Agama itu ibarat dua sisi mata uang koin, ia di satu sisi bisa menjadi tempat tumbuh suburnya sebuah benih-benih perdamaian, toleransi dan kebaikan. Akan tetapi, di sisi yang lain, jika jatuh ditangan pemeluknya yang memiliki kepribadian yang kurang matang bisa menimbulkan kekacauan, peperangan, chaos dan intoleransi. Pada prinsipnya, semua ajaran agama mengajarkan spirit yang mendamaikan dan menduhkan. Para nabi sendiri telah meneladankan bahwa beragama adalah menyejukkan dan mendamaikan. Akan tetapi, tak jarang pula seringkali ajaran agama tersebut ditafsirkan dengan keliru dan menimbulkan kekacauan.
Dengan demikian, wajah agama itu sebenarnya tergantung bagaimana pemeluknya menghayati dan mempraktikkan ajaran agama yang penuh kedamaian tersebut secara benar atau tidak. Jika para pemeluknya mengamalkan ajaran agama sesuai dengan yang telah diteladankan oleh para nabi, maka output dari agama adalah sebuah keteduhan dan perdamaian. Jika ajaran agama disalah artikan oleh pemeluknya, maka yang akan timbul adalah permusuhan dan kebencian.
Dalam konteks era media sosial saat ini, wajah agama yang tampak seringkali adalah sebuah permusuhan dan kebencian. Banyak konten keislaman di media sosial belakangan ini berisi ajakan untuk melakukan permusuhan dan kebencian terhadap kelompok lain. Seringkali, beberapa orang yang mendaku diri sebagai seorang muslim malah melakukan intimidasi terhadap kelompok lain dan menjustifikasinya dengan dalil agama.
Baca juga : Tugas Mulia Relawan Milenial: Meniti Damai dari Gawai
Terkait dengan kondisi wajah Islam di media sosial belakangan ini yang tampak menyeramkaan tersebut menimbukan pertanyaan bagi kita semua, apa sebenarnya yang terjadi. Padahal, sebetulnya jika kita meneladani ajaran nabi Muhammad Saw sungguh sangat meneduhkan. Nashori dan Nurjannah (2015) dalam penelitiannya terkait dengan prasangka terhadap non muslim menyebutkan bahwa sikap prasangka seseorang dipengaruhi oleh kematangan beragama seseorang tersebut.
Penelitian tersebut menjelaskan bahwa ketika kematangan beragama seseorang dalam beragama semakin tinggi, maka kecenderungan untuk berprasangka terhadap non muslim semakin rendah. Begitu pula sebaliknya, jika kematangan beragama seseorang rendah, maka kemungkinan seseorang tersebut untuk melakukan prasangka tersebut tinggi.
Penelitian tersebut dapat menjawab pertanyaan kita di atas, kenapa wajah agama di media sosial belakangan ini yang tampak adalah kebencian dan permusuhan. Dalam penelitian tersbut menyebutkan bahwa ternyata pemeluk agama yang mudah sekali menaruh prasangka negatif terhadap non muslim adalah orang yang memiliki kematangan beragama yang rendah. Dengan demikian, yang menjadi permasalahan kenapa wajah agama di media sosial belakangan ini yang tampak adalah perpecahan dan kebencian. Hal ini disebakan oleh pemeluk agama yang aktif bermedia sosial kebetulan adalah orang-orang yang mempunyai tingkat kematangan beragamanya yang rendah.
Kemudian, di mana kalangan Islam yang mempunyai tingkat kematangan beragama yang tinggi berada. Ada istilah populer yang disebut sebagai silent majority. Istilah tersebut merujuk kepada kelompok mayoritas yang masih diam. Siapa sebenarnya kelompok mayoritas yang diam tersebut. Ternyata, kalangan Islam yang dalam proses belajar agamanya sangat matang dan membutuhkan waktu yang panjang adalah kaum santri. Dan untuk saat ini santri milenial memiliki jumlah yang sangat besar.
Santri milenial, sebagai generasi baru muslim yang mempunyai tingkat kematangan beragama yang lebih baik jika dibandingkan dengan kalangan muslim yang belajar Islam secara instan yang belakangan ini sering memperkeruh media sosial kita, mempunyai tugas untuk lebih banyak memproduksi konten-konten toleransi di media sosial. Keterlibatan santri milenial tersebut sangat penting untuk menetralisir media sosial kita dari konten keislaman yang menakutkan dan tidak seusai yang diteladankan nabi.
Peran santri milenial dalam memproduksi konten keislaman yang toleran adalah peran yang sangat strategis. Para santri milenial ini memiliki pemahaman keislaman yang lebih matang dan sesuai dengan yang diteladankan oleh nabi. Para santri milenial ini, dengan proses penempaan berislam yang panjang dan bertahun-tahun tersebut mempunyai kecenderunagan emosi yang tidak mudah meluap-luap. Mereka tidak mudah terprovokasi dan lebih arif dalam merespon setiap persoalan yang timbul dalam perdebatan di media sosial.
Saat ini, sudah saatnya para santri milenial yang selama ini disebut sebagai silent majority tersebut untuk mulai lebih banyak terlibat aktif dalam mengisi ruang-ruang media sosial. Supaya, ketika ruang publik kita lebih banyak diisi oleh ajaran keislaman yang matang dan toleran, maka wajah media sosial kita juga akan lebih menampakkan keteduhan dan kedamaian.
This post was last modified on 19 Desember 2018 4:52 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments