Narasi

Shahifatul Madinah dan “Bani Qainuqa” Indonesia

Piagam Madinah (Shahifatul Madinah) adalah dokumen penting yang menunjukkan penghormatan Islam terhadap perbedaan. Di bawah kepemimpinan Rasulullah, masyarakat dengan identitas berbeda disatukan dalam sebuah komunitas bersama. Komunitas yang terdiri dari beragam golongan tetapi memiliki tujuan sama yaitu menghadirkan kedamaian dan keamanan. Kecurigaan, prasangka, dan dendam dilebur sekaligus digantikan oleh kebersamaan. Perjanjian Madinah pun memberi inspirasi mengenai urgensi persatuan antar sesama. Bahwa solidaritas harus dijunjung tinggi, sementara perpecahan wajib dibuang sejauh mungkin. Dengan hadirnya kesepakatan Madinah ini, keluhuran ajaran Islam semakin terpancar. Islam sebagai agama yang menghormati persaudaraan antar umat manusia. Spirit ini perlu dipahami dan disebarkan oleh kaum Muslim dimana pun.

Said Ramadhan Al-Buthy, dalam Fikih Sirah, menjelaskan klausul kedua dan ketiga Piagam Madinah menunjukkan faktor terpenting terbentuknya masyarkat Islam adalam penanaman persatuan dan gotong royong semaksimal mungkin. Masyarakat saling bertanggung jawab satu dengan lainnya. Selain itu, klausul ketujuh Piagam Madinah menunjukkan prinsip kesetaraan antar sesama Muslim. Kesetaraan bukan sekedar hiasan, melainkan tiang utama yang wajib diimplementasikan bagi terbentuknya masyarakat Islam. Selain itu, dzimmah (orang yang keselamatannya dijamin) adalah terhormat. Mereka tidak boleh dizalimi. Tidak boleh ada muslim lain, baik pemerintah maupun rakyat jelata, yang bisa merusak jaminan keamanan tersebut. Dan berlaku untuk laki-laki dan perempuan (2010: 241-242).

Jika dalam sejarah perkembangan Islam Piagam Madinah menjadi tali pengikat persatuan dan persaudaraan, maka Indonesia memiliki Pancasila sebagai simpul yang menyatukan kemajemukan masyarakat. Keduanya memiliki prinsip-prinsip universal dan dapat berlaku kapan saja dan dimana saja. Ada penghormatan atas kemajemukan, perlindungan bagi kelompok yang berbeda, ajakan untuk menguatkan solidaritas, keadilan, dan sebagainya. Nilai-nilai ini tidak akan tergerus perputaran waktu. Akan selalu kekal dan relevan. Pancasila menyatukan seluruh suku, agama, ras, dan golongan dalam wadah yang satu bernama Indonesia. Sekat-sekat primordial yang sempit digantikan konsesus untuk meraih cita-cita bersama. Pancasila menjadi cahaya penuntun agar dapat melalui jalan terjal menuju kesejahteraan. Tanpa adanya panduan dan pegangan, niscaya bangsa ini akan terseok-seok. Tidak ada kesamaan visi. Masing-masing berjalan sesuai kehendaknya. Pengabaian terhadap Pancasila sama dengan membuang warisan berharga pendahulu bangsa Indonesia. Padahal tidak semua bangsa di dunia memiliki kesepakatan seperti Pancasila. Maka, kita harus bangsa dan berusaha sekuat tenaga melestarikan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Rizal Penggabean (2009: 112) menyatakan proses kelahiran dan perkembangan Islam sejak masa Piagam Madinah menunjukkan kemungkinan untuk bekerja sama dan saling menghormati. Tidak ada pemisahan identitas Islam dari jalinan-eratnya dengan agama-agama lain. Bahkan terhadap paganisme. Hal ini sangat relevan untuk masa kini. Semua umat beragama telah hidup dalam negara bangsa yang menerima asas kewarganegaraan. Sistem proteksinya dilakukan berdasarkan konstitusi kepada seluruh warga tanpa membedakan latar belakangnya. Dalam istilah Piagam Madinah, negara adalah haram, tempat yang mendorong orang dari beragam latar belakang untuk dapat bergaul dan bekerja sama.

Dari pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa menegakkan Pancasila selaras dengan nilai-nilai Islam yang termaktub dalam Piagam Madinah. Sehingga mengamalkan Pancasila, baik langsung maupun tidak langsung, berarti mengamalkan warisan Islam. Tidak perlu lagi menganggap Pancasila bertentangan dengan nilai dasar Islam. Apalagi berusaha menggantikan Pancasila dengan ideologi lain yang dianggap lebih Islami. Tindakan tersebut justru kontraproduktif dan hanya akan menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan bangsa ini.

Terkait pelaksanaan Piagam Madinah, ternyata ada pihak-pihak yang mengingkarinya. Bani Qainuqa adalah kelompok pertama yang melanggar perjanjian damai dengan Rasulullah. Nabi Muhammad awalnya tetap menasehati kelompok ini agar mematuhi perjanjian tersebut. Tetapi Bani Qainuqa tetap tidak menghormati kesepakatan damai. Akhirnya, Rasulullah pun mengambil tindakan tegas terhadap mereka. Dalam konteks Pancasila dan Indonesia, fenomena serupa pun terjadi. Masih ada individu/kelompok yang tidak mengakui eksistensi Pancasila dan tidak ingin konsisten mematuhinya. Perilaku mereka hampir mirip dengan Bani Qainuqa. Terhadap golongan ini, tindakan awal yang dilakukan adalah mengingatkan kembali tentang urgensi kesepakatan. Jika langkah ini tidak berhasil, perlu dilakukan tindakan tegas sehingga keutuhan bangsa Indonesia terus terjaga.

This post was last modified on 23 Agustus 2018 3:17 PM

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

13 jam ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

13 jam ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

13 jam ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

2 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

2 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

2 hari ago