Narasi

Sang Pemecah Belah Agama, Siapa?

Secara istiqamah, dalam sehari saya rutin membaca al Qur’an hingga 2 juz. Namun hari ini menjadi beda. Sampai pada QS: al Maidah;159, saya dibuat tidak mampu melanjutkan bacaannya. Ayat ini benar-benar membuat saya bertanya-tanya, siapakah orang yang disebut secara gambalng oleh al Qur’an sebagai pemecah belah agama? Mengingat, akhir-akhir ini banyak bertebaran pendapat bahwa orang-orang yang kontra khilafah adalah tergolong orang yang tidak menyukai kesatuan Islam dalam naungan satu pemerintahan bernama khalifah. Karena menurut mereka, Islam itu hanya satu, tidak boleh ada yang berbeda.

Terjemahan ayat yang saya maksud adalahSesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” Ini ngeri. Karena bagi mereka yang suka memecah belah agama akan langsung diberi peringatan oleh Allah. Bukan lagi Nabi Muhammad yang mengingatkannya atau kita. Karenanya, penting ditelusuri barangkali di antara kita termasuk orang yang memecah belah agama.

Ibn Katsir dalam “Tafsir al Qur’an al Karim” menjelaskan bahwa ayat ini tidak tertuju kepada Yahudi dan Nashrani saja sebagaimana kritik al Qur’an pada umumnya terhadap kedua agama tersebut, namun berlaku juga dalam setiap agama. Untuk memperkuat pendapatnya, Ibn Katsir menyertakan pendapat Abu Hurairah. Abu Hurairah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan untuk umat ini, yakni umat Islam. Hanya saja, Abu Hurairah tidak memberikan ciri-ciri pemecah belah agama. Rupanya, baik Ibn Katsir maupun Abu Hurairah mengakui bahwa dalam Islam pun sangat mungkin ada pemecah belah agama.

Dalam tafsir “al Wasith fi Tafsir al Qur’an al Majid”, Abil Hasan al Naisabury mengatakan bahwa ayat ini berbicara soal orang Yahudi dan Nashrani kala itu di mana mereka suka berbeda pendapat yang kemudian tercipta beberapa golongan. Sementara antara satu dengan yang lain saling mengkafirkan. Mereka hanya mempercayai golongannya sendiri dan mengkafirkan orang-orang yang tidak sejalan dengan dirinya. Sibuk menggkafirkan antara satu dengan yang lain inilah, demikian al Naisabury, yang mengakibatkan perpecahan dalam agama. Orang-orang yang demikian menurut al Naisabury disebut sebagai al mufarriq al din. ­

Pendapat di atas diperkuat oleh Mutawally al Sya’rawi. Dalam “Tafsir al Sya’rawi”, mufassir kontemporer ini berpendapat bahwa para pemecah belah agama itu adalah orang-orang lupa bahwa anna al din innama ja’a liyajma’u la liyufarriqu. Agama datang untuk mempersatukan bukan untuk memecah belah. Agama, demikian al Sya’rawi hadir ke tengah-tengah umat Islam untuk menyatukan perintah dan larangan dalam segala tindakan nyata. Maka, al Sya’rawi menambahkan, tidak perlu dibicarakan soal perbedaan pendapat di antara mereka. Karena perbedaan pendapat itu termasuk dalam kategori al mubahat, yakni hal-hal yang diperbolehkan. Lebih spesifik, al Sya’rawi memberi contoh bahwa dalam suatu perintah tidak perlu dipaksakan. Jika seseorang melakukannya silahkan, kalaupun tidak, itu tidak masalah.

Islam memang tidak melarang perbedaan pendapat. Sebaliknya, dari perbedaan itu diharapkan lahir persatuan dan kedamaian. Tepatnya, berbeda itu boleh dan bercerai-berai itu dilarang dalam Islam. I’tashimu bihablillah jami’an wala tafarraqu, berpegang teguhlah kepada tali Allah dan jangan bercerai berai. Artinya selama berpegang teguh kepada ayat-ayat Allah dan tidak bercerai-berai tentu masih disebut sebagai Islam.

Ini berbeda dengan penganut sistem khilafah. Mereka mengharapkan penyatuan Islam tapi sibuk mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya. Mereka menolak perbedaan dan mengakui hanya kelompoknyalah yang tergolong orang-orang yang sesuai dengan kehendak dan kemauan Allah. Tidak sedikit golongan  atau organisasi yang merasa risih dengan gerakan pengkafiran terhadap orang lain. Akibatnya, terjadi percekcokan di mana-mana. Kisruh terjadi antar sesama umat Islam akibat mereka mengkafirkan golongan lain. Mereka itu tergolong kelompok yang amanu bi ba’dh ma aydihim wa kaffaru diba’dhin. Mempercayai golongan dan pendapatnya sendiri dan mengkafirkan yang lain.

Pendapat pro khilafah ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam khususnya al Qur’an. Dalam al Qur’an disebutkan bahwa perbedaan golongan, ras, dan bangsa-bangsa hanya sebagai alat untuk saling memahami bukan untuk mengkafirkan. Bukankah Allah juga berfirman bahwa hanya Allah yang mengetahui siapa yang mendapat hidayah dan siapa yang tersesat. Artinya kebenaran manusia soal yang kafir dan mendapat hidayah hanya Allah yang mengetahuinya. Manusia hanya menduga-duga. Semoga kita tidak tergolong orang-orang yang memecah belah agama. Amin.

This post was last modified on 13 Maret 2017 12:36 PM

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago