Narasi

Tahun 2021 Saatnya Bersih-bersih Narasi Intoleransi dan Caci Maki di Media Sosial

Tantangan tindak intoleran masih membayangi kehidupan di negeri ini dari berbagai sisi dan lini. Sikap menggampangkan akan berujung fatal. Oleh sebab itu, masih diperlukan upaya-upaya yang serius dan berkelanjutan supaya tingkat kerukunan dan toleransi di negeri yang majemuk ini selalu tinggi–meningkat.

Terlebih realita kekinian (masih) menyebutkan bahwa ada tindakan intoleran yang dibalut dengan nuansa agama. Artinya, aksi intoleransi yang terjadi pada beberapa kasus, misalnya di Sigi beberapa waktu lalu, diduga karena adanya motif agama. Jadi, agama bagi kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menjadi penyebab mereka melakukan pemenggalan terhadap satu keluarga di Sigi. Juga di belahan dunia lain, intimidasi dan intoleransi masih menguat, terutama di Palestina oleh Israel.

Mehamai ajaran agama dengan baik dan benar serta mendalam, akan memunculkan pola pikir dan sikap yang inklusif dan ramah terhadap semua manusia dan ciptaan Tuhan. Karena prinsip dasar agama adalah memberikan petunjuk bagi manusia agar bisa hidup teratur, rukun, damai dan saling sinergi antar sesama (Misrawi, 2014: 77).

Oleh karena itu, para tokoh agama harus terus mengedukasi pengikutnya agar mereka memiliki pemahaman sebagaimana yang dimaksud oleh agama itu sendiri, bukan berlandaskan like-dislike, muslim non-muslim dan lain sebagainya. Demi Indonesia, berbedalah dengan damai. Berbedalah tetapi saling menghormati, bukan mencaci-maki agama atau kelompok lain.

Tidak Bisa Dijadikan Sebagai Legitimasi

Bekalangan ini beredar di media sosial sebuah narasi yang mengatas-namakan agama tetapi narasi tersebut sangat bertentangan dengan nilai agama. Narasi yang dimaksud adalah narasi intoleransi. Bahkan terkait hal ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menghimbau kepada masyarakat akan mewaspadai narasi intoleransi yang disebarkan secara massif di media sosial.

Di masa pandemi, kita tidak boleh lengah, karena dengan kondisi seperti ini, masyarakat banyak memanfaatkan waktu luang menggunakan sosial media. Makanya banyak narasi-narasi yang dikembangkan oleh kelompok jaringan teroris global,” kata Kepala BNPT, Irjen Boy Rafli Amar saat ditemui di acara BNPT Year-end Counter Terorism Briefing di Nusa Dua, Sabtu (12/12/2020).

Perbedaan keyakinan dan agama tidak bisa dijadikan sebagai legitimasi laku intoleran. Hal ini disebabkan karena beberapa hal.

Pertama, pandangan Islam tentang manusia dan agama. Dalam banyak kesempatan, Alquran memberikan gambaran tentang eksistensi manusia. Diantaranya adalah, manusia termasuk makhluk ciptaan Allah yang sempurna (QS. Al-Sajdah: 9, QS. Al-Hijr, 29 dan QS. Shad, 72).

Kesempurnaan manusia di atas makhluk lain terletak pada moral dan akal pikiran. Dengan dibekali dua potensi ini, manusia pada dasarnya memiliki fitrah untuk condong terhadap adanya eksistensi Tuhan Esa yang wajib disembah. Maka, dalam kondisi seperti ini, tidak ada paksaan untuk memeluk agama tertentu. Tugas orang Islam adalah mendakwahkan kebenaran kepada mereka. Urusan mereka mau memeluk Islam atau tidak, bukan menjadi tujuan akhir misi dakwah.

Dalam konteks argumentasi di atas, setiap umat beragama harus dipandang sebagai saudara dalam ranah yang universal (kemanusiaan). Hal ini bukan bermaksud berpikir liberal, namun sebuah pemahaman untuk menghindarkan tindakan intoleran atas nama agama. Hal ini senada dengan perkataan Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa: “Yang bukan saudaramu dalam seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan.” Ada kalanya dalam situasi tertentu, umat Islam menerapkan prinsip demikian.

Kedua, agama adalah alat pemersatu umat. Semua agama pada dasarnya mengajarkan nilai-nilai universal. Ajaran tersebut terbungkus dalam nilai-nilai yang luhur, diantaranya membangun perdamaian antar umat manusia. Ajaran demikian lazim disebut dengan istilah common platform, yaitu perdamaian dan kemanusiaan. Karena itulah, semua agama mendidik umatnya untuk tetap berdampingan dalam perbedaan.

Karena itulah, demi membangun martabat manusia, agama meletakkan perdamaian sebagai titik tujuan (pemersatu). Sehingga perbedaan keyakinan tidak bisa dijadikan alasan untuk bertindak intoleran. Jika agama menjadi alat pemecah belah persatuan, maka yang salah bukan agamanya, melainkan pemahamaan keagamaan pelakunya.

Oleh sebab itu, membangun kesepahaman menjadi kata kuncinya. Untuk mencapai kesepahaman, dibutuhkan dialog yang konstruktif untuk menjelaskan posisi masing-masing dengan mengedepankan prinsip santun dan ramah (Taufik, 2016: 30).

Ketiga, semua agama menghormati perbedaan. Setiap agama mengajarkan kepada kebaikan dan sejatinya juga menghargai adanya sebuah perbedaan. Maka, jika ada oknum atau kelompok bertindak intoleran berbasis agama, maka patut dipertanyakan cara beragama orang yang bersangkutan. Sebab, agama mengajarkan bahwa perbedaan tidak bisa menghalangi seseorang untuk berbuat baik (menjunjung toleransi).

Dalam Islam, toleransi antar beda agama menjadi salah satu perhatian. Banyak ayat dan hadis yang memberikan perhatian terhadap ajaran tersebut. Salah satunya sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jalalain karya Imam As-Suyuti dan Al-Mahhali. Bahwa sahabat Abu Husain mempunyai dua anak laki-laki, namun keduanya urung memeluk Islam. Sebagai orang tua, ia lantas memaksa kedua anaknya tersebut masuk Islam. Kemudian ia pun menghadap Rasulullah sera berkata: “Ya Rasulullah,.. pantaskah sebagian diantara kami masuk neraka?” sambil menunjuk kedua anaknya tersebut. Rasulullah pun diam. Lalu turunlah ayat Al-Baqarah [2]: 256), bahwa “Tidak ada paksaan untuk (mememasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”

Ayat ini jelas bahwa persekusi, paksaan, apalagi intimidasi tidak dibenarkan dalam agama. Berdakwah mengajak orang untuk menganut Islam adalah sebuah kewajiban, tetapi cukup dengan memberi penjelasan tentang kebenaran ajaran Islam dengan argumentasi dan cara yang baik, kemudian semuanya serahkan kepada nurani mereka.

This post was last modified on 29 Desember 2020 1:26 PM

Ahmad Ali Mashum

Peminat Kajian Keagamaan dan Kebangsaan, Tinggal di Jawa Tengah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago