Narasi

Sapardi Djoko Damono dan Refleksi Perdamaian dalam Puisi

Bangsa ini telah kehilangan seorang sastrawan terkemuka. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono. Meninggal pada 19 Juli 2020.  Beliau semasa hidupnya aktif dalam dunia kesusastraan yang menjadi keyword besar di dalam menyampaikan pesan tentang kehidupan dan hakikat cinta melalui bait-bait puisinya. Tidak hanya itu, beliau juga memiliki karya tulis yang bergendre esai sastra yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional pada tahun 2003. Yang menyuarakan tentang arti di dalam merefleksikan perdamaian serta membentuk karakter di dalam berbangsa untuk menjaga kebudayaannya dan harus dicintai.

Mungkin jasad beliau telah tiada, tetapi bait-bait-nya yang terus menggema ke ruang cakrawala menjadi sebuah pesan yang tidak akan pernah usang. Merefleksikan hakikat cinta, perdamaian, arti dari sebuah kehidupan serta bagaimana membentuk karakter bangsa ini untuk cinta akan identitas sendiri tanpa menyuplai identitas orang lain.

Perjuangan beliau sebagai ikon besar di dalam menyuarakan pesan-pesan kebangsaan melalui sastra. Utamanya bait-bait puisinya yang sangat menjelma sebagai kekuatan akan pentingnya seseorang di dalam mencintai. Memahami tentang kehidupannya dan manfaatnya untuk orang lain. Puisi bagi beliau juga merupakan perjuangan di dalam menyuarakan pesan di dalam merealisasikan cinta. Bagaimana cara mencintai yang baik dan bagaimana cara bersikap kepada orang lain yang penuh dengan cinta. Saya kira itu sebagai gambaran interpretatif di dalam karya-karya beliau selama hidupnya.

Dalam karya ‘Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan’ ini merupakan karya monumental yang sangat berharga dalam ranah non-fiksi. Beliau di dalamnya mengkritik karya sastra, membahas tentang jejak perkembangan sastra di Indonesia serta pengaruhnya di dalam mengubah beberapa aspek peristiwa, ideologi, bahasa, nilai-nilai dan sikap politik. Tentu ini sebagai jalan panjang bagaimana beliau menolak puisi sebagai perjuangan untuk menjatuhkan satu lawan politik lain. Atau bahkan membentuk satu refleksi bagaimana ide yang murni dalam menyampaikan hakikat dan tujuan puisi yang sejatinya sebagai kesadaran tentang arti dari sebuah mencintai.

Baca Juga : Khilafahisme dan Manusia Tuna Budi di Tengah Pandemi

Beliau disebut sebagai Sang Pujangga, karena karya-karya sastranya yang sangat terkenal yaitu tentang percintaan-percintaan. Tetapi apakah ranah ini hanya terpaku terhadap percintaan antara laki-laki dan perempuan. Tentu tidak. Karena di dalam ruang-ruang puisi yang beliau tulis memiliki dedikasi bagaimana menggambarkan alam sebagai objek yang memang tidak lepas sebagai kesadaran si tokoh yang dijadikan ikon dalam judul puisi tersebut. Serta bagaimana ruang-ruang dimensi cinta itu memiliki nilai yang universal.

Seperti halnya dalam potongan bait-bait puisinya “Dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya. Dalam diriku menggenang telaga darah, suka namanya. Dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya, dan karena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya” Tentu klaim nilai yang terkandung dalam puisi ini begitu bebas dan siapa saja boleh mengartikannya. Apakah itu buat mereka yang sedang kasmaran atau bahkan yang sedang mengalami kondisi masa-masa perjuangan tentang kehidupan. Karena bagi beliau semua bebas di dalam menafsirkannya.

Tetapi coba kita lihat secara alur kata dan makna dalam tiap-tiap kalimat. Bahwa Sapardi Djoko Damono menyadarkan kita akan mengenali jati diri dan memahami di mana kita berpijak. Hal ini juga sangat korelasi dengan bait-biat potongan puisi karya Gus mus, bahwa “kita hidup di Indonesia, makan hasil bumi Indonesia dan menjadi darah Indonesia” Sebuah perjuangan yang sama-sama menunjukkan kesadaran untuk mengenali diri sendiri dan identitasnya.            

Dari kita akan membukakan pikiran bahwa perdamaian, cinta, arti hidup serta mengajarkan untuk cinta akan kebudayaannya dapat direalisasikan melalui sastra. Karena sastra bagi Sapardi Djoko Damino sebagai perjuangan di dalam merefleksikan pesan tentang arti kehidupan sosial bangsa ini dengan mencintai. Karena dengan rasa cinta tidak ada istilahnya seseorang berbuat kezhaliman, kerusakan dan bahkan perpecahan. Semua hidup dalam cinta dan kebersamaan.

This post was last modified on 20 Juli 2020 1:57 PM

Sitti Faizah

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

7 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

8 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

8 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

8 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago