Kebangsaan

Seruan Jihad Membela Tanah Air

Pahlawan telah menyerahkan segalanya dengan berkorban pikiran, harta dan jiwa demi kemashlahatan bersama. Bukan sekedar yang dikenal dengan gelar Pahlawan, tetapi ribuan pahlawan berguguran yang tak mampu dikenang secara keseluruhan. November sangat luar biasa untuk mengenang mereka yang dikenal hingga yang tak dikenal dalam sejarah. Pahala perjuangan adalah untuk mereka dan tidak perlu ketenaran.

Tidak kurang tiga bulan dari Proklamasi Kemerdekaan Republik, bangsa ini harus menghadapi pertempuran dahsyat yang tidak seimbang dari segi senjata dan peralatan perang lainnya. Namun, hanya satu tekad yang menyatukan dan menyalakan semangat perjuangan. Persatuan tentu adalah kunci utama.

Pekikan takbir Allahu Akbar dari suara Bung Tomo menggema. Lewat gelombang radio kalimat ini menggugah semangat para pejuang dan seluruh masyarakat. Masyarakat dengan seksama memaknai perang itu sebagai bentuk jihad fi sabilillah. Bekal Resolusi Jihad dari para ulama semakin memperkuat gerakan mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih.

Dari kenangan sejarah ini, masyarakat harus belajar bagaimana perjuangan itu tidak mudah. Perjuangan itu membutuhkan persatuan dan kebersamaan. Dan perjuangan membutuhkan legitimasi keagamaan yang kuat sehingga menyalakan api membara perjuangan. Teriakan takbir menggema dan seruan jihad melegitimasi perjuangan bangsa ini.

Dalam konteks inilah, takbir merupakan seruan sakral untuk medorong semangat dalam meraih kemashlahatan bersama seluruh komponen bangsa. Jihad digunakan untuk mempertahankan tanah air yang dicintai sebagai tempat bersama seluruh anak bangsa. Takbir dan jihad adalah bagian dari semangat para pahlawan dalam mempertahankan bumi pertiwi.

Itulah sejarah kemerdekaan Indonesia yang penuh nuansa relijius yang cukup tinggi. Agama menjadi pendorong perjuangan dan agama pula yang menjadi pondasi bagi persatuan seluruh masyarakat Indonesia. Agama ditempatkan sebagai semangat produktif yang dapat membangkitkan gerakan perlawanan terhadap penjajahan yang ingin merebut tanah air.

Sejarah ini perlu dipahami agar tidak ada segelintir kelompok yang ahistoris yang meneriakkan takbir dan jihad dengan niat untuk mengganggu kedaulatan negara. Jihad yang disalahtafsirkan menjadi alat untuk melakukan kekerasan di tengah masyarakat yang damai dan harmoni. Jihad perang memang ajaran Islam, tetapi tidak bisa digunakan dalam kondisi yang damai seperti sekarang. Jangan pernah memanipulasi jihad sebagai legitimasi perang dan kekerasan untuk menghilangkan nyawa yang tidak berdosa.

Begitu pula dengan takbir. Kalimat sakral ini adalah bentuk seruan untuk mengajak persatuan. Takbir menggugah semangat perjuangan untuk bersatu tidak takut terhadap penjajahan. Takbir bukan diteriakkan dengan cara membelah persatuan. Sekali lagi jangan manipulasi kalimat takbir untuk memecahbelah umat.

Sangat ironi saat ini. Fenomena pekikan takbir kerap digunakan tidak pada konteks yang tepat. Begitu pula jihad sering dimanipulasi atas tindakan kekerasan. Lalu, mereka mengatakan Islam terdzalimi? Padahal sesungguh kelompok manipulator inilah yang merusak citra Islam dan menjadikan kalimat sakral sebagai kedok untuk kepentingan politiknya. Mereka yang menjual agama dengan kepentingan dunia.

Sudah seharusnya para generasi muda saat ini tidak mudah terpukau dengan rayuan ajakan kelompok ini. Dalil agama memang kerap mereka umbar untuk meraih simpati, tetapi sejatinya adalah untuk memikat hati. Mereka seolah menjadi para pejuang, tetapi sesungguhnya para pecundang yang ingin merusak negeri damai menjadi negeri perang.

Karena itulah, mengenang para pahlawan adalah mengenang pula semangat, ketulusan dan tanpa pamrih mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan yang kita nikmati saat ini. Sangat ironi, jika perjuangan tak kenal lelah yang dilakukan para pahlawan kita justru dirusak dengan kalimat keagamaan yang dimanipulasi untuk kepentingan politik seperti saat ini.

Pekikan takbir dan seruan jihad para pahlawan adalah bukti sejarah bagaimana mereka adalah mujahid yang sesungguhnya. Bukan mujahid yang teriak jihad dengan menghancurkan perdamaian dan melakukan kekerasan kepada mereka yang tidak berdosa.

This post was last modified on 27 November 2022 3:45 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

15 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

15 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

16 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

16 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago