bersyukur, Nak, karena telah menjadi juara pertama. Teman-teman yang lain ini peringkat belasan saja.” Hibur Pak Hazin pada Titin, panggilan akrab Farhatin. Ia mafhum, sebab selama ini belum pernah satu pun siswi dari madrasah tempat beliau mengajar memperoleh juara di bidang Matematika.

Mobil terus melaju dan Titin masih menangis

Kenapa, Tin?” Pak Hazin mulai curiga. Ia mulai khawatir, jangan-jangan Titin tidak sedang menangis karena kepalang bahagia. Tapi pikiran itu cepat-cepat ia singkirkan. Ia tahu betul bahwa selama setahun ini, ia sendiri yang membimbing anak-anak mendalami materi pelajaran sains, termasuk matematika. Ia sadar, setiap ada olimpiade atau jenis lomba yang lain, utusan dari madrasah Tsanawiyah yang dia bina selalu kewalahan dan tidak siap. Akhirnya, anak-anak yang berangkat sebagai utusan selalu membawa modal setengah-setengah. Situasi seperti ini berlangsung selama bertahun-tahun. Maklum, tidak pernah ada ide untuk mempersiapkan hal semacam itu karena orientasi yang dipegang selama ini adalah penanaman budi pekerti, bukan sekadar menjadi pemenang dalam setiap perlombaan.

Karena itulah, setelah berusaha membimbing beberapa orang siswa dengan tekun selama hampir satu tahun, kini Pak Hazin, dan semua pihak madrasah tentunya, telah merasakan hasil manisnya. Baginya, selama siswa mendapat bimbingan yang tepat, pemahaman mereka pasti akan meningkat pesat. Semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi juara. Farhatin telah menjadi satu bukti dari itu semua.

Sudah, nggak perlu menangis. Kami semua akan mengantarkan kamu ke rumah, menemui orang tuamu, dengan piala ini. Mereka pasti bahagia.”

Pak Hazin berjalan di depan, bersama Farhatin yang menjadi penunjuk jalan, disusul Pak Naufan beserta keempat belas anak yang lain. Mereka tiba di rumah Titin menjelang Maghrib.

Karena tidak tahu akan kedatangan tamu, ibu Farhatin menyambut mereka dalam keadaan kaget tak percaya. Ia ingin tersenyum, tapi ada suasana batin lain yang membuat senyum itu tertahan. Pak Hazin mengalihkan pandangan. Semua anak menunduk. Sontak, pemandangan yang ada di hadapan mereka membuat tenggorokan menjadi kering mendadak.

Apa yang mereka lihat?

Rumah tak berlepa, tanpa beranda. Lantainya tanah, pun tidak rata. Dindingnya lapuk. Kusen tanpa daun jendela. Semua tamu dipersilakan masuk ke “beranda” dalam. Ya, beranda yang menjadi satu dengan kamar dan dapur. Perkakas-perkakas tampak berserakan. Si ibu menghilang. Farhatin terdiam.

Tak ada percakapan kala itu. Semua tercekat. Mereka baru sadar, mereka datang pada saat yang tidak tepat.

Si ibu yang tadi sempat menghilang sejenak kini datang tergopoh-gopoh membawa tikar  yang ia pinjam dari tetangga sebelah. Jangankan meja-kursi, tikar pinjaman yang ia bawa itu pun tak cukup untuk mempersilakan duduk para tamu yang mengantar sang juara, putrinya ini.

Mengetahui keadaan ini, Pak Hazin lantas memberi instruksi pelan kepada murid-muridnya yang lain, “Nak, kalian sebagian duduk, secukupnya saja tapi. Yang lain biarlah berdiri.”

Kemudian ia berkata pada si ibu, “Bu, tidak perlu repot. Kami hanya ingin mengabarkan bahwa putri Ibu meraih juara ke-1 Matematika dalam olimpiade yang diselenggarakan oleh Kankemenag di Sumenep. Anak-anak yang lain ini juga ikut serta, tapi mereka berada di peringkat belasan. Hanya Titin yang juara pertama.

Iya, Pak. Terima kasih,” jawab si ibu dalam bahasa Madura. “Minta maaf ya, Pak. Bapaknya Titin tidak bisa menyambut Bapak karena dia baru saja berangkat 3 hari lalu ke Kalimantan untuk mencari nafkah.

Oh, tidak apa-apa, Bu. Ini sudah cukup. Kami juga minta sambung doa karena Titin akan menjadi perwakilan Sumenep untuk penyisihan di tingkat provinsi, di Surabaya.

Mestinya, si Ibu akan girang alang-kepalang mendengar berita ini. Namun, barangkali perasaan sedih melihat tamu yang berdiri (karena memang tidak ada tempat untuk duduk), tanpa jamuan, tanpa minuman, lebih kuat menguasai perasaannya. Titin dan ibu sama-sama diam.

Ini Bu, untuk Ibu,” kata Pak Hazin seraya menyerahkan amplop berisi uang pembinaan, hadiah yang diperoleh Titin sebagai juara pertama Matematika pada Olimpiade Matematika, Sains, dan Agama. Titin memperoleh hadiah uang tunai sebesar Rp.150.000.

Adzan Maghrib telah berkumandang. Teja merah di ufuk barat mewarnai suasana batin semua orang yang ada di sana. Terlebih si Ibu yang sedari tadi menangis terharu tak bisa bicara apa-apa. Pak Hazin kini mulai mengerti makna tangisan Titin di mobil tadi.

Setelah dirasa cukup, Farhatin pun berpamitan dan kembali ke pondok bersama teman-temannya. Juara matematika itu berjalan tertunduk, sambil berusaha mereka-reka: jika ‘perasaan bahagia sebagai juara’ dikalikan dengan ’perasaan sedih karena ia bersama ibunya tak bisa menyambut guru dan teman-temannya’, berapakah jumlahnya? Itulah pertanyaan matematis yang tidak ia jumpai dalam olimpiade siang tadi.

This post was last modified on 5 Mei 2015 3:30 PM

M. Faizi

Seorang penulis, blogger, penggemar perjalanan naik bis.

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

21 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

21 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

21 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

21 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago