Media sosial menjadi bagian dari nafas kehidupan dan ruh aktivitas masyarakat saat ini. Seakan tidak mengenal kasta dan usia, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa terbiasa memainkan di ruang ini sebagai bagian dari lingkungan baru. Hal yang menjadi terlupakan adalah kita tidak secara baik mengajarkan dan mendidik norma dan etika di dalam bergaul di lingkungan baru tersebut.
Sebagai lingkungan yang baru, media sosial tentu memiliki dua aspek positif dan negatif. Ia sebagai ruang netral tergantung bagaimana individu dan actor bermain di dalamnya. Ketidaksiapan dan ketidakkematangan dalam bermain di ruang baru ini justru menjadikan media sosial sebagai musibah. Salah satunya adalah banjirnya ujaran kebencian di media sosial.
Ujaran kebencian banyak kita temui bukan hanya di dalam narasi yang bersumber dari beberapa postingan seseorang, namun ujaran kebencian banyak kita jumpai di kolom-kolom komentar dari narasi tersebut. Sehingga ruang media sosial seolah sesak dengan berbagai umpatan, kata kasar hingga makian yang menurunkan keadaban bangsa ini.
Dalam laporan Countering Online hate Speech yang dilakukan Unesco (2015) sebagaimana dikutip oleh Sri Mawarti bahwa ujaran kebencian melalui media online sudah semakin pesat dan memiliki potensi untuk mencapai audiens yang lebih besar. Dampak ujaran kebencian pada akhirnya bukan hanya berdampak buruk terhadap individu dan kelompok sasaran, tetapi dapat meningkatkan tensi dan gejolak sosial yang dapat menimbulkan konflik dan disitegrasi bangsa. Dalam tahun 2018 pihak kepolisian telah menangkap 122 orang terkait ujaran kebencian di media sosial dengan setidaknya 3000 akun.
Dalam definisi ujaran kebencian dari Internasional Covenant on Civil Right and Political Right (ICCPR) yang diadopsi oleh PBB berbunyi: segala adokasi yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Jadi ujaran kebencian sejatinya meliputi dapat perkataan dan tindakan yang meningkatkan adanya gejala intoleransi yang berujung pada kekerasan, diskriminasi dan serangan terhadap kelompok minoritas dalam negara yang multikultur.
Pada Februari 2021 lalu, Microsoft, merilis laporan tahunan bertajuk “Indeks Keberadaban Digital” atau “Digital Civility Index”. Indeks tersebut menunjukkan tingkat kesopanan pengguna internet sepanjang tahun 2020. Survey itu bertujuan guna mendorong netizen agar dapat melakukan interaksi yang lebih sehat, aman dan saling menghormati di dunia maya. Dan Sayangnya, Indonesia menduduki peringkat 4 negara yang paling tidak sopan di Asia Tenggara, dengan nilai DCI 76. Salah satu indikatornya adalah persoalan ujaran kebencian.
Penting untuk ditegaskan sejak awal bahwa bermedia sosial sejatinya juga berinteraksi sosial yang juga terikat norma, aturan, nilai, moral dan hukum. Bermedia sosial tidak lebih memindahkan cara berinteraksi dan komunikasi di alam nyata ke alam maya. Namun, tentu saja interaksi di media sosial sangat berbeda karena karakteristiknya seperti konten tersebar ke berbagai banyak orang, secara langsung, lebih cepat, dan anonymous.
Sederhananya begini jika di ranah lingkungan sosial ada hak dan tanggungjawab kewargaaan, begitu pula di lingkungan media sosial ada pula kewargaan ditigal (digital citizenship) yang juga penting dipahami dan disampaikan oleh generasi muda. Jika ada hak dan kewajiban, norma dan sangsi, aturan dan larangan di lingkungan sosial, begitu pula di dalam bermedia sosial. Prinsip ini harus dipahami bersama.
Masyarakat yang sudah melek media ini harus mampu memberikan gerakan literasi bagaimana bermedsos yang sehat bebas dari penyakit media sosial seperti ujaran kebencian. Dalam melakukan pendidikan literasi media tidak cukup memahami literasi sebagai peningkatan masyarakat untuk memahami media atau sering dibilang “melek media” atau hanya mengembangkan keterampilan teknis dan kritis dalam memahami konten media. Terpenting dalam literasi masyarakat harus menghubungkan antara etika, tanggungjawab dan hak kewarganegaraan ketika bermedia sosial.
This post was last modified on 13 Desember 2022 11:21 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…