Narasi

Separatisme Muara dari Logika “si terjajah”

Secara sederhana separatisme dapat diartikan sebagai sebuah ideology, di mana adanya upaya untuk memisahkan diri dari pemerintahan yang sah atau pemerintah yang memiliki legitimasi. Upaya ini bisa bertujuan untuk membentuk negara yang baru.Langkah yang dilakukan pun bisadalam bentuk yang beragam, mulai dari bentuk nyata sepertikekerasan yang kerap dipertontonkan oleh anggota Islamic State Syria and Levant (ISIS)hingga dalam bentuk yang sangat softyaitu melalui indoktrinasi propaganda hoax dan kekerasan melalui media, seperti yang sekarang terjadi dalam dunia maya. Untuk contoh yang kedua ini, jelas ada kesulitan tersendiri yang harus dihadapi untuk dapat menguraikan caranya. Sebab daya jangkau dari sarana ini sangat luas, namun wujud dari pelaku, siapa saja yang telah jadi korbannya mau pun waktu kejadian sukar untuk diidentifikasi.

Mengenali Narasi “keterjajahan” dalam hoax

Informasi yang disebarkan oleh situs tersebut memang memiliki karakter yang beragam. Salah satu bentuk situs penyebar hoax yang cukup sering dikonsumsi masyarakat adalah situs dengan bentuk provokasi pembebasan terhadap penindasan bagi masyarakat Muslim. Narasi yang dibangun oleh situs semacam ini umumnya diawali oleh gaya bahasa mengenai keluhan hingga perasaan putus asa terhadap pemerintah yang berdaulat. Narasi yang melanjutkannya adalah saat ini beban penderitaan yang dialami oleh masyarakat (umat Islam) sudah sangat di luar prikemanusiaan. Yang ketiga adalah mengangkat narasi mengenai pentingnya penguatan ukhuwah islamiyah dalam konteks yang sangat literal. Di mana muaranya adalah seruan pembentukan sebuah pemerintahan yang baru dengan bentuk kekhalifahan dan syariah Islamyang jadi dasarnya.

Bila narasi semacam itu coba diamati,ada kecenderungan logika yang ingin dibentukbermuara pada hidden agenda(agenda tersebunyi). Di mana gagasan utamasebenarnya adalahpemunculan sebuah komunitas yang memiliki kesamaan identitas yang juga memiliki kesamaan kondisi. Kondisi yang dimaksud adalah, mereka teraniaya dan selama ini belum juga mengambil sikap perlawanan. Pemunculan perasaan inferior atau dalam kajian kritis biasa dibaca sebagai perasaan diri “terjajah”dengan bingkai kalimat yang memoderasi pembaca, akhirnya menggiring pada sikap empati terhadap keadaan tersebut.Hal ini kemudian membawa para pembacapada apa yang disebut amartya Sen sebagaiidentity singularization (Sen, 2007). Yang selanjutnya mengantarkan pada pemahaman oposisi biner dalam bentuk “kami vs mereka”. Bila fase ini sudah terjadi, bukan tidak mungkin akhirnya lahir sebuah aksi nyata yang ditujukan untuk membela kaumsendiri dengan cara melawan pihak yang lain.

Akhirnya, tesis yang dikemukakan oleh Vraneski & Richter pada 2003 mendapatkan penegasan kebenarannya. Dalam tulisan tersebut, mereka berargumen bahwa media dipengaruhi oleh, dan, pada saatyang bersamaan, dapat mempengaruhi dinamika…(Vraneski &Richter, 2003). Konsepsi yang mereka coba sarikan itu, tampaknya masih terejawantahkan pada sejumlah fenomena hoax yang kerap disebarkan dan dikonsumsi oleh para teroris dan terduga teroris.Hasil dari indoktrinasi macam ini, bisa dilihat rupa hasilnya dalam beberapa upaya yang dapat dikategorikan sebagai upaya separatis dengan menebarkan teror. Contoh yang pertama adalah peristiwa Bom Sarinah pada 14 Januari 2016 yang bukan hanya memunculkan korban jiwa namun juga korban materiil. Yang kedua adalah upaya teror dengan cara bom bunuh diri yang dilakukan di depan markas kepolisian resort kota Solo pada Juli 2016. Yang ketiga, Pelemparan bom yang terjadi di Samarinda pada 13 November 2016 dan akhirnya mengakibatkan 4 orang anak kecil jadi korban. Yang terakhir adalah penyergapan yang dilakukan tim Detasemen khusus anti teror terhadap tersangka yang diduga akan melakukan upaya peledakan di depan Istana Negara pada 10 Desember 2016 di daerah Bekasi Barat.

Logika dan contoh di atas haruslah dipahami secara komprehensif dan kemudian diinternalisasikan. Sebab logika atau cara berfikir demikian bisa menghinggapi kelompok masyarakat mana pun. Sejatinya, hal tersebut hadir karena adanya relasi dualitas antara dunia maya dan dunia nyata. Agen dan struktur yang ada tidak dapat terpisahkan. Sehingga adanya konten hoax bukanlah menjadi identitas kelompok agama maupun suku tertentu. Siapa pun dan dari mana pun dapat menjadi pihak yang melakukannya, karena dorongan mentalitas “si terjajah” dapat menghinggapi semua pihak. Ini adalah sebentuk embrio bahaya laten yang dapat berujung pada separatisme.

Fredy Torang WM

Penerima Asian Graduate Student Fellowship - Asia Research Institute 2016, Pengajar di program studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago