Narasi

SARA dan Spirit Persaudaraan Universal di Media Sosial

Isu seputar Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) selalu menjadi topik-topik yang senantiasa hangat menjadi bahan perbincangan. Sejak dulu hingga sekarang. Tak mengenal siapa yang menjadi subyeknya. Anak kecil, dewasa hingga orang tua. Kaya atau miskin. Pedagang asongan, akademisi, dan bahkan pejabat negara.

Isu seputar SARA, diakui atau tidak, bisa dipastikan selalu menjadi pusat perhatian kita bersama. Sebab bersamanya melekat kepentingan bersama pula. Soal damai atau bertikai, dalam bangsa yang majemuk seperti Indonesia ini, unsur SARA nyaris senantiasa menjadi pemicu utama konflik-konflik yang mengemuka di bangsa ini, dan bahkan nyaris seluruh bangsa di dunia ini juga demikian, tak peduli di manapun daerahnya.

Di negara-negara Barat yang kita anggap maju sekalipun, yang notabenenya mereka yang mengampanyekan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dengan segala tetek-bengek yang ada di dalamnya, isu seputar SARA masih cukup menjadi berbincangan yang tak lekang ditelan alam.

Darwinisme sosial misalnya, masih saja melekat pada sebagian masyarakat di sana. Sebagaimana yang dikemukakan Ilmuan Politik Universitas Indonesia Mohammad Nasih, bahwa teori ini terinspirasi oleh teori evolusi manusia yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera.

Dalam penjelmaannya di kehidupan sosial, teori ini beranggapan bahwa yang berkulit putih adalah mereka yang mengalami evolusi sempurna. Sementara yang tidak berkulit putih, untuk tidak mengatakan hitam legam, adalah mereka yang tidak mengalami evolusi sempurna. Sehingga yang kedua ini dianggap masih memiliki nilai-nilai kekeeraan

Karenanya, mereka dianggap memiliki derajat yang lebih rendah dan sejenisnya. Dengan perkataan lain, secara sosial mereka memiliki kedudukan yang tidak sama. Dalam konteks politik, darwinisme sosial ini selanjutnya mempengaruhi cara pandang mereka bahwa yang berhak menjadi pemimpin mereka (baca: presiden) adalah mereka yang berkulit putih.

Konon, terpilihnya Obama sebagai presiden Amerika Serikat yang memiliki kulit tidak putih untuk pertama kalinya juga kurang mendapat perkenan bagi sebagian kalangan tertentu.

Terlepas dari itu, dalam konteks negara kita, isu SARA juga semakin mengemuka.  Terlebih lagi di dunia maya atau di media social. Saat ini dengan mudah dapat kita jumpai isu-isu seputar SARA yang sarat adu domba. Di media sosial, seperti: Facebook, Twitter, Instagram, dan sejenisnya, saat ini sedang benar-benar gaduh.

Berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hatespeech), fitnah, dan sejenisnya nyaris menjamur di medsos. Yang lebih parahnya lagi, antar etnis dan bahkan antar-agama seolah memang sengaja ingin dibenturkan satu sama lain oleh kelompok berkepentingan tertentu.

Terlebih saat situasi dan kondisinya berada pada tahun politik seperti sekarang ini. Tidak sedikit orang, tak terkecuali partai politik, menjadi SARA untuk keperluan tertentu. Hal lahiriah yang dapat kita saksikan dalam hal ini adalah adanya larangan untuk memilih calon tertentu karena unsur SARA tersebut. Di satu pihak digunakan untuk kepentingan dan keuntungan kelompok sendiri. Sementara pada pihak yang lain, pada saat bersamaan, isu SARA itu digunakan untuk menghancur pihak yang lain.

Sungguh ironis, saat SARA digunakan untuk komoditas politik. Sementara itu, sebagaimana kita pahami, dampak yang akan dilahirkan jauh lebih besar dibandingkan dengan kepentingan sesaat yang didapatkan pihak-pihak tertentu itu. Agaknya yang didapatkan tidak lebih dari kekuasaan, jabatan, dan sejenisnya, yang sifatnya hanya sesaat saja.

Sementara itu, ekses di balik itu, secara bersamaan, yang akan dilahirkan adalah tidak lain dan tiada bukan kecuali perpecahan. Maka, pertumpahan darah sesama anak bangsa besar kemungkinan tak akan terelakkan. Bisa dibayangkan jika peperangan SARA hadir di tengah-tengah bangsa kita.

Tentu saja kebhinekaan yang selama ini menjadi penopang utama eksistensi bangsa kita akan sirna. Masa depan bangsa kita untuk tinggal menjadi sebuah nama pun tak berlebihan jika menjadi realita. Semoga saja semua yang tidak kita inginkan itu tidak menimpa bangsa kita. Aamiin.

Spirit Persaudaran Universal

Oleh sebab itu, selain kita menjadi pengkonsumsi yang cerdas, seperti: tidak mudah menelan informasi secara mentah-mentah dan sejenisnya; kita juga perlu memahami spirit persaudaran universal. Dalam Islam, spirit ini di antaranya ialah: Pertama, bahwa manusia diciptakan memang tidak dalam keadaan tunggal alias majemuk. Kemajemukan ini bertujuan agar kita saling mengenal. Kemuliaan manusia dinilai bukan atas dasar cantik, tampan, jelek, putih, hitam dan sejenisnya. Akan tetapi, manusia dinilai dari ketakwaannya (QS al-Hujurat [49]: 13).

  Oleh karenanya, kedua, kita dilarang saling mengolok-ngolok satu sama lain. Sebab boleh jadi boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan). Juga jangan sampai kita memanggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk. Karena, itu adalah suatu kezaliman (QS al-Hujurat [49]: 11). Perbuatan itu sangat tercela dan terlaknat, “Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS Al-Humazah : 1).

 Termasuk mencaci-maki agama lain pun, itu juga suatu larangan. Sebagaimana firman Allah Swt, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs al-An’am : 108)

Itulah adalah beberapa prinsip yang persaudaraan universal yang diperintahkan agama untuk kita pegang teguh. Masih banyak ayat yang mengemukakan demikian. Terlepas dari banyaknya ayat yang mengatakan demikian itu, perlu ditekankan bahwa pemahaman atas spirit persaudaran universal ini penting dimiliki oleh segenap masyarakat kita. Terlebih lagi bagi para pegiat media sosial. Sebab jika kita memahami spirit ini dengan baik, maka kita tidak akan mudah untuk diadu-domba dan sejenisnya.

Lebih dari itu, spirit ini juga harus digelorakan dan dikampanyekan di media sosial, yang saat ini sedang dibombastis oleh pihak-pihak tertentu dengan hal-hal yang sarat membuat perpecahan. Sehingga, dengan kata lain, pegiat media sosial juga akan mengampanyekan persaudaran universal, demi terwujudnya perdamaian. Wallahu’alam

Kumarudin

Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi Uin Walisongo Semarang dan Aktifis HMI

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

10 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

10 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

10 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

10 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago