Saat sedang sarapan pagi, tiba-tiba saya melihat ada notifikasi dari akun media sosial saya di ponsel, seorang sahabat FaceBook mengirimkan sebuah tautan yang menyatakan kelompok lain bukanlah Islam. Pada tautan tersebuat penulis menunjukkan “data-data” kekafiran kelompok lain, sesuatu yang disebutnya sebagai data tersebut disajikan dengan berbagai bentuk agar kekafiran kelompok lain terpampang nyata. Melihat tautan yang profokatif itu, beberapa akun FaceBook yang lain turut ramai memberikan komentar, salah satu yang paling menarik adalah, “Kafir dalam diri tak bisa dinilai, kafir yang sirri pada yang lain dicaci-maki”.
Saya yakin tautan dan komentar-komentar demikian tidak hanya ada pada laman sosial media saya, tetapi juga media sosial para pembaca. Hal ini mengingat betapa cepatnya media sosial mengirimkan informasi. Tautan dan komen-komen tersebut jika kita visualkan dalam bentuk nyata tentu adalah sebauh perkelahian yang hebat baik antar individu atau kelompok. Pertanyaannya adalah, apa yang sedang diperebutkan? Bagi saya, ini tentang kelompok takfiri yang sedang berusaha merebut identitas Islam.
Prilaku kelompok yang terlalu mudah melabeli orang lain sebagai kafir ini menunjukkan bahwa mereka memosisikan Islam hanya sebagai properti yang dapat dikuasai atau dicabut dari diri orang lain. Mereka lupa bahwa Islam adalah ketaqwaan yang ada dalam diri dan tercermin dalam tindakan “Akhlaqul karimah”.
Melihat situasi ini saya langsung membayangkan situasi Negara Islam yang sedang dirancang bangun oleh kelompok takfiri. Negara yang sedang mereka tegakkan itu, menurut mereka, akan berdasarkan Islam. Jika kita berpikir jernih dan logis, tentu kita akan melihat betapa ekspresi keber-Islaman akan sangat beragam. Jika kita meyakini bahwa Islam adalah aqidah yang ada dalam diri seseorang dan tercermin dalam akhlaq, tentu jumlah ekspresi ke-Islaman akan sebanyak jumlah manusia dewasa yang berakal.
Karenanya, klaim untuk mendasarkan konsep negara pada Islam memunculkan pertanyaan penting, Islam yang mana yang akan mereka jadikan landasan negara yang akan dibentuk itu? Tentu para takfiri akan menjawab “Islam adalah satu”. Jawaban itu tentu akan segera mendapat tantangan, jika Islam satu mengapa mereka mengkafirkan orang yang berbeda pandangan dengan mereka?
Kelompok-kelompok penganjur tegaknya khilafah atau negara Islam menafikan perbedaan, siapapun yang berbeda dengan mereka maka mereka anggap sebagai kelompok non-Islam. Jika cara berpikir takfiri ini diikuti, niscaya pengikut ajaran Islam akan semakin sedikit dari hari ke hari, khazanah Islam pun akan semakin miskin.
Kelompok ini seperti memiliki sebuah keranjang maya, di mana keranjang itu akan digunakan sebagai wadah bagi orang-orang yang telah mereka kafirkan. Jika sebelumnya hanya non-muslim saja yang disebut kafir, maka kini target pelabelan kafir itu juga masuk ke sesama penganut Islam sendiri, kelompok Shiah, Ahmadiah, dan kelompok liberal adalah contoh dari golongan yang mereka kafirkan. Jumlah kelompok yang masuk dalam keranjang maya semakin hari semakin banyak.
Melihat trend pengkafiran yang semakin liar ini, bukan tidak mungkin jika suatu hari NU dan Muhammadiyah akan pula dimasukkan dalam keranjang maya karena dianggap sebagai kafir. Gelagat ini kini sudah muncul, mereka memulai dengan mengkafirkan Gus Dur, tokoh yang diidolakan kaum nahdliyin, kemudian mengkafirkan para pengikut gus Dur dengan menuduhnya liberal, lalu membangun kelompok eksklusif dan mengganggap Nahdliyin yang ada saat ini sudah tercemar dan tidak lurus lagi.
Pola pikir takfiri ini seperti kangker yang dengan mudah menyebar dan membunuh akal sehat. Situasi ini menjadi gambaran bagaimana bentuk negara dan kebijakan yang akan dibuat dalam bingkai “Negara Islam” yang mereka rencanakan. Jika kelompok yang sebenarnya berjumlah kecil itu saja sudah punya kepercayaan diri (atau mungkin lebih tepatnya kesombongan) untuk mengkafirkan orang lain, bagaimana nanti jika mereka mengelola sebuah negara? Kita tentu tidak ingin hal ini terjadi.
Sebagai anak bangsa yang tidak ingin tanah air ini terkoyak, tentu kita tidak akan membiarkan virus takfiri menyebar. Kembali kepada prinsip Islam yakni; taqwa dan akhlaqul karimah atau budi yang mulia adalah kuncinya. Mereka yang bertaqwa dan berbudi mulia akan senantiasa menjaga nilai Islam yang menjadi rahmah bagi sekalian alam. Siapapun yang bertaqwa dan berbudi mulia akan membuat orang di sekitarnya menjadi lebih baik dan menebar kebahagiaan, dan tentu saja, mereka tidak pernah mengkafirkan.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…