Aksi terorisme kembali terjadi. Bom meledak begitu keras di Masjid Al-Raudlah, Mesir, 24 November 2017. Tindakan teror semakin biadab manakala mereka sengaja menyerang bertepatan pelaksanaan salat Jum’ah. Ratusan jiwa meregang nyawa, termasuk anak-anak. Meskipun ISIS yang biasanya mengklaim bertanggungjawab atas pelbagai aksi serupa di banyak tempat belum menyampaikan pernyataan, tapi otoritas Mesir menyebut, para teroris itu kedapatan membawa bendera ISIS.
Pemboman menarget rumah ibadah sudah sering terjadi. Di Indonesia, aksi teroris skala kecil juga pernah terjadi di lingkungan masjid seperti bom masjid Cirebon pada 2011 dan penyerangan terhadap anggota kepolisian di area masjid di Jakarta beberapa bulan silam. Di banyak negara yang masih didera konflik, pemboman terhadap masjid bukannnya tanpa alasan. Sepintas, agak janggal mengapa tempat sakral dan rumah bagi kaum muslim untuk beribadah menjadi sasaran aksi anarkistis.
Masjid menjadi target pemboman lantaran jemaahnya merupakan jemaah suatu sekte minoritas. Kita memaklumi, dewasa kini, ada beberapa komunitas aliran Islam, terutama di wilayah konflik, sering menjadi target serangan. Kedua kelompok itu diserang lantaran dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Dengan dasar itulah, mereka beranggap sah dan berkewajiban untuk melenyapkan mereka karena menodai kesucian agama. Kelompok yang sering juga dinilai merusak ajaran agama, ialah kaum sufi.
Dan, masjid yang terletak di Sinai Utara itu, dikenal sebagai masjid sufi. Ada benang merah bahwa masjid-masjid yang sering menjadi ajang kebiadaban para teroris itu merupakan tempat berseminya aliran keagamaan yang dianggap melencengkan doktrin agama. Karena itu, kiranya sah-sah saja dan tidak merasa berdosa hingga sampai pada aksi menghancurkan rumah Allah. Lebih biadab lagi, mereka juga sengaja membumihanguskan manusia-manusia yang ada di dalamnya, yang sedang merapal doa dan khusyuk bermunajat.
Para teroris kiranya beranggapan manusia-manusia itu, meski seumpama seagama, tapi dianggap telah sesat. Rasa kemanusiaan tidak lagi hadir. Mereka dengan bangga telah menghancurkan nilai dan harga tak ternilai sebuah arti kemanusiaan itu sendiri. Dalam konteks kemanusiaan ini, ada ungkapan menohok: Andaikata Baitullah dirobohkan, toh masih bisa dibangun kembali. Tapi, apabila kemanusiaan luluhlantak dengan melenyapkan jiwa sesama, apakah bisa dibangun kembali kemanusiaan itu?
Aksi nekat teror yang dipicu atas sentimental berbungkus agama, biasanya berangkat dari pemahaman yang dogmatis, hitam-putih, dan leterlek, Prinsip-prinsip itu berkemungkinan membawa pada pemahaman radikalisme. Hingga pada tahapan merasa paling benar sendiri sembari menyalahkan pihak yang tidak sepaham. Dalam rasa penghayatan beragama model seperti itu, agama terasa kering dan kaku. Tafsiran agama dan praktik keberagamaan yang diberikan oleh kelompok yang berkecenderungan radikalis, adalah tiadanya toleransi dan menghargai pihak yang berbeda paham.
Padahal, laku dan ucapan Nabi Saw senyatanya membuka ruang terbuka untuk ditempuh dari banyak jalan. Munculnya para ulama/imam fikih yang beragam ijtihad, misalnya, merupakan cerminan atas keluasan agama itu sendiri. Sehingga agama tidak dipandang hanya menyediakan jalan tunggal. Di sinilah relevansi ucapan masyhur Maulana Rumi tentang pecahan kaca, yang masing-masing kita mengambil serpihan-serpihan itu. Dengan arti lain, masing-masing mengambil jalan kebenarannya sendiri. Karena itu, tak perlu merasa paling benar.
Bila ditilik mendalam, tasawuf mewedarkan sisi lain nan mendalam tentang cara beragama. Ia sama sekali tidak berbicara bungkus, melainkan isi. Kedalaman hikmah tasawuf tidak akan pernah selesai diarungi lantaran ia lebih berbicara perihal hati dan perangai. Ia tidak bicara tentang teknis-teknis beragama, namun berorientasi bagaimana agama bisa menjadi spirit bagi manusia menjalankan fungsi kemanusiaannya. Sehingga agama benar-benar bisa terwujud sesuai dengan tujuan asasinya: membawa kedamaian dan kasih sayang.
Kurang tepat apabila tasawuf dikata tidak mempunyai pijakan sumber agama. Kehidupan Nabi Muhammad Saw-lah justru sebagai sumber kaum sufi menapaki laku keseharian. Kesederhanaan hidup, permaafan besar, kesabaran luar biasa, merupakan identitas yang menempel pada diri kaum sufi sebagaimana mereka meniru kepribadian Nabi Saw. Salah satu pokok laku sufi ialah, pantang merendahkan orang lain meski secara lahiriah ia berlumur dosa.
Bahkan kepada pelaku maksiat, kalangan sufi juga tetap mensyaratkan menaruh penghormatan. Sikap demikian itu lantaran mereka beranggapan, setiap diri manusia terselip naluri keilahian, jiwa kesucian, “spot” bersebut kemanusiaan atau sanubari. Karena itu, dalam hikayat-hikayat para pengamal tasawuf, hampir-hampir tak ada –untuk mengatakan tidak ada sama sekali—narasi gemar menyalahkan, membid’ahkan, dan mengkafirkan. Mereka lebih disibukkan untuk selalu menanam cinta dan menyebarkan perdamaian kepada siapa pun tanpa memedulikan latar belakang agama.
Sebagaimana sufisme Rumi, mencintai sesama manusia dan penghormatan terhadap semua makhluk dalam semesta alam –termasuk hewan dan tumbuhan—merupakan pijakan utama yang mesti dipunyai saban orang. Dengan kata lain, jalan untuk mencapai cinta kepada Tuhan (mahabbah) sebagai puncak ajaran kaum sufi –yang terstigma serba vertikal dan trasendental– adalah justru dengan memberikan cinta dan kasih sayang kepada seluruh umat manusia dan jagat raya. Wallahu a’lam
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…