Diera penetrasi media, informasi dan pecitraan diri di jagat maya dianggap semakin penting dan primer. Semua berlomba menjadi jurnalis dadakan yang membagikan Setiap info yang dimiliki meski tanpa memiliki latar dan pengetahuan yang memadai. Termasuk kegiatan sehari-hari, perasaan dan emosi semua sibuk diabadikan dalam buku harian bernama media sosial guna menjaga eksistensi di dunia virtual. Eksistensi yang tentunya jauh dari standar cogito ergo sum milik Descartes. Dimana eksistensi didapatkan dari proses olah pikir yang kritis. Sementara eksistensi pengguna internet dinilai dari seberapa banyak aktivitas share, like, quotes yang dilakukan tanpa pertimbangan kelayakan publik apalagi hasil daya pikir kritis.
Perubahan arah fungsi media yang awalnya sebagai jembatan ruang dan waktu menjadi dunia non-realitas yang “go publik” tanpa disadari kita sendirilah yang membuka kran kejahatan untuk masuk. Kita memberikan kunci, kode rahasia rumah pada semua orang termasuk pada mereka yang tidak kita kenal sekalipun. Akibatnya, jangan heran jika kepolosan yang mendekati kebodohan tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sebagai sasaran ujicoba virus diantaranya bernama SARA. Seperti kata Bang Napi “bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat namun juga karena ada kesempatan”.
Derasnya arus informasi yang tidak diimbangi dengan pengetahuan dan pengalaman yang cukup mengakibatkan kita dengan mudahnya terjebak dalam isu SARA. Apalagi warta tersebut dihembuskan sedemikian masif diatas persitegangan yang berlangsung sejak dahulu. Sentimen-sentimen lama yang dimainkan dan dikemas ulang menggunakan bahasa solidaritas agama, ras, suku maupun golongan serta disebarkan pada waktu yang tepat menjadi senjata ampuh untuk mampu memenangkan hati massa yang butuh akan eksistensi diri. Mengingat pengguna medsos masih gagap, sering khilaf, sering urun rembuk tanpa paham perkaranya meskipun Allah dengan tegas telah mengingatkan untuk tidak ikut-ikutan tanpa tahu duduk permasalahannya sebab pendengaran, penglihatan dan hati nurani akan dimintai pertanggungjawabannya kelak (Q.S. Al Isra’:36).
Keenggan mencari tahu, bertabayyun, mengkroscek ulang info menjadikan kita masuk dalam kategori pemakai teknologi pemula yang masih gagap, masih kaget dengan barang baru. Kita lebih menikmati aksi share dari pada memfilter. Masih suka menyebar spam dari pada berbagi ilmu dan teladan. Ibarat anak kecil yang masih suka memamerkan mainan baru kepada temannya tanpa peduli dan memikirkan perasaan temannya. Alhasil kegagapan kita menjadi celah emas bagi siapapun yang berniat maupun yang melihat kesempatan untuk sukses merekrut dukungan, mencari simpatisan tanpa mengindahkan cara yang ma’ruf. Akhirnya kita tidak lagi bebas menjadi subjek yang berhak menentukan sikap namun kita telah menjadi objek yang disetir oleh para informan penyebar SARA .
Bercermin dari pemilu Amerika Serikat maupun Prancis yang sarat diwarnai hoax, kita sebagai bangsa yang baru kemarin diserbu wabah teknologi dan memasuki tahun politik tentunya lebih rentan akan hoax dan perkara SARA. Mengingat pondasi asal kemajemukan negeri ini juga berpotensi menguap dan meledak dengan sedikit saja katalisator. Hal ini diperparah dengan efek pragmatis yang telah menyerang semua aspek termasuk daya juang dan pikir yang dikerdilkan dalam bahasa kepraktisan.
Pola pikir instan inilah yang dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepenting untuk menghalalkan segala cara. Kuatnya rayuan syaitan, tumpulnya daya kritis dan pola pikir instan seolah menjadi formula tepat untuk menjebak kita dalam pertikaian yang akhirnya menentukan pilihan secara membabi buta tanpa harus mengeluarkan energi lebih. Cukup bermodal gawai, dan koneksi internet yang dengan sistem wifi dapat dengan mudah ditemukan secara gratis.
Penerapan UU ITE (informasi, teknologi dan transaksi elektronik) dan pembatasan sim card merupakan proteksi awal bagi netizen. Namun, Mengandalkan itu saja tidaklah cukup. Apalagi pengguna internet bisa dengan bebas berganti identitas dan memiliki banyak kepribadian layaknya sedang berada di panggung sandiwara. Karenanya edukasi terhadap pengguna agar lebih tanggap teknologi dan cerdas memilah informasi penting dilaksanakan. Masyarakat yang melek literasi teknologi dan informasi diharapkan lebih mampu bersikap kritis dalam menerima informasi dan lebih selektif dalam menyebarkan info tersebut.
Pengguna teknologi informasi yang telah tanggap diharapkan mampu menyadari akan posisi dan kedudukan internet sebagai media sosial. Segala bentuk postingan mesti dipikirkan secara bijak dan hati-hati jangan sampai dimanfaatkan untuk pelampiasan emosi, share isu SARA, ujaran yang tidak pantas dan hanya berisi info spam yang tidak mendidik bagi generasi selanjutnya. Karena sejatinya teknologi informasi dikembangkan untuk memfasilitasi manusia dalam menjalani kehidupan yang bermobilitas tinggi.
Selain itu penguatan kembali etika dan moral juga perlu digaungkan lagi. Sebab didunia yang bebas semisal dunia maya hanya morallah yang mampu mengerem segala tindakan agar pantas dijadikan konsumsi publik. Tanpa moral, hukum dan pengetahuan tidaklah cukup. Kita perlu akhlak-akhlak mulia untuk menciptakan dunia yang mulia. Akhlak yang tidak sekedar malu namun juga enggan bertindak diluar perkara yang patut. Sehingga kita mampu menghadapi tahun politik ini dengan damai tanpa gejolak berarti dan minim perang SARA, aplagi hoaks tanpa makna, semoga.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…