Narasi

Tahun 2023 ; Indonesia Bebas dari Nafsu Politik Seperti Hewan

Perang paling dahsyat yang sesungguhnya kata Nabi adalah perang melawan hawa nafsu. Perang melawan nafsu yang menggiring manusia menjadi serakah, selalu berorientasi pada materi duniawi dan nafsu menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. Namun pesan Nabi ini acap kali tidak dihiraukan, oleh umat Islam sendiri. Nafsu mengalahkan akal sehat. Lebih-lebih dalam atmosfir politik.

Filusuf Yunani, Aristoteles, mengatakan manusia adalah makhluk sosial yang dibekali dengan nafsu politik seperti hewan. Fenomena “nafsu politik seperti hewan” seringkali menjadi realitas politik Indonesia. Karena politik dan kekuasaan, akal sehat yang mampu mengukur sejauh mana prilaku yang pantas dilakukan dan tidak menjadi tidak berdaya. Akal sehat itu raib ditelan gelinjang hasrat kekuasaan dan kepentingan sesaat.

Ironisnya, nafsu politik seperti hewan tidak hanya membawa mudharat terhadap kontestan atau calon presiden atau kepala daerah, namun berimbas pada pranata sosial kehidupan masyarakat. Seringkali rakyat menjadi korban dari konfigurasi politik yang di desain oleh elit politik. Masyarakat menjadi reaksioner, pemarah dan ambisius. Sehingga sering memunculkan riak-riak terjadinya keributan dan permusuhan antar pendukung calon.

Lebih jauh lagi, polarisasi dan konstalasi politik yang tidak sehat, memicu munculnya beragam berita hoaks, ujaran kebencian dan fitnah keji. Hal ini pasti menimbulkan efek negatif, berupa terputusnya tali persaudaraan dan pertemanan, serta disintegrasi bangsa. Efek domino yang ditimbulkan oleh nafsu politik seperti hewan dipastikan akan merugikan dan menyengsarakan rakyat. Padahal hakikatnya diselenggarakannya Pemilu tujuan utamanya adalah untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri. Namun yang sering terjadi adalah sebaliknya, politik justru menyengsarakan rakyat akibat efek-efek buruk yang ditimbulkan karena praktik politik yang tak beradab.

Akibat polarisasi dan konstalasi politik yang tidak sehat yang lain, berpotensi memunculkan konflik SARA. Politik identitas dipakai, bahkan agama jamak menjadi korban, dijadikan alat untuk melegalisasi praktik politik haram supaya terkesan halal.

Kesadaran Kolektif Terbebas dari Tipu Daya Nafsu Politik Hewani

Harusnya rakyat cerdas, dan memahami kondisi politik yang carut marut, sehingga mampu bersikap proporsional. Saling dukung kandidat peserta Pemilu suatu kewajaran dalam alam demokrasi. Namun fanatik buta merupakan hal yang tidak pantas, karena bisa menciderai prinsip demokrasi untuk mencari pemimpin yang benar-benar memiliki kapabilitas dan kualitas.

Maka, di tahun politik 2023, sampai puncaknya nanti tahun 2024, masyarakat tidak mudah terpancing emosi dengan dinamika perpolitikan yang ada. Sebab ada kelompok yang sedang bersiap-siap akan memanfaatkan kisruh tersebut. Kelompok radikal dan teroris akan memanfaatkan peluang perpecahan masyarakat. Mereka akan berusah semakin memperuncing suasana, terutama dengan isu-isu politik identitas berbasis agama

Sebagai warga negara yang baik, semestinya mengedepankan akal sehat dalam memilih pemimpin. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan objektif, tidak semata-mata pertimbangan emosional. Calon maupun pemilih hendaklah mengedepankan etika luhur dalam berpolitik.

Pilpres dan Pilkada tahun 2024 jangan sampai menjadi gelaran disfungsi etika politik. Jangan mencampakkan etika kesantunan dan keadaban. Jangan sampai pesta demokrasi kita diperalat oleh kelompok radikal menjadi ladang untuk meradikalisasi masyarakat. Jangan pula menjadi kesempatan kelompok radikal untuk menyuburkan intoleransi.

Patut kita renungkan apa yang dikatakan oleh Ahmad Khoirul Umam, pengamat politik Universitas Paramadina. Menurutnya, penggunaan politik identitas masih akan terjadi pada pemilu 2024. Pemanfaatan politik identitas masih sangat terbuka lebar Jiak kelompok konservatif menemukan momentum untuk menabuh gongnya.

Indikator ke arah itu mulai tampak sejak tahun kemarin. Identitas agama tertentu mulai mewarnai. Tepatnya pada saat deklarasi salah satu calon presiden. Tanda adanya upaya meradikalisasi masyarakat sudah sangat kentara. Perilaku nafsu politik hewani telah menebarkan jaringnya. Rakyat Indonesia harus waspada. Seba hal itu akan menyuburkan benih-benih intoleransi, fanatisme, dan beresiko tinggi menciptakan suasana keruh serta rentan terjadinya aksi-aksi kekerasan yang tidak manusiawi.

This post was last modified on 6 Januari 2023 3:14 PM

Abdul Hakim

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago