Tanpa terasa Ramadhan kini hadir kembali. Bulan suci bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia. Di bulan ini, spiritualitas personal diasah demi mencapai cita keumatan yang rahmatan lil ‘alamin. Itu artinya, meskipun ibadah Ramadhan pada dasarnya adalah ibadah yang sangat individual namun berdampak luas terhadap kehidupan sosial.
Ramadhan memiliki ibadah khusus dan umum. Ibadah khusus adalah ritual yang mesti dilakukan di bulan ini dan tidak bisa digeser pelaksanaannya di bulan lain, yaitu puasa, zakat fitrah, taraweh, dan Idul Fitri. Sedangkan ibadah umum adalah ritual yang bisa dilakukan di selain Ramadhan, seperti membaca Alquran dan bersedekah, hanya saja limpahan balasan Allah di bulan ini akan berkali lipat dari biasanya.
Tidak hanya itu, ibadah Ramadhan –terutama dalam konteks berpuasa- memiliki makna filosofis yang sangat dalam. Mengapa? Karena meskipun berpuasa mengharuskan ketahanan fisik, namun ketegaran jiwa, hati, dan pikiran menjadi salah satu syarat penerimaan di sisi Allah. Itu artinya, berpuasa tak hanya menahan lapar dan haus, melainkan juga meminta individu untuk menahan sifat dan sikap negatif yang berpotensi mengotori kesucian ibadah.
Di Ramadhan seorang yang berpuasa dengan tidak makan dan minum dalam waktu yang ditetapkan sudah dianggap telah melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Namun, puasa yang cuma seperti itu hanya menggugurkan kewajiban hukum belaka. Puasa sesungguhnya justru terletak pada sikap spiriualitas yang lebih baik. Karena itu tak mengherankan jika Allah menyebut hanya diri-Nya lah yang paling patut memberikan penilaian terhadap ibadah ini.
Jika demikian, betul kiranya bahwa ibadah puasa adalah ibadah yang sangat personal. Karena kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya terjadi secara intensif saat melakukan ibadah ini. Kesadaran adanya komunikai intensif dengan Tuhan inilah yang membuat orang-orang yang berpuasa lebih ‘berhati-hati’ dalam menjalankan aktifitas.
Lalu bagaimana bisa ada seorang yang mengaku berpuasa namun tetap konsisten melakukan kejahatan, seperti memaki dan memfitnah? Apakah puasa tidak membentuk komunikasi intensif antara Allah dengan dirinya? Jawabnya, meskipun puasa mendekatkan diri pada Tuhan namun tetap saja Setan tak pernah berhenti menggoda para ‘aktifis’ ibadah.
Karena itu berhati-hatilah untuk tidak tergoda bujuk rayu Setan. Karena mereka memang ada untuk menggoda manusia ke jalan yang sesat. Setan tak pernah sekalipun merasa putus asa jika sekali dua kali gagal melancarkan rayuan dan godaaannya. Karena dia telah berjanji di hadapan Tuhan akan terus menggoda hingga diisinya neraka oleh para pengikutnya.
Dalam konteks dunia maya, berpuasa adalah menahan diri dari pengaruh Setan dan Iblis internet. Bagi mereka yang gemar melakukan kampanye kekerasan atas nama agama di situs-situs radikal yang mngatasnamakan agama, berpuasa adalah menghentikan segala aktifitas nistanya selama ini. Sementara bagi mereka yang gemar membaca situs tersebut, berpuasa adalah menahan diri dari godaan Setan dalam bentuk modern, internet.
Semua harus berpuasa, dalam makna linguistik maupun filosofis, bukan hanya di bulan Ramadhan tapi untuk bulan-bulan setelahnya. Puasa harus menjadi landasan moral spiritual bagi siapapun. Semoga dengan kekhusukan ibadah puasa, kekerasan dalam bentuk apapun –termasuk dunia maya-, segera hilang dari negeri tercinta. Semoga!
This post was last modified on 18 Juni 2015 9:34 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…