Wawancara

Sri Yunanto : Kasus Rocky Gerung, Hukum Harus Memperjelas agar tidak Jadi Preseden Mencaci atas Nama Kebebasan

Dalam sebuah diskusi yang kemudian viral di media sosial, pengamat politik Rocky Gerung mengkritik kebijakan Jokowi. Sejatinya, kritik itu tidak menjadi persoalan dan lumrah disampaikan siapapun. Namun, Rocky menyertai kritiknya dengan istilah yang kurang pantas yang seolah mengolok dan menghina Presiden di depan publik. Polemik muncul menuai pro kontra, tidak hanya di media sosial, tetapi juga di jalanan yang memecah belah dan membuat kegaduhan publik.Bagaimana sebaiknya menyikapinya dengan produktif?

Redaksi Pusat Media Damai (PMD), Reza, mewawancarai Prof. Sri Yunanto, M.Si., PhD.

Pengamat politik dan akademisi terkait pandangannya terhadap persoalan tersebut. Berikut petikan wawancaranya: 

Reza: Dalam konteks berdemokrasi sesuai dengan Pancasila, seberapa bebas kita sebagai konteksnya orang Indonesia bisa menyampaikan kritik atau saran terhadap pemerintah? 

Prof. Yunanto: Iya, jadi begini Mas. Demokrasi liberal tidak sama dengan demokrasi sosialis. Demokrasi sosialis dan liberal tidak sama dengan Pancasila. Tetapi, implementasinya juga bukan tidak terbatas. Itu juga dibatasi. Kalau kita bicara hukum, ya dibatasi oleh hukum. Kalau kita bicara mengenai budaya, ya dibatasi dengan norma budaya, kesusilaan, kesopanan, kepantasan. Dan itu nanti bisa ada satu hukum posisi, satu hukum masyarakat. Ya, jadi dalam budaya manapun itu selalu ada batas.

Nah, misalnya (dalam praktek) namanya kebebasan, sebebas apapun tidak boleh menistakan. Sebebas apapun tidak boleh menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, termasuk menjelek-jelekkan. Intinya dengan pendapat-pendapat yang tidak pantas. Jadi itu batas-batasnya. Jadi, sebebas apapun tidak boleh melakukan propaganda. Nah, itu batas, ya. Jadi intinya, kebebasan itu punya batasannya. Berdasarkan budaya dan kultur di mana kita hidup.

Reza: Baik, Prof. Ini beberapa yang tadi disebut oleh Prof. Yunanto kan seperti menjelek-jelekkan, atau menyinggung, budaya tertentu, atau misalnya hal-hal yang masih ada di ranah etis. Nah, apakah perlu hal-hal ini yang di ranah etis ini kita undang-undangkan supaya, etika juga berkekuatan hukum. Jadi, kalau orang ngomong kayak gitu, misalnya, itu ya bisa dijerat hukum. Perlu nggak kayak gitu, kira-kira? 

Prof. Yunanto: Justru, justru begini, hukum itu kan norma, ya. Norma itu, artinya, diciptakan untuk menjaga atau mencapai satu nilai tertentu. Ya kan? Nah, norma itu, dulu ada norma yang sifatnya adat, ada norma yang sifatnya agama, ada yang norma sifatnya hukum positif, hukum negara. 

Nah, jadi misalnya begini, kenapa orang tidak boleh menyebarkan berita bohong? Itu norma. Tujuannya agar tidak membuat kacau di masyarakat. Kenapa kacau? Kalau orang itu menyebarkan berita bohong, berita yang tidak benar, dan kemudian yang dianggap benar oleh masyarakat, kacau. Bahkan diciptakan norma. Nah, untuk mencapai nilai agar masyarakat tenang, harmonis, tidak kacau, gitu. 

Begitu juga. Bagaimana Anda bisa bayangkan kalau setiap orang di masyarakat itu bisa menjelek-jelekan satu sama lain? Masyarakat itu kan pasti akan marah. Dan kalau marah, kacau, konflik, perang, berantem. Memang bisa masyarakat akan hidup dalam situasi itu? Tidak bisa. Nah, karena kacau diciptakanlah norma agar tidak, seseorang tidak boleh mencemarkan nama baik siapapun. Dan, kalau orang merasa dicemarkan nama baiknya, bisa melakukan proses hukum. 

Jadi, memang intinya hukum untuk mencapai masyarakat yang harmonis yang di dalamnya ada nilai-nilai kesusilaan. Maka, diciptakanlah norma. Norma itu adalah hukum. Ada hukum yang levelnya hukum positif, yang hukum negara, yang sudah jelas dengan pasal-pasalnya. Ada juga misalnya hukum adat, hukum budaya, hukum agama. Itu ada. Bukan pasal. Misalnya hukum adat itu orang dikucilkan. Itu juga ada punishment, ya. Ada penalty. Kalau melakukan pelanggaran terhadap hukum, terhadap norma-norma tertentu yang sudah disepakati bersama. 

Nah, hukum positif juga disepakati. Siapa yang disepakati? Rakyat. Makanya ada KUHP, ada KUHAP, Loh kok Rakyat? Iya, melalui wakilnya di DPR. Nah, kan? Itu adalah satu norma yang sudah disepakati bersama. 

Reza: tentang kebebasan tadi, bagaimana Prof memandang dengan apa yang dilakukan Rocky Gerung belakangan ini? 

Prof. Yunanto: Ya, banyak sekali yang dilakukan Rocky Gerung, saya setuju. Ketika Rocky Gerung itu berpikir cerdas. Cerdas itu apa? Benar-benar memakai akalnya bukan memakai perasaan. Ketika dia bicara fakta dan juga mengatakan data-data. Dan argumenya dia punya, iya kan? Dan banyak, seringnya dia ngasih jalan keluar, walaupun jalan keluarnya beda. 

Tapi begitu sudah, istilahnya sudah yang keluar itu adalah nafsunya. Dan bahkan menggunakan kata-kata yang dalam standar-standar moral dan etis tidak pantas. Nah, ini juga bukan kritik lagi, menurut saya. Ini bukan kritik. Ini adalah yang mungkin bahasanya pencemaran baik, mengejek. Bahkan menggunakan kata-kata yang dalam pandangan umum itu sesuatu yang jelek. Siapa sih kalau dikatakan, misalnya bajingan begitu, kemudian orang itu merasa terhormat. Kan itu enggak, enggak ada. Ya, kan? 

Kalau sampeyan aja, sekarang enggak usah presiden ya, sampeyan aja, atau saya ngajar mahasiswa saya. Kan mahasiswa saya itu saya katakan, bajingan kamu. Ini kira-kira sakit, sakit hati nggak? Ya, kan? Oh, kalau mahasiswa itu dibilang bajingan kemudian tersanjung, wah, itu perlu dibawa ke rumah sakit jiwa dong. Atau orang mengatakan, saya katakan kata bajingan, tapi maksud saya itu baik, itu kata-kata yang baik, kata-kata yang terhormat, wah saya kira perlu diperiksa itu. Artinya, ini orang waras, enggak?

Nah, jadi ini kalau tadi setuju gak, banyak yang saya setujui dari Rocky Gerung, tapi untuk kasus satu ini saya kira, ini adalah sesuatu yang harus diproses secara hukum, karena sekarang ini kita akan masuk ke tahun politik, ya kan? Nanti itu bukan soal Pak Jokowi ya, nanti ada calon cawapres, capres saja ada berapa, tiga, ya kan? Ini yang di atas tiga, belum cawapresnya, belum calegnya, belum pilkada, coba bayangin kalau masing-masing itu membajingankan satu sama lain kira-kira masyarakatnya kacau enggak? 

Kalau presiden, itu tolol, itu bajingan, atau itu yang satu lagi, itu tengik, atau yang satu lagi, misalnya menggunakan semua kata, kata kebun binatang, kata yang buruk, semua kata itu, kira-kira, kira-kira itu bangsa ini akan runyam enggak? Pastilah akan runyam. Jadi jangan sampai apa yang disampaikan, kemudian jadi preseden bisa menggunakan kata-kata yang begitu jorok saja tidak diproses hukum mengatakan, ngapain saya diproses, kemarin Rocky Gerung aja enggak diproses kok, ya kan? Ya kan? 

Itu menurut saya. Ini bukan hanya untuk Pak Jokowi, memang arahnya mungkin barangkali Rocky Gerung itu arahnya Pak Jokowi. Tapi sebagai seorang public figure yang bicara di depan umum, itu akan menjadi presedennya. Siapapun yang bisa mengatakan kalimat yang sama kepada calon presiden, atau presiden yang akan datang, yang dia tidak suka. Dan kemudian dibiarkan. Kan bangsa ini bukan hanya, bukan hanya bangsa ini nanti tidak menjadi bangsa yang beradab, bermoral, tapi bangsa ini nanti akan berpotensi konflik. Karena ungkapan-ungkapan itu bisa menyulut emosi seseorang.

Nah itu kira-kira, jadi kalau dikatakan setuju atau tidak setuju, ya banyak yang saya setuju dengan Rocky Gerung. Tapi untuk kasus ini, ini menjadi satu fakta. Dia mengatakan itu harus menjadi kasus hukum, agar masalahnya bisa clear.

This post was last modified on 11 Agustus 2023 3:29 PM

Redaksi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

14 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

14 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

14 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago