Setelah larangan terhadap ucapan Natal, lagi-lagi masyarakat berdebat tentang salam. Sekarang yang diperdebatkan adalah salam lintas agama. Menurut laporan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama, Muchlis M Hanafi dalam website Kemenag, seruan dari ormas keagamaan tertentu agar tidak melakukan salam lintas agama didasari alasan bahwa hal tersebut akan merusak kemurnian agama. Padahal, menurut Muchlis, sikap luwes itu justru diperlukan agar kehidupan beragama kita dapat sungguh-sungguh menebar kebaikan.
Secara khusus, artikel ini akan berfokus pada pola pikiran seperti apa yang mendasari penolakan tersebut, lalu dampak apa saja yang dapat ditimbulkan melalui pola pikir itu, dan juga kesadaran seperti apa yang diperlukan untuk mengantisipasi pola pikir itu, yang merusak nilai keragaman bangsa Indonesia. Dengan pembahasan ini, sebuah agenda dominasi terselubung yang didasari pada pola pikir yang sama dengan penjajah terdahulu, yaitu devide et impera.
Secara khusus, istilah “murni” seringkali menjadi alat dominasi yang dwifungsi. Istilah “murni” ini merupakan taktik pelabelan yang membingkai lawan politiknya sebagai yang najis, yang kotor, dan tidak murni. Dalam sejarah kekristenan, misalnya, istilah “infidel” (nir-iman; tanpa iman) digunakan oleh para petinggi agama di abad-abad pertengahan untuk mencap orang-orang yang menentang kekuasaan absolut mereka di berbagai daerah Eropa. Pelabelan ini kemudian membuat orang-orang terpaksa tunduk di bawah kekuasaan feudalisme yang dikuasai gereja dan membuat umat malah terdiskriminasi oleh gerejanya sendiri. Bahkan, karena banyak dari antara orang Kristen itu sendiri yang menjadi korban, mereka melakukan pembaruan dalam cara beragama mereka, dengan menjauhi pelabelan yang demikian.
Taktik ini memang memiliki dua tujuan. Tujuan yang pertama adalah untuk menjatuhkan reputasi lawan politiknya. Tentu ketika seseorang dilabel secara negatif sebagai “infidel” atau “yang tidak murni” itu, seseorang akan diragukan validitasnya di tengah masyarakat. Tidak lepas dari itu, tujuan yang kedua adalah untuk meraup kekuasaan dengan memanfaatkan benih-benih eksklusivisme dan ekstremisme beragama. Pelabelan lawan sebagai “infidel” atau “yang tidak murni” itu secara tidak langsung sedang melabeli dirinya sendiri sebagai yang murni, sehingga pola pikir “murni” versus “tidak murni” itu disebarkan melalui klaim itu.
Padahal, cara pandang yang mendasari klaim kemurnian inilah yang menjadi akar intoleransi, eksklusivisme, dan bahkan ekstremisme. Suara-suara lantang kelompok ekstremis yang menyerukan seruan keagamaan mereka tidak didasari pada kerinduan akan kedamaian, melainkan pada haus darah dan permusuhan. Eksklusivisme meminggirkan orang-orang yang tidak sependapat dengan kelompok yang mengaku murni itu. Intoleransi tumbuh subur di atas tuduhan-tuduhan terhadap kelompok lain sebagai yang kotor dan najis. Pola pikir ini disebut dualisme.
Dualisme sebenarnya merupakan logika yang digunakan oleh penjajah sebagai logika dominasi. Kulit putih melawan kulit hitam. Kaum beriman melawan kaum tidak beriman. Kaum agama murni melawan kaum agama tidak murni. Pola logika seperti ini sedang memperlawankan hal-hal yang tidak perlu saling berlawanan, demi kepentingan kekuasaan. Melalui pemecahan inilah para penjajah secara sembunyi-sembunyi merebut kekuasaan: devide et impera!
Konflik tercipta karena masyarakat saling memisahkan diri dalam paradigma permusuhan. Lalu para pencuri kekuasaan menusuk dari belakang kedua belah pihak yang sudah dibuatnya saling berseteru itu. Dengan demikian, kita perlu waspada akan taktik pembelahan ini. Jalan tengah yang mempromosikan koeksistensi (kehidupan bersama) adalah jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai pemenuhan Pancasila di tanah air.
Pancasila yang mendasari kehidupan berbangsa kita berdiri tidak hanya dengan satu kaki saja. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa itu tidak lengkap tanpa empat sila lainnya. Kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial juga adalah pondasi yang turut menopang kehidupan bangsa. Intisari dari Pancasila itu, menurut Sukarno, merupakan Gotong Royong, yang adalah esensi kebangsaan Indonesia yang subur di atas keragaman.
Dengan kesadaran ini, maka kita dapat melihat bahwa penolakan terhadap salam lintas agama itu sebenarnya sedang berseberangan dengan esensi kebangsaan dan kebertuhanan kita di Indonesia, yaitu Gotong Royong. Penolakan itu sebenarnya merupakan taktik yang berusaha mencari kekuasaan dengan melanggengkan cara hidup intoleran dan memanfaatkan konflik dari ekstremisme beragama. Penolakan terhadap toleransi berusaha mewujudkan Pancasila hanya dengan satu aspeknya saja, sambil melupakan empat aspek lainnya, sehingga Pancasila yang ada dalam pandangan tersebut adalah Pancasila yang cacat. Intoleransi dan ekstremisme beragama jelas bertolakbelakang dengan roh kebangsaan kita.
Dengan begitu, kita perlu melihat “kemurnian” secara baru, yang dibersihkan dari dosa-dosa kehausan akan kuasa yang memanfaatkan intoleransi, eksklusivisme, dan ekstremisme. Kemurnian yang secara lengkap mempertimbangkan keutuhan Pancasila akan mengedepankan Gotong Royong sebagai pusat kehidupan berbangsa dan beragama. Kemurnian yang tidak terpaut pada pencarian kekuasaan melalui polarisasi dan konflik akan mengedepankan sebuah ide tentang ketuhanan yang tidak lepas dari nasionalisme dan demokrasi. Salam damai bagi semua.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…