Narasi

Subtansi Hijrah dalam Konteks Negara Kebangsaan

Peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah menjadi penanda awal dimulainya kalender Islam. Penentuan awal penanggalan Islam dengan merujuk pada peristiwa hijrah ini sangat tepat lantaran hijrah merupakan momentum dimulainya peradaban Islam. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, di awal dakwah Islam di Mekkah Nabi Muhammad mendapat beragam hambatan. Kaum Quraisy Mekkah, terutama kelompok elitenya selalu membenci, menghujat bahkan berusaha menyingkirkan Rasulullah. Atas perintah Allah Swt sekaligus adanya permintaan warga Yastrib (Madinah) agar Nabi Muhammad menjadi penengah atas konflik antarsuku di antara mereka, Rasulullah dan para pengikutnya pun bermigrasi ke Madinah.

Dari sisi teologis, hijrah bisa dipahami sebagai upaya Nabi Muhammad menyelamatkan akidah Islam. Jika terus tinggal di Mekkah, Nabi Muhammad akan terus mendapatkan teror dan intimidasi dari kelompok Quraisy yang merasa terancam kedudukannya atas status kenabian Muhammad. Selain itu, hijrah juga merupakan manifestasi ajaran Islam, yakni meninggalkan segala hal yang buruk menuju jalan kebajikan dan kemaslahatan demi mendapat ridho Allah Swt. Dimensi ketaatan inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah ketika menjalani fase hijrah yang tentunya tidak mudah tersebut. Berbagai ancaman dan halangan ia lewati demi menyelamatkan akidah Islam dan menyelamatkan para pengikutnya.

Sedangkan dari sisi sosiologis, hijrah bisa dipahami sebagai tonggak awal terbangunnya peradaban dunia Islam yang kelak menjadi salah satu mercusuar peradaban dunia. Di Madinah, Nabi Muhammad tidak hanya melakukan dakwah Islam sebagaimana menjadi tugas kenabiannya. Lebih dari itu, Nabi Muhammad juga menunjukkan kapaitas dan kapabilitasnya sebagai seorang organisator yang mendesain sekaligus menggulirkan transformasi sosial. Sejumlah sejarawan Barat bahkan memberikan apresiasi yang tinggi pada Nabi Muhammad atas keberhasilannya mengubah lanskap sosial, ekonomi dan politik Jazirah Arab dalam periode satu dekade pertama masa hijrahnya ke Madinah.

Baca juga : Merdeka dari Pengasong Khilafah; Optimis Merajut Nasionalisme

Philip K. Hitti misalnya dalam buku monumentalnya The History of the Arabs menyebut bahwa Nabi Muhammad bukan hanya seorang pemimpin agama, namun ia juga merupakan pemimpin politik sekaligus organisator sosial ulung. Pernyataan Hitti itu seolah dikonfirmasi oleh Michael Hart yang menempatkan Nabi Muhammad sebagai orang nomor wahid di jajaran 100 tokoh dunia yang dianggapnya memiliki pengaruh paling besar. Pertanyaannya kemudian ialah bagaimana kita, umat Islam yang hidup di era kontemporer itu memaknai hijrah secara subtansial dan relevan dengan problem kekinian?

Selama ini, harus diakui umat Islam cenderung terjebak pada nalar glorifikasi dalam memaknai hijrah. Bahkan, sebagian umat Islam di Indonesia mempersempit makna hijrah sebagai praktik keberagamaan baru yang berkarakter simbolistik namun diklaim sebagai praktik keislaman paling kaffah. Hijrah lantas mengalami penyempitan makna dari yang sebelumnya meninggalkan segala hal yang dilarang Allah dan menuju jalan kemasalahatan menjadi tidak lebih dari sekadar eksploitasi simbol agama (Islam) di ruang publik. Penyempitan makna hijrah ini terbukti berdampak buruk, yakni kian dangkalnya praktik keberagamaan sekaligus terpecahbelahnya umat Islam.

Memaknai peristiwa keagamaan yang terjadi 15 abad lampau memang bukan hal yang mudah. Disinilah diperlukan upaya pemaknaan secara subtantif agar momentum peristiwa hijrah tidak berakhir menjadi selebrasi nirmakna. Bagi umat Islam di Indonesia, peristiwa hijrah idealnya dimaknai dalam perspektif negara kebangsaan. Seperti kita tahu, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tahun ini berusia 75 tahun merupakan negara kebangsaan (nation state) yang didirikan oleh para pendiri bangsa dengan spirit komunitarianisme dan kosmopolitanisme. Spirit komunitarian dan kosmopolitan itu terejawantahkan dalam falsafah negara yakni Pancasila dan konstitusi serta dasar hukum kita yakni UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi memberikan jaminan dan perlindungan bagi seluruh warganegara terlepas dari identitas (suku, agama dan ras) yang melekat padanya.

