Narasi

Sesat Pikir dalam Memahami Istilah Thoghut

Istilah toghut ramai digunakan oleh sekelompok masyarakat kita yang ditempelkan kepada pemerintahnya, penegak-penegak hukum, atau bahkan pada ulama-ulama dan aktivis dan lain-lain sebagainya. Bahkan mereka menganggap orang-orang yang bekerja di pemerintahan atau pegawai sebagai anshor toghut atau para penolong toghut.

Istilah thoghut memang banyak ditemukan dalam ayat-ayat Alquran, namun makna thoghut yang dimaksudkan dalam beberapa ayat sangat berbeda dengan makna yang digunakan oleh sekolompok masyarakat kita yang ditujukan kepada orang-orang tertentu. Mereka yang dianggap thoghut adalah mereka yang ingkar kepada Allah dan hukum-hukumnya, setan, berhala-berhala dan seseorang yang menjadikan dirinya sebagai orang yang disembah adalah termasuk orang-orang thoghut.

Thoghut lawannya adalah auliyaullah atau wali-wali Allah atau yang memberikan dirinya untuk menolong Allah dengan menjalankan seluruh perintah-perintahnya dan menjauhi seluruh larangannya. Berbeda dengan thoghut yang mengingkari segalanya bahkan menempatkan dirinya sebagai orang yang disembah dan melampau batasnya sebagai manusia atau makhluk yang harus menyembah kepada Allah Swt.

Kata thoghut sendiri berarti setiap yang melewati batasnya. Ketika seseorang menempatkan dirinya sebagai orang yang disembah dan meniadakan dirinya sebagai makhluk dan hamba maka orang itu dikategorikan sebagai thoghut. Begitu pula seseorang yang memerintah tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan agama, maka itu juga bisa dikategorikan sebagai thoghut. Hal ini sebagimana yang terjadi pada kaum-kaum sebelumnya di mana mereka menolak nilai-nilai yang dibawa oleh para nabi dan rasul-rasul yang diutus oleh Allah kepadanya dan justru bersekongkol dengan thoghut-thoghut yang ada untuk melakukan tipu muslihat dan ingkar kepada Allah

Memang sejumlah ulama ekstrim menganggap bahwa undang-undang yang dibuat oleh manusia adalah merupakan sebuah bentuk kethoghutan dan mengimaninya sebagai kebenaran merupakan sebuah bentuk kemusyrikan. Demokrasi, kapitalisme dan sosialisme  dianggap thoghut. Bagi mereka yang harus dijalankan adalah syariat Tuhan secara riil tanpa harus tawar-menawar. Syariat Islam harus menjadi landasan negara karena Tuhan telah menekankan bahwa barang siapa yang tidak menjalankan hukum Allah maka sesungguhnya mereka itu, adalah orang-orang musyrik atau orang-orang kafir atau orang-orang yang menganiaya.

Namun kelompok ekstrim ini sebenarnya tidak sadar bahwa terdapat sejumlah permasalahan di tengah-tengah masyarakat Islam yang tidak dijelaskan dalam Alquran dan Al hadist sehingga untuk menemukan hukum terhadap masalah itu harus melalui ijtihad yang merupakan kerja nyata ulama-ulama Islam. Undang-undang yang dibuat oleh pihak tertentu dalam sebuah negara tidak serta merta harus dinilai sebagai undang-undang manusia yang thoghut, karena bisa saja undang-undang tersebut tidak terlepas dari kemaslahatan umat manusia baik untuk pribadi maupun untuk kepentingan masyarakat agar mereka bisa hidup dalam ketenteraman dan kedamaian. Dengan undang-undang tersebut mereka bisa mendapatkan hak-haknya sebagai manusia agar mereka tidak dirugikan oleh kelompok atau orang-orang tertentu.

Masalah menghakimi seseorang sebagai thoghut atau kafir atau bagaimana seorang muslim hidup dalam sebuah negara baik yang dipimpin oleh orang-orang Islam tetapi tidak mendeklarasikan diri menegakkan syariat Islam atau dalam sebuah negara yang dipimpin oleh non muslim sudah banyak dibahas oleh para ulama-ulama kita. Termasuk dalam sejumlah buku tentang hukum-hukum berdomisili di negara yang diatur oleh pemerintahan yang beragama Islam dan pemerintahan yang tidak beragama Islam. Istilah mengkafirkan atau menthoghutkan pemimpin-pemimpin itu sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam.

Dalam pemikiran Islam Sunni bahwa seseorang tetap harus tunduk dan ikut dalam sebuah pemerintahan atau kekuasaan selama tidak mengajak untuk mendurhakai Tuhan. Termasuk Ibnu taimiyah sendiri menetapkan kewajiban seseorang muslim untuk tetap ikut dalam pemerintahan atau kekuasaan yang menjalankan sholat dan kewajiban-kewajiban agama dan tidak mesti harus meninggalkan penguasa seperti itu karena ia bukanlah seorang kafir atau thoghut. Menghakimi mereka sebagai thoghut atau kafir tidaklah benar karena mereka beriman kepada Allah dan rasul-rasulnya bahkan mereka menjalankan perintah-perintah Allah, sehingga tidak ada alasan untuk meninggalkan pemerintahan seperti itu atau keluar dari pemerintahan seperti itu.

Kelompok Khawarij yang ekstrim menghukum semua orang sebagai orang kafir jika tidak melaksanakan perintah Tuhan atau tidak menjalankan perintah-perintah Tuhan. Akan tetapi, pemikiran tersebut disanggah oleh banyak ulama karena dalam menghukum setiap orang beriman atau tidak beriman tidak dapat diukur dari perbuatannya apalagi menghakimi sebagai orang kafir hanya karena tindakannya dan perbuatannya. Seseorang menjadi kafir adalah urusan syar’i atau hak proregatif Tuhan. Tuhanlah vang tahu seseorang itu kafir atau tidak dan derajat kafir-pun memiliki tingkat yang berbeda -beda.

Demikian pula halnya istilah Thoghut tidak bisa sembarang menempelkan kepada seseorang sebagai toghut apalagi jika orang itu, beriman kepada Allah dan sholat lima waktu serta menjalankan seluruh perintah tuhan. Hal ini sangat kesesatan berpikir karena makna thoghut itu sendiri adalah menafikan Allah dan menolak semua perintahnya dan kewajibannya sebagai seorang hamba terhadap Tuhannya.

Seseorang bisa saja dianggap thoghut jika ia telah menempatkan dirinya sebagai penentu halal dan haramnya sesuatu atau bertindak sebagai penghukum dan menghakimi seseorang dengan seenaknya serta menafsirkan teks-teks agama sesuka hatinya. Mereka yang menghukum seseorang thoghut atau kafir, menetapkan halal atau haram padahal hal-hal tersebut adalah kewenangan Tuhan. Apa yang Allah telah haramkan harus diharamkan dan apa yang Allah telah halalkan harus dihalalkan, bukanlah manusia yang mengatakan halal dan haram tanpa merujuk teks agama yang sesungguhnya dan memahami segala seluk beluk hukum itu karena yang halal dan haram sudah sangat jelas dan yang ada diantara keduanya adalah masalah yang syubhat dan kesyubhatan bisa saja membawa kepada yang haram.

Bisa saja mereka yang gemar menggunakan istilah thoghut kepada orang mukmin justru merekalah sesungguhnya yang thoghut, karena ia telah berani menghukum seseorang sebagai thoghut padahal mereka adalah orang-orang yang beriman. Bisa saja mereka yang gemar mengkafirkan orang lain juga termasuk kafir karena urusan kafir adalah urusan tuhan. Kafir dan thoghut adalah dua istilah yang tidak bisa diberikan kepada sesama muslim. wallahu a’lam,

This post was last modified on 13 Maret 2017 4:19 PM

Suaib Tahir

Suaib tahir adalah salah satu tim penulis pusat media damai (pmd). Sebelumnya adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi timur tengah. Selain aktif menulis di PMD juga aktif mengajar di kampus dan organisasi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

7 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

7 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

7 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago