“Doa Bersama” kembali menjadi perdebatan publik pasca Menag Yagut ingin agar semua agama yang diakui di Indonesia, mendapat kesempatan yang sama dalam doa. Menurut Gus Men itu –sapaan akrabnya di media sosial – Kementerian Agama bukanlah ormas Islam. Jadi tidak melulu doa umat Islam saja yang diutarakan.
“Pagi ini saya senang rekarnas dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran ini memberikan pencerahan sekaligus penyegaran untuk kita semua. Tapi aka lebih indah lagi jika doanya semua agama diberikan kesempatan untuk memulai doa.” Ucapnya dalam kata sambutan rekarnas Kemenag 2021 (5/4/2021).
Sontak saja usulan menteri agama mendapat respons yang beragama. Anwar Abbas, Waketum MUI dengan tegas menolak ide ini. Bagi Abbas, ini tidak proporsional, sebab agama apa yang paling banyak, doa versi agama itulah yang seharusnya dijadikan rujukan doa.
Dan selama ini, kata Abbas, tidak ada masalah dengan doa ala agama tertentu. Justru inilah toleransi, menghargai perbedaan. Bahkan Waketum MUI itu sempat mengatakan, menteri agama kehilangan akal.
Sebagian pihak juga mengkritisi ide ini, sebab ini adalah bentuk toleransi yang artifisial. Sebab, berapa lama nanti waktu yang dihabiskan hanya untuk berdoa saja, padahal doa itu bukanlah inti sebuah acara.
Meminjam istilah Syafiq Hasyim, doa dalam acara itu ibaratkan bumbu bawang, tak boleh terlalu banyak, akibatnya makanan rasanya tak karuan, tetapi tak boleh juga ditiadakan, sebab makanan akan hambar rasanya. Ia harus pas sesuai takarannya.
Memotret Keberagamaan Kita
Terlepas polemik doa bersama itu, adalah suatu fakta, pasca reformasi semangat beragama juga identitas agama semakin mewarnai lingkungan kita. Tak jarang ruang publik yang seharusnya netral dan akomodatif terhadap semua kelompok agama, justru semakin eksklusif, akibat atribut, identitas, serta simbol-simbol agama tertentu semakin dominan.
Salah satunya adalah tentang doa keagamaan yang dilontarkan di kegiatan-kegiatan publik. Doa keagamaan ini dalam praktiknya didominasi agama tertentu, sementara agama-agama lain tidak mendapatkan tempat.
Memang sudah ada terobosan dengan doa lintas agama. Artinya ketika acara-acara kenegaraan, semua doa agama diucapkan, mulai dari Islam. Kristen, Budha, Hindu sampai kepada aliran kepercayaan.
Akan tetapi, bagi sebagian orang doa ini dinilai terlalu ribet, bertele-tela, dan terkesan hanya formalistik saja. Doa lintas agama kurang praktis. Banyak pihak yang malah agak kesulitan, selain panjang, juga dinilai tidak fungsional.
Untuk itu sebagian pihak mengusulkan agar kembali kepada doa kebangsaan. Doa kebangsaan dinilai bisa mengakomodasi semua agama dan diterima oleh semua kelompok. Memang logikanya harus seperti itu. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, semua anak bangsa sudah melebur, tidak ada lagi umat agama ini atau umat agama itu, semuanya adalah warga negara.
Simpul Kebangsaan
Sudah seharusnya dalam konteks berbangsa yang digunakan adalah identitas, atribut, serta simbol kebangsaan itu sendiri, bukan kelompok/agama tertentu. Ini bukan berarti ingin mempertentangkan antara doa keagamaan dengan doa kebangsaan, melainkan memposisikan keduanya sesuai dengan tempatnya masing-masing.
Dalam ranah ruang komunal agama tertentu atau acara keagamaan tertentu maka yang dipakai adalah doa keagamaan. Sebab itu lebih mengena dan lebih fungsional. Acara kenegaraan atau acara-acara publik lainnya yang diperuntukkan semuanya tentu lebih elegan dan lebih fungsional menggunakan doa kebangsaan.
Dengan doa kebangsaan tidak ada pihak yang merasa dikucilkan, atau ada pihak yang merasa paling besar. Semua sama-sama menerima sekaligus sama-sama didudukkan sebagai warga negara.
Dalam konteks ini, doa kebangsaan bukan bermaksud untuk menggantikan doa keagamaan. Kita ingin mendudukkan agar ruang publik dan acara kenegaraan inklusif dan akomodatif terhadap semua agama, bukan hanya satu agama saja, yakni Islam saja.
Usulan agar menggunakan doa kebangsaan tidak lain agar kita bersikap proporsional. Artinya menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Ruang publik atau acara kebangsaan harus menggunakan atribut, simbol, dan identitas kebengsaan. Ruang publik dan ruang komunal memang perlu dibedakan, bukan dipisahkan.
Mengikat Tali Persaudaraan
Dengan pembedaan ini maka diharapkan akan terjadi ikatan persaudaraan yang kuat. Semua merasa diberi haknya. Semua setara dalam ruang publik. Dengan doa kebangsaan tidak ada pihak yang disubordinasi atau merasa agamanya tidak dihargai.
Doa kebangsaan adalah simbol bahwa kita adalah saudara satu bangsa, satu pengamalan sejarah, dan satu perasaan sebagai sesama warga negara. Doa kebangsaan adalah doa kedamaian universal dalam konteks berbangsa dan bernegara. Semua bisa menerima dan semua bisa menggunakannya.
Dengan demikian, upaya saling memahami akan lebih mudah terjalin jika dalam pembukaan acara saja diri setiap anak bangsa merasa dihormati dan diberi penghargaan. Simbol dan atribut kelompok tertentu yang berusaha agar doa kelompoknya digunakan sebagai doa dalam ruang publik atau dalam acara kebangsaan harus ditolak.
Dalam konteks ruang publik kita kembali kepada doa nasional yang kita sepakati. Doa yang bisa mengikat kita semua dalam tali persaudaraan kebangsaan. Dengan doa kebangsaan, kontroversi itu bisa diminimalisir. Sebab, semua pihak merasa diakomodir dalam doa itu.
This post was last modified on 9 April 2021 12:01 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…