Narasi

Sinergi Ulama-Umara untuk Melawan Kelompok Intoleran

Dua golongan manusia, jika mereka baik, akan baik seluruh manusia, dan jika ia rusak, akan rusak seluruh manusia. Mereka adalah para ulama dan umara.” (HR Ibnu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya).

Hadis ini memberikan peringatan bagi umat Islam bahwa suatu negeri akan baik dan aman, jika ada kesalehan para ulama dan keadilan para umara (penguasa). Sebaliknya, kerusakan negeri ini bergantung pada sinergi antar keduanya. Jika relasi keduanya berjalan tidak beriringan (saling bertentangan), maka akan terjadi perpecahan di mana-mana.

Oleh sebab itulah, para ulama zaman dahulu, sangat dekat dengan penguasa, bahkan antara ulama dan umara memiliki hubungan sinergis-simbiosis mutualisme. Hal ini terlihat dari fakta sejarah negeri ini, salah satunya, antara Bung Karno dan KH. Hasyim Asy’ari. KH. Hasyim Asy’ari merupakan ulama ulung yang pernah Indonesia punya. Sementara Bung Karno, adalah pemimpin negeri.

Keduanya hidup dalam situasi sama; Indonesia sedang terjajah. Melihat situasi ini, keduanya bersinergi dalam mengusir penjajah kala itu. Sebagai pemimpin umat, KH. Hasyim Asy’ari menanamkan pada para santrinya kala itu untuk komitmen pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komitmen keindonesiaan itulah yang disematkan oleh para ulama kala itu sehingga melahirkan gerakan perlawanan terhadap penjahan, yang puncaknya keluar resolusi jihad. yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945.

Sementara Bung Karno, sebagai pemimpin negara, tak alergi terhadap terhadap ualama. Wakil Bupati Trenggalek, Moch. Nur Arifin, mengurai sosok Bung Karno dalam bukunya Bung Karno ‘Menerjemahkan’ Alquran (2017) memotret pemikiran Bung Karno tentang Keislaman dan Keindonesiaan dalam bingkai ayat-ayat Alquran. Buku ini menepis bahwa Bung Karno adalah tokoh yang sekular, anti agama. Dari sini dapat diketahui bahwa antara ulama dan umara sudah memiliki sinergi dalam membangun dan menjaga NKRI.

 Sinergi ini tercapai karena memiliki komitmen dan cita-cita sama, yakni membangun Indonesia damai, bebas dan penjajahan.

Situasi Kekinian

Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini, Indonesia sedang dijajah oleh kelompok intoleran. Kelompok ini, secara blak-blakan, hendak mengendurkan rasa persaudaraan dan persatuan antar anak bangsa dan paling dahsyat adalah mencabik-cabik kebhinnekaan dengan cara mengadu domba antar sesama pemimpin moral (ulama) dengan pemimpin negara (umara).

Isu kriminalisasi ulama yang sempat senter dan saat ini masih digoreng oleh kelompok tertentu, menyadarkan kita bahwa saat ini sedang ada upaya adu domba antara ulama dan umara. Hal itu semakin kentara ketika isu PKI kembali diteriakkan dan kondisi dibuat seolah penguasa tidak tegas dalam menangani masalah isu PKI dan kriminalisasi terhadap ulama.

Dengan pembangunan opini seperti itu, publik, secara otomatis, akan terpengaruh dan selalu menaruh curiga pada ulama dan umara. Membenturkan ulama dengan penguasa sangat efektif untuk menimbulkan kegaduhan dan sikap intololeran.

Ironisnya, saat ini juga dapat ditemui bahwa ada ulama yang diduga kuat menjadi penyebab perpecahan bangsa dan negara Indonesia. Hal ini bisa diketahui dari mimbar khotbah-khotbah, yang materinya lebih menonjolkan ujaran kebencian. Dalam istilah Imam Al-Ghazali, ulama model ini adalah ulama su’ (ulama buruk) yang menjual akhiratnya untuk dunianya.

Memperkuat Sinergi

Harus dicamkan bahwa ulama dan umara bukanlah sesuatu yang terpisah. Yang ada, keduanya ibarat dua sisi dari sekeping mata uang yang apabila salah satu tidak ada, maka tidak ada keduanya. Dengan demikian, relasi ulama-umara adalah sebuah kewajiban yang tak bisa dihindarkan.

Ada beberapa sinergi yang bisa dilanggengkan oleh para ulama dan umara. Pertama, menjunjung tinggi toleransi dan ideologi Pancasila. Dua hal yang tak bisa dilepaskan dalam konteks membangun Indonesia jaya dan damai adalah; menjunjung tinggi toleransi dan mengakui Pancasila sebagai ideologi terbaik bangsa yang multikultural ini.

Ulama, yang salah satu tugasnya adalah mendidik umat, harus konsisten pada konsensus ulama zaman dahulu yang mengakui Pancasila sebagai ideologi bangsa. Bahwa ideologi diluar itu, sekalipun itu berbau ‘islami’ (khilafah-red) harus ditangkal karena tidak cocok diterapkan di republik ini.

Sementara itu, umara memiliki peran untuk menjalankan roda kehidupan yang adil, tanpa diskriminasi. Kunci terwujudnya toleransi adalah kehadiran negara dalam menjamin dan melindungi warganya tanpa memandang SARA. Jika keduanya sudah melakukan semua ini, maka kelompok intoleran akan mati kejang-kejang. Percayalah!

Kedua, ulama dan umara jangan membatasi diri pada bidang atau wilayah masing-masing. Fakta telah menyebutkan bahwa ualama adalah tiang keutuhan NKRI. Meski tugas dan ranah keduanya berbeda, namun banyak memiliki kesamaan dibanyak hal. Misalnya, sama-sama menjaga keutuhan NKRI. Bahwa ulama tidak terbatas pada persoalan agama melulu, melainkan bersamaan dengan itu, ia juga memiliki tanggung jawab memebela agamanya. Sehingga, ulama sejati, sebagaimana yang perah ditegaskan di awal, adalah yang menjaga NKRI. Begitu juga dengan umara, semua kebijakan yang akan dicetuskan, sudah syogyanya mendapatkan pertimbangan dari tokoh agama.

Terakhir, sama-sama melawan kelompok intoleran. Saat ini, kelompok intoleran sudah cukup marak, bahkan gerakannya sudah merambah pada dunia maya yang tak terbatas itu. Mereka dengan konsisten menggoreng isu sensitif, seperti memviralkan konten yang memacu emosi masyarakat. Mereka memviralkan hal yang bersifat perpecahan.

Betapapun ulama memiliki posisi lebih tinggi karena kedalaman ilmu, tidak boleh terpisah dari unsur penting lainnya, yakni umara. Untuk itu, para ulama dan umara sudah saatnya memperkuat sinergitas untuk melawan kelompok toleran yang gemar memecah-belah masyarakat.

Para ulama sejatinya punya peran khusus yang sejalan dengan peran umara. Salah satunya ada peran penyadaran. Bahwa umara memiliki tugas untuk menyadarkan umatnya untuk selalu melakukan terbaik untuk agama dan negaranya. Kita semua meyakini bahwa sikap intoleran adalah akhlak buruk yang harus dijauhi. Dalam konteks ini, ulama wajib melakukan penyadaran kepada umatnya untuk tidak mewarisi, apalagi menerapkan laku yang mengancam eksistensi NKRI itu.

This post was last modified on 20 Maret 2018 3:40 PM

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

10 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

10 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

10 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

10 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago