Narasi

Sangkan-Paran, Kebudayaan, dan Mata Air Keagamaan

Sejauh mana pada dasarnya lokalitas dalam ungkapan “kearifan lokal” ketika ternyata kearifan itu telah melewati batas-batas tradisionalnya? Dan ketika, “lobalitas” (lokalitas yang telah mengglobal) sudah menjadi fakta kehidupan kontemporer, orang goblok macam apa yang masih menganggapnya sebagai sampah akidah sekaligus sumber kemerosotan peradaban, apalagi dengan menggunakan dalil-dalil agama yang sudah bercampurbaur dengan semangat “berkemajuan” yang absurd?

Orang barangkali mengenal Dr. Soemantri Hardjoprakoso, seorang anggota Pangestu (sebuah aliran kebatinan yang jelas-jelas bercorak lokal), yang mendahului aliran Subud dan Sumarah, yang konon, meskipun lahir dari rahim kebudayaan Jawa, spiritualitasnya sama sekali tak asing bagi dunia Barat. Analisisnya tentang candrajiwa ternyata sama sekali tak ditampik oleh disiplin ilmu psikologi Barat-modern yang notabene ilmiah.

Belum lagi pengakuan-pengakuan lembaga internasional semacam UNESCO atas berbagai warisan kearifan lokal di Indonesia yang konon pernah didamik sebagai sebentuk TBC (takhayul, bid’ah, churafat), yang tentu saja membuat orang yang sadar ruang dan waktu akan bertanya, golongan orang dari planet mana sebenarnya orang-orang yang masih mengigau seperti itu. Atau, orang bisa kembali menggugat berbagai stigma yang melekat sampai hari ini, siapakah sejatinya yang telat zaman, orang-orang tradisional atau justru orang-orang yang belagu modern?

Kearifan lokal, yang otomatis termaktub dalam suatu kebudayaan, adalah memang hal yang pokok ketika ia diletakkan sebagai Bumi dimana agama, ataupun unsur-unsur yang lain, diletakkan sebagai langit. Bumi, atau kebudayaan dalam hal ini, tentu saja masih memiliki makna meskipun tanpa langit, karena kita yang memaknai tak pernah tinggal di langit. Namun, cerita bisa berbeda ketika langit itu terhampar tanpa adanya Bumi yang membuatnya bermakna.

Pemorsian yang lebih banyak pada kebudayaan daripada, taruhlah agama, pada dasarnya adalah praktik keagamaan yang wajar dijumpai di Indonesia. Dan harap dipahami, bahwa kebudayaan di sini adalah juga hal yang senantiasa mengalir. Misalnya di Jawa, satu filosofi yang cukup mendasari kebudayaan Jawa secara total, “sangkan-paraning dumadi,” sebelum, katakanlah, agama Islam berkembangbiak di Jawa, filosofi ini sudah hidup sejak awal, bergumul dengan berbagai agama yang pernah singgah di Jawa.

Agama Islam, karena sangkan-paran itu adalah senafas dengan pesan yang dibawanya sebagaimana dalam tasawuf atau sufisme, kemudian bertepuk (Sangkan-Paran, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021). Maka, seorang antropolog, Mark Woodward, dalam bukunya Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, menyimpulkan bahwa Islam yang berkembang di Jawa, dimana Jogja dengan keratonnya yang menjadi objek kajian, adalah Islam yang dibawakan oleh para sufi atau sufisme. Tata ruang keraton Jogja warisan HB I, yang menggambarkan sangkan-paraning dumadi, yang kini pun telah mendapatkan status global atau pengakuan dari UNESCO, adalah juga pesan yang bisa dijumpai dalam agama Islam, khususnya dalam ajaran-ajaran sufisme.

Ketika Islam kemudian menyatakan bahwa sangkan-paraning dumadi itu islami, bukan berarti filosofi itu tak ada dalam tradisi agama yang lain. Karena memang filosofi itu merujuk pada fakta kehidupan setiap anak manusia, setidaknya pada aras sangkan-nya dimana yang menjadi paran-nya adalah satu hal yang membuat kenapa orang beragama, menyusuri sebuah jalan, atau melakoni sebuah tata cara.

Maka, tak salah ketika dikatakan bahwa kebanyakan praktik keagamaan di Indonesia, khususnya di Jawa, lebih banyak memberikan porsi pada aspek kebudayaannya daripada aspek keagamaannya. Karena tentu saja, tak semua wajah keagamaan, dalam hal ini Islam, adalah wajahnya para sufi yang terkenal dengan kemampuannya untuk mencecap air tanpa perlu menyibukkan diri pada apa yang menjadi wadahnya.

Selain itu, tentu saja hanyalah kebudayaan, yang selama ini mengandung berbagai kearifan lokal, yang mampu membuat segala sesuatu yang singgah mampu ramah terhadap perbedaan, sebagaimana sangkan-paran yang sekilas tampak lokal, namun ternyata adalah proses kehidupan dari setiap anak manusia tanpa peduli pada apa yang menjadi latar-belakang identitasnya.

Heru harjo hutomo

Recent Posts

DNA Aktivisme Gen Z: Mengelola Genetik Perubahan Anak Muda

Gelombang aktivisme anak muda, khususnya Generasi Z, semakin menjadi sorotan global. Dari Nepal, Bangladesh, Sri…

4 menit ago

Membaca Ulang Jihad ala Gen Z

Ketika berbicara tentang jihad, kerap kali kita terjebak dalam narasi yang sempit dan reduktif, seolah…

6 menit ago

Dakwah Hibrid ala HTI; Dari Menggaet Influencer ke Adaptasi Budaya Populer

Jika ada pentolan HTI yang patut diacungi jempol lantaran lihai bermanuver, maka nama Felix Shiaw…

7 menit ago

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

1 hari ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

1 hari ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

1 hari ago