Narasi

Tilikan Sejarah Musyawarah: Budaya Mulia Kita

Sebagai masyarakat majemuk, salah satu kekuatan bangsa Indonesia adalah musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan jalan musyawarah, dapat diraih kesepakatan meski awalnya bermula dari perbedaan pendapat yang beragam. Artinya, musyawarah dapat menitiktemukan aneka pandangan, aneka gagasan, dan aneka aspirasi yang dikehendaki oleh warga masyarakat.

Bung Karno pernah mengingatkan kita agar tidak sekalipun melupakan sejarah. “Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah,” demikian ujar Putra Sang Fajar itu. Oleh karena itu, mari kita telaah bersama bagaimana sejarah musyawarah dapat menjadi strategi penting dalam budaya bernegara kita yang mulia.

Musawaratan Para Wali

Dalam teks-teks Nusantara, dapat kita temukan bagaimana para wali dan ulama lain sebagai dewan penasehat Kesultanan Demak menjalankan roda pemerintahan. Ahmad Baso (2012) mengutip Serat Jaka Rusul mengilustrasikan “Para Wali kemudian duduk dengan teratur, adalah Syekh Maulana Maghribi yang memimpin musawaratan. Syekh Majagung dan Syekh Domba terus mencatat dengan cermat segenap isi perdebatan hingga tamat”.

Atau dari Babad Jaka Tingkir yang disunting oleh Nancy Florida (1995), “Semua Wali berkumpul di istana Demak, termasuk ulama, mufti, dan hukama. Mereka datang ke sana untuk mendiskusikan berbagai keyakinan mereka”.

Dari kutipan di atas tentunya dapat kita ketahui, bahwa bangsa ini memiliki jejak sejarah bermusyawarah yang panjang. Di era pemerintahan Demak, digambarkan sedemikian rupa bahwa para ulama secara rutin menyelenggarakan musyawarah atas segala hal permasalahan yang dihadapi. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika ada problematika, baik yang terkait dengan keyakinan agama maupun pergaulan dengan sesama, musyawarah adalah jalan yang dipilih oleh leluhur kita. Mengapa musyawarah dilaksanakan secara konsisten oleh para pendahulu, tentunya karena musyawarah memiliki nilai istimewa yang penting juga untuk kita ketahui.

Bermusyawarahlah dalam Tiap Urusanmu

Kisah musyawarah di Nusantara ini tak lepas dari perintah Allah yang dibawa oleh Rasul-Nya, sebagaimana terkandung dalam QS Ali Imran 159 dan QS as-Syura 38.

Dalam ayat pertama, berkisah tentang Nabi Muhammad diperintahkan untuk syawirhum fi-l amri (bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebuah urusan). Dalam konteks ayat ini, sesuai dengan sebab turunnya ayat, Nabi Muhammad diperintah agar bermusyawarah dengan para Sahabat dalam memutuskan vonis yang hendak diberikan terhadap tawanan perang.

Dalam ayat kedua, secara tegas dinyatakan bahwa wa amruhum syura bainahum (sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka). Ayat ini memberikan pesan tegas kepada kita bahwa musyawarah adalah sesuatu yang niscaya dilakukan untuk memutuskan segala hal.

Berpijak pada ayat-ayat tersebut, umat Islam dan demikian juga pendahulu bangsa kita, mulai dari masa Walisanga hingga masa Bung Karno bahkan hingga kini, musyawarah adalah sesuatu yang niscaya. Kita tak akan dapat menikmati kerukunan dalam kehidupan kita berbangsa sehari-hari tanpa diawali dengan musyawarah.

Musyawarah untuk Indonesia Damai

Dalam konteks Indonesia, yang dapat kita batasi semenjak abad ke-20, wujud musyawarah yang paling monumental adalah musyawarah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam musyawarah yang dipesertai oleh representasi dari berbagai kelompok masyarakat. Ragam kelompok yang diwakili dalam BPUPKI itu berbasis latarbelakang agama, suku, profesi, dan sebagainya.

Di hadapan majlis yang bhinneka tersebut, Bung Karno menekankan dalam pidatonya bahwa negara yang hendak dibangun adalah negara “semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu”, bukan negara untuk satu orang atau satu golongan saja. Dengan demikian, terlepas dari aneka ragam latar belakang primordial, seluruh rakyat Indonesia memiliki identitas yang sama belaka: rakyat Indonesia.

Perbedaan yang ada di tengah anggota BPUPKI, apalagi di tengah bangsa dari negara yang hendak dideklarasikan kemerdekaannya itu, ternyata tidak menjadi pemicu perpecahan. Terbukti, melalui musyawarah tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat lahir dan kita nikmati hingga kini.

Andai para founding fathers tidak menggunakan metode musyawarah dalam memutuskan rencana hidup bangsa ini, apakah NKRI dapat terwujud? Belum tentu. Oleh karena itu, perlu kita tegaskan dalam diri kita semua, generasi muda yang akan mewarisi tongkat estafet perjuangan bangsa, bahwa musyawarah adalah budaya kita yang mulia.

Dan pada akhirnya, ketika ada masalah apapun yang kita hadapi dalam kehidupan bersama, kita punya jawabannya, “mari bermusyawarah!”.

Dawam M Rohmatulloh

Alumnus PPM Islam Nusantara UNU Indonesia Jakarta. Kini menjadi teman belajar mahasiswa INSURI dan IAIN Ponorogo sembari tetap aktif sebagai Ketua PAC GP Ansor Mlarak Ponorogo.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago