Sang Juara Di Kerajaan Sederhana

Sang Juara Di Kerajaan Sederhana

- in Narasi
3607
0

Sore itu, tampak sebuah mobil minibus yang penuh sesak dengan para siswa MTs yang baru saja selesai mengikuti lomba olimpiade sains yang diselenggarakan oleh Kankemenag kabupaten Sumenep, Madura.

Pak, pulangnya lewat Karduluk, ya, Pak!” pinta salah seorang siswa kepada sopir yang ia panggil ‘pak’.

Wah, nggak mungkin, Dik. Ini sudah malam, sudah hampir jam 5 sore. Nanti saya ditanyain sama orang rumah,” jawab si sopir, menolak ajakan anak-anak MTs yang menyewa mobilnya.

Tapi, kasihan ini, Pak. Kami ingin membawa berita kemenangan Farhatin Habibah, teman kami yang baru saja menyabet juara satu olimpiade, pada orang tuanya di Karduluk,” kata anak-anak memelas.

Si sopir tampak tak tega, akhirnya ia pun menyetujui permintaan mereka. Ia putar balik mobil L300 biru itu melewati jalan lingkar, tembus ke Jalan Raya Sumenep-Pamekasan. Sebenarnya jalur ini menguras lebih banyak waktu dan bahan bakar. Kembali ke Guluk-Guluk lewat jalur selatan itu sama artinya buang-buang jarak sekitar 10-an kilometer. Lebih dari itu, sopir tentu lelah karena mereka berangkat dari sekolah sejak jam 8 pagi dari sekolah.

Anak-anak bersorak gembira, mereka membayangkan raut wajah bapak-ibu Farhatin yang akan kegirangan bukan main mengetahui anak kesayangannya berhasil menjadi juara olimpiade. Terbayang ibu Titin sibuk membuat teh dan menyiapkan makanan ringan, sementara si bapak menemani dua guru pendamping berbincang, Pak Hazin dan Pak Naufan, dengan senyum tak henti-henti dikulum.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar isak tangis di kursi belakang. Pak Hazin menoleh, ditemuinya Farhatin si juara sedang menangis sesenggukan.

Ya, kamu harus bersyukur, Nak, karena telah menjadi juara pertama. Teman-teman yang lain ini peringkat belasan saja.” Hibur Pak Hazin pada Titin, panggilan akrab Farhatin. Ia mafhum, sebab selama ini belum pernah satu pun siswi dari madrasah tempat beliau mengajar memperoleh juara di bidang Matematika.

Mobil terus melaju dan Titin masih menangis

Kenapa, Tin?” Pak Hazin mulai curiga. Ia mulai khawatir, jangan-jangan Titin tidak sedang menangis karena kepalang bahagia. Tapi pikiran itu cepat-cepat ia singkirkan. Ia tahu betul bahwa selama setahun ini, ia sendiri yang membimbing anak-anak mendalami materi pelajaran sains, termasuk matematika. Ia sadar, setiap ada olimpiade atau jenis lomba yang lain, utusan dari madrasah Tsanawiyah yang dia bina selalu kewalahan dan tidak siap. Akhirnya, anak-anak yang berangkat sebagai utusan selalu membawa modal setengah-setengah. Situasi seperti ini berlangsung selama bertahun-tahun. Maklum, tidak pernah ada ide untuk mempersiapkan hal semacam itu karena orientasi yang dipegang selama ini adalah penanaman budi pekerti, bukan sekadar menjadi pemenang dalam setiap perlombaan.

Karena itulah, setelah berusaha membimbing beberapa orang siswa dengan tekun selama hampir satu tahun, kini Pak Hazin, dan semua pihak madrasah tentunya, telah merasakan hasil manisnya. Baginya, selama siswa mendapat bimbingan yang tepat, pemahaman mereka pasti akan meningkat pesat. Semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi juara. Farhatin telah menjadi satu bukti dari itu semua.

Sudah, nggak perlu menangis. Kami semua akan mengantarkan kamu ke rumah, menemui orang tuamu, dengan piala ini. Mereka pasti bahagia.”

Facebook Comments