Spirit Transformasi Sosial Hijrah Rasulullah

Dalam konteks negara kebangsaan sebagaimana kita anut saat ini, hijrah idealnya dipahami sebagai sebuah proses transformasi sosial-keagamaan dari kondisi yang tidak adaptif pada realitas kebinekaan ke arah cara pandang yang lebih inklusif dan toleran pada perbedaan. Umat Islam di Indonesia saat ini wajib meneladani strategi transformasi sosial yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad, dimana dia tidak hanya membangun peradaban Islam, namun membangun peradaban manusia secara universal. Ketika tampil sebagai pemimpin di Madinah, Nabi Muhammad tidak mengistimewakan kelompok Anshar dan mendiskriminasikan kelompok Muhajirin. Sebaliknya, Nabi Muhammad meletakkan dasar-dasar tatanan sosial yang berlandaskan pada prinsip keadilan dan kesetaraan.

Berbeda dengan Mekkah yang berkarakter homogen, Madinah terdiri atas masyarakat yang heterogen baik dari sisi suku maupun agama, mulai dari Yahudi, Nasrani sampai penganut agama pagan. Atas kepiawaian Nabi Muhammadlah seluruh kelompok itu bersedia membangun satu konsensus dan komitmen bersama yang lantas tertuang dalam Piagam Madinah. Dokumen berisi 47 pasal itu berisi aturan ihwal tatakelola masyarakat heterogen yang didasari atas prinsip kemanusiaan, bukan sentimen keagamaan serta kesukuan. Piagam Madinah menjadi semacam penanda berakhirnya sentimen kesukuan yang memang kental dan seolah telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Arab kala itu.

Model transformasi sosial ala Nabi Muhammad ketika menjalani fase hijrah di Madinah ini idealnya dipraktikkan oleh umat Islam di Indonesia. Umat Islam Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan membangun tatanan masyarakat yang berperadaban (madani) di tengah realitas kebinekaan yang belakangan mulai terjebak pada sentimen konservatisme agama dan berkelindan dengan politik identitas. Bagi masyarakat Islam Indonesia, makna subtansial hijrah ialah pergeseran paradigma (shifting of paradigm) dari nalar keberagamaan konservatif-radikal ke nalar inklusif-moderat. Hijrah idealnya juga dipahami sebagai perubahan perilaku politik dari yang tadinya bertumpu sentimen identitas dan berorientasi kekuasaan menuju perilaku politik demokratis dan berorientasi pada kepentingan kebangsaan. Lebih dari itu, hijrah idealnya dimaknai sebagai perubahan dari mindset primordialistik menuju cara pandang nasionalistik.

Nabi Muhammad telah berhasil membuktikan bahwa hijrah yang dijalaninya berhasil  melahirkan tatanan sosial dan peradaban baru yang lebih maju dan humanistik. Hanya dalam waktu 10 tahun, Nabi Muhammad berhasil membangun kota Madinah sebagai prototipe ideal peradaban Islam setelahnya. Pada fase selanjutnya, Nabi Muhammad juga berhasil “merebut” kembali kota Mekkah dengan tanpa diwarnai oleh kekerasan. Penaklukan nirkekerasan ini merupakan buah dari perjalanan panjang yang dilalui Nabi Muhammad dengan penun perjuangan. Maka dari itu, penting bagi umat Islam Indonesia saat ini untuk meneladani spirit hijrah subtantif ala Nabi Muhammad tersebut.

Dalam konteks negara kebangsaan NKRI, subtansi hijrah harus dimanifestasikan ke dalam upaya membangun masyarakat yang berkarakter moderat dalam beragama dan demokratis dalam berpolitik. Moderatisme beragama memungkinkan umat beragama menjalankan agamanya secara inklusif, toleran dan pluralis. Cara pandang dan praktik keberagamaan yang demikian inilah yang relevan dengan kondisi Indonesia yang heterogen; terdiri atas bermacam suku, agama, dan ras. Sedangkan politik demokratis memungkinkan kita untuk menganulir praktik politik kotor terutama politik identitas yang bertendensi memecah belah bangsa. Kiranya peringatan tahun baru Hijriyah yang berbarengan dengan HUT Kemerdekaan RI ini mampu menjadi semacam katalisator umat Islam dan bangsa Indonesia untuk menggulirkan gerakan transformasi sosial-keagamaan menuju ke arah yang lebih progresif.

This post was last modified on 20 Agustus 2020 1:31 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago