Narasi

Tasawuf Kurban; Menundukkan Ghuluw dalam Beragama

Dalam sebuah siniar, intelektual muslim dan kiai Ulil Abshar Abdalla ditanya. Mengapa ia sekarang aktif mengaji kitab-kitab Al Ghazali, terutama Ihya Ulumuddin yang berisi ajaran tasawuf, dan tidak lagi aktif melawan radikalisme agama melalui Jaringan Islam Liberal. Mas Ulil pun menjawab bahwa spirit melawan radikalisme agama itu masih ia rawat dan jalankan sampai sekarang.

Namun, ia memilih jalur lain. Jalur yang tidak secara terbuka menunjukkan kontroversi dan konfrontasi. Ia memilih jalur tasawuf dengan membedah kitab Ihya’ Al Ghazali yang disiarkan live melalui kanal Facebooknya. Menurutnya, salah satu faktor di balik fenomena fundamentalisme dan radikalisme agama ialah karena sebagian umat Islam jauh dari ilmu dan pengamalan tasawuf. 

Mas Ulil menyatakan bahwa tasawuf itu mengajarkan perilaku beragama yang toleran, santun, dan moderat. Salah satu ajaran utama dalam tasawuf adalah menundukkan hasrat. Termasuk hasrat untuk merasa paling suci dan paling benar yang selama ini menjadi ciri kaum radikal fundamentalis. 

Pernyataan Mas Ulil itu valid. Fenomena radikalisme itu tumbuh subur di tengah maraknya keberagamaan yang simbolik. Yakni keberagamaan yang lebih menonjolkan bungkus ketimbang isi, fokus pada ekspresi, namun abai pada esensi. Umat menikmati euforia dalam beribadah, namun lupa mengaplikasikan nilai ibadah itu ke dalam kehidupan sosial. Alhasil, ketakwaan individual itu kerap memicu munculnya sikap intoleran dan perilaku radikal.

Maka, menghadirkan perspektif tasawuf dalam kehidupan beragama adalah kebutuhan yang urgen. Termasuk dalam memaknai ibadah kurban yang belakangan ini menunjukkan tren peningkatan. Jika kita lihat, jumlah hewan kurban yang disembelih dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Itu artinya, antusias umat Islam dalam menjalankan ibadah ini terbilang tinggi dan terus meningkat. Namun, di saat yang sama, kita juga melihat adanya peningkatan sikap intoleran dan arogan dalam beragama. Kondisi ini tentu ironis, lantaran kurban hakikatnya adalah ibadah sosial yang mengajarkan manusia peduli pada sesamanya. 

Maka, penting memahami ibadah kurban dari perspektif ilmu tasawuf. Dari sisi tasawuf, kurban bukan sekadar penyembelihan hewan. Praktik menyembelih hewan itu hanyalah simbolisasi dari tujuan yang lebih besar. Ulama tasawuf Imam 

Ibnu Ajibah dalam kitabnya, Al Bahru Al Madid menjelaskan bahwa kurban adalah manifestasi mujahadah dan riyadoh untuk mematikan hawa nafsu negatif dalam diri manusia. Dalam tasawuf, riyadoh atau mujahadah dilakukan dengan berbagai macam ritual.

Mulai dari khalwat (menyendiri), dzikir, puasa, termasuk berkurban. Khalwat dan dzikir menjadi latihan spiritual untuk senantiasa mengingat Allah dan melupakan selain-Nya. Puasa menjadi latihan spiritual untuk mensucikan jiwa. Sedangkan berkurban menjadi sarana latihan menajamkan sikap empati dan simpati pada sesama. 

Sedangkan menurut Ibnu Athaillah, ibadah kurban adalah gambaran bahwa segala sesuatu yang fana pasti akan musnah. Manusia yang mencapai tahap makrifat pun akan musnah suatu saat. Lantaran semua yang fana itu akan kembali kepada Allah SWT.

Dari uraian para ulama sufi itu kita dapat menyimpulkan bahwa hakikat ibadah kurban adalah menundukkan segala nafsu keduniawian. Nafsu duniawi itu tidak hanya mewujud pada hasrat akan kebutuhan biologis, penguasaan atas harta, benda, atau jabatan.

Dalam makna yang lebih luas, perilaku beragama yang berlebihan, mengklaim diri paling suci dan benar, itu juga dapat dikategorikan sebagai nafsu duniawi. Beragama yang berlebihan atau ghuluw menandai seseorang belum mampu menundukkan hasrat egoismenya. 

Dalam konteks kekinian, fenomena ghuluw dalam beragama mengemuka dalam sejumlah fenomena. Antara lain, fanatisme pada golongan atau aliran keagamaan dengan mengklaim golongan atau alirannya sebagai yang paling benar dan menuding kelompok lain sesat, bidah, atau kafir. 

Kedua, kultus individu terhadap sosok pemula agama tertentu sehingga melahirkan perilaku yang irasional. Kultus individu cenderung menganggap manusia biasa memiliki derajat yang sama tingginya dengan nabi, bahkan Tuhan. Kultus individu juga mematikan nalar kritis dalam menyikapi orang lain. 

Ketiga, ghuluw juga mewujud pada merebaknya budaya intoleran bahkan kekerasan terhadap kelompok agama dan aliran keagamaan yang berbeda. Semua itu menandakan bahwa sebagian umat belum berhasil menundukkan hawa nafsu. Ibadah yang dilakukan baru sebatas pemenuhan ritual, penggugur kewajiban, dan belum sampai pada tahap implementasi dalam kehidupan sosial. 

Maka, ibadah kurban idealnya tidak hanya sekadar menyembelih hewan. Namun, juga mengamputasi sikap ghuluw dalam beragama. Kurban mengajarkan kita untuk tidak berlebihan dalam beragama.

Lantaran semua penafsiran kita atas teks keagamaan, pengkultusan terhadap seorang tokoh, atau fanatisme kita pada aliran atau golongan, adalah hal yang fana dan suatu saat akan musnah. Menjadi ironis jika kita sampa rela berbuat kekerasan pada sesama manusia hanya demi memperjuangkan hal yang fana dan suatu saat akan musnah. 

 

This post was last modified on 12 Juni 2025 12:09 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Kurban, Kontra-Fanatisme, dan Etika Kekhalifahan dalam Worldview Agama-agama Abrahamik

Gaza masih jadi altar modern tempat anak-anak dikorbankan atas nama ilusi keamanan dan janji tanah…

1 hari ago

Tuhan Tak Rela Manusia Terluka dan Mengapa Anda Melukai Manusia Mengatasnamakan Tuhan?

Cobalah kita renungkan bersama, esensi di balik ibadah Qurban di momentum Idul Adha itu. Bahwasanya,…

1 hari ago

Membantah Zakir Naik; Indonesia Bukan Negara Sekuler

Penceramah yang dikenal suka merendahkan agama lain, Zakir Naik tampil dalam podcast Richard Lee. Lee…

2 hari ago

Berkurban ala Nusantara; Titik Temu Syariat dan Adat

Masyarakat Nusantara dikenal kreatif dan imajinatif. Termasuk dalam menerjemahkan ajaran agama, tidak terkecuali Islam. Maka,…

2 hari ago

Qurban sebagai Sarana Penyatuan Identitas Nasional

Setiap tahunnya, Hari Raya Idul Adha menjadi momen penting yang membawa pesan universal, tidak hanya…

2 hari ago

Refleksi Hari Raya Qurban: Menyembelih Fanatisme dan Ananiah dalam Diri

Hari raya Idul Adha atau Hari Raya Qurban merupakan salah satu bentuk dari simbol pengorbanan,…

3 hari ago