Narasi

Tantangan Radikalisme Agama di Era Infodemi

Setelah usai menghadapi badai pandemi covid-19, kita saat ini sedang kita memasuki era pandemi baru, yakni infodemi (banjir informasi palsu). Jika pandemi merupakan penyakit “tak kasat mata”, infodemi justru menjadi penyakit “tak kasat nalar” yang massif bertebaran di media sosial. Bahkan infodemi ini bukan hanya seputar informasi palsu tentang provokasi dan konspirasi seputar pandemi, tetapi juga berkaitan dengan masifnya wacana islamisme radikal oleh golongan kanan.

Infodemi ini tentu bisa menjadi bencana yang dapat memunculkan penyakit sosial dan kultural yang berpotensi besar menjadi ancaman dan tantangan bagi masyarakat. Pandangan ekslusif dan radikal dalam rangka memprovokasi dan meradikalisasi masyarakat yang dibalut dengan informasi palsu bisa melahirkan bibit baru dan regenerasi untuk semakin simpati kepada kelompok radikal.

Di tengah kondisi yang kian tak menentu, melalui platform media berbagai oknum radikal memanfaatkan momentum dengan bersembunyi di balik jubah agama untuk menyebarkan pahamnya yang cenderung konservatif bahkan puritan. Sehingga paham konservatisme dan radikalisme agama secara tidak langsung sudah mulai menyebar luas melalui platform media sosial.

Menurut Sukawarsini Djelantik (2019) dalam artikelnya yang berjudul “Islamic State and the Social Media in Indonesia”. Bahwa jaringan Islam radikal mampu menggunakan medsos seperti Facebook, Twitter, dan YouTube secara efektif. Bahkan ketika media sosial mereka telah diblokir oleh pemerintah, kelompok ini masih mampu menggunakan media daring dalam bentuk portal-portal tak bertuan (anonymous sharing portals) untuk mewujudkan agenda mereka yakni menebar virus radikalisme dan takfirisme.

Narasi yang mereka wacanakan di media sosial selain sifatnya tekstual, juga dijejali dengan sumpah serapah terhadap masyarakat (netizen) yang menolak mereka. Mereka menghujamkan kata-kata “goblok”, “laknat”, “bodoh” bahkan kata-kata binatang tak luput menyertai narasi mereka ketika banyak muncul counter narratives dari para netizen yang lain.

Mereka rajin menyangkal dan bahkan mengkritisi kebijakan pemerintah, dengan tanpa kritis menawarkan terobosan solutif untuk mengurai berbagai persoalan yang terjadi. Menurut Malik (2020) resistensi dan denial syndrome (penyangkalan) terhadap kebijakan apapun dari Pemerintah dan Ulama adalah bagian dari cara kelompok ini meradikalisasi masyarakat. Karena itulah, masyarakat membutuhkan vaksin yang bisa menjaga imunitas sosial dan kultural agar tidak mudah terprovokasi. Salah satu vaksinnya adalah penguatan diri untuk “disiplin” dan “menahan diri” dari godaan agar tidak mudah menyebarkan informasi yang provokatif. Budaya check dan recheck harus berkelindan dengan situasi kondisi yang semakin tak menentu ini.

Selain itu, pandangan moderasi (washatiyah) merupakan vaksin keberagamaan yang dapat membentengi masyarakat dari virus radikalisme. Mengingat radikalisme menjadi tantangan bersama bangsa Indonesia, karena wacana/orang radikal ini akan terus beriringan dan menemani perjalanan kehidupan bangsa Indonesia kedepannya. Untuk itu, wacana dan argumentasi kritis menjadi penting diarusutamakan di tengah beragam potensi radikalisme.

Di sisi lain, perlu adanya penguatan “literasi digital berbasis kebangsaan” untuk semakin menguatkan benteng barisan dalam menggempur wacana radikal di media sosial. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kekuatan wacana dan argumentasi kritis menjadi bekal para penikmat media sosial untuk melawan narasi mereka. Karena idealnya argumentasi pemikiran harus dilawan dengan pemikiran, ideologi dilawan dengan ideologi. Karena jika demikian, hal ini akan menguatkan basis epistemologis kebangsaan kita.

Jika dibiarkan, narasi radikal tersebut lama-lama akan menjadi penyakit sosial yang akan sukar dihapuskan. Seringkali kita sering terkecoh dengan narasi yang begitu naratif seputar agama, kesiapan kita untuk menelurkan pemahaman kritis argumentatif seputar narasi kebangsaan harus menjadi langkah konstruktif kedepannya.

Hikmah dari realitas infodemi harus benar-benar bisa menjadikan kita sebagai bagian dari bangsa yang kritis dan mampu memberikan kontribusi terhadap produksi ilmu pengetahuan. Kita perlu menguatkan konstruksi nalar kritis masyarakat sebagai vaksin infodemi yang pada gilirannya bisa menjadi kekuatan nalar untuk menghadapi gempuran berbagai infodemi di media sosial.

Akhirnya, dengan berbagai gempuran narasi radikal berbungkus agama di media sosial harus menjadi tanggung jawab kita bersama untuk melawannya. Aksi gotong royong dalam mereduksi narasi radikal dengan narasi moderasi juga menjadi langkah konstruktif yang perlu dimasifkan di media virtual kita, setidaknya langkah ini dapat membendung segala potensi narasi radikalisme agama yang potensial muncul di ruang publik.

Ferdiansah

Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago