Pada hari Selasa 7 November 2023 tepat pada hari ke-32 konflik Israil-Hamas yang telah menewaskan sekitar 10.328 korban jiwa di jalur Gaza. Perdana Menteri Israil Benjamin Netanyahu membuat pernyataan di kanal You Tube IsraeliPM dengan memberi (titik-terang) proses perdamaian, gencatan senjata dan menghentikan kekerasan di Palestina.
Perdana Menteri Israil, Benjamin Netanyahu mengatakan “Tidak akan ada gencatan senjata tanpa kembalinya para tahanan kami”. Titik-terang perdamaian terletak pada pernyataan PM Israil di antaranya yaitu; “Oleh karena itu, Saya menuntut Bulan Sabit Merah memenuhi tugasnya dan segera membebaskan semua tahanan untuk (menjamin perdamaian) dan kesejahteraan mereka”.
Ruang diplomasi ini menjadi penting dalam proses terbentuknya perdamaian dan menghentikan kekerasan. Guna membangun kesepakatan terkait proses dalam (membebaskan sekitar 240 para sandera yang diculik Hamas. Ini merupakan langkah penting sebagai (titik-terang) dalam membangun dialog kesepakatan untuk damai dan menghentikan kekerasan itu.
Diplomasi Damai dan Penguatan Dialog Keagamaan Mencapai Perdamaian yang Berkelanjutan
Serangan besar-besaran yang dilakukan Israil dan dibenarkan oleh PM Israil dengan melegitimasi ayat suci Bible bahwasanya “There is a Time for peace and a time for war”. Bahwa, serangan ke Palestina saat ini dianggap waktunya peperangan.
Maka, di tengah (titik-terang) yang disampaikan oleh PM Israil, menuju perdamaian dan menghentikan peperangan. Yaitu dengan melepaskan/membebaskan para sandera dan menjamin keselamatan mereka. Maka, ini sebetulnya perlu adanya ruang dialog dalam melahirkan spirit “There is time for Peace” bahwa ini adalah kesempatan untuk membangun perdamaian.
Maka, di sinilah pentingnya membangun ruang dialog keagamaan yang konstruktif itu. Ruang dialog akan melahirkan (persamaan pemahaman dan kesadaran) melalui nilai-nilai prinsipil dalam dua ajaran teologis, yaitu pentingnya menghentikan kekerasan itu. Dengan menjadikan dua perspektif teologi Islam dan Yahudi sebagai kesadaran spiritualitas-kebatinan dalam merealisasikan kesepakatan berbasis keagamaan menghentikan kecamuk kekerasan.
Misalnya dalam perspektif teologi Yahudi dalam perjanjian Lama/Talmud. Disebutkan dalam Kitab kejadian 1:26 “Let us make humanity in our image after our likeness”. Ini merupakan prinsip teologi Yahudi bahwa kekerasan merupakan tindakan yang keliru, di luar prinsip penciptaan manusia. Prinsip kemanusiaan itu mengacu ke dalam etika spiritual bahwa manusia harus saling terhubung, karena manusia adalah (gambaran) secara representatif dari Tuhan dengan segala kebaikan, rahmat dan cinta kasih itu sendiri.
Di dalam perspektif Islam, sebagaimana dalam (QS. Al-Ma’idah:32) bahwasanya “Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia”.
Dari dua perspektif teologis Islam dan Yahudi ini kiranya dapat kita jadikan basis dalam membangun dialog. Bagaimana, kekerasan itu tidak akan muncul jika bukan karena (perilaku kekerasan) itu sendiri. Serta, dalam prinsip Yahudi, kekerasan bukan cerminan dari Manusia sebagai representasi ketuhanan yang penuh rahmat dan cinta-kasih.
Maka, di sinilah sebetulnya titik-temu yang konstruktif. Bahwa, kekerasan dihentikan dengan bentuk (kesepakatan bersama) untuk tidak menjadi aktor pertama dalam perilaku kekerasan itu. Jika kita mengacu ke dalam dua perspektif, antara kesejatian manusia yang anti-kekerasan dan kekerasan yang memiliki alasan (diperangi/berbuat kehancuran).
Kita sebetulnya bisa membangun rang dialog yang bisa melahirkan satu kesadaran yang disepakati dua belah pihak. Yaitu, menghentikan, membunuh hasrat berbuat kerusakan dan bisa menyelesaikan di balik problem ketimpangan dan ketidakadilan yang dihadapi. Guna mencapai titik kesepakatan dan berakhir perdamaian yang berkelanjutan.
Seperti dalam perspektif teologi Yahudi, ada sepuluh perintah Tuhan yang secara orientasi anti-kekerasan dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Seperti dalam Exodus (20:12-17) dalam potongan teks You Shall not murder (12) larangan membunuh sebagai norma teologis Yahudi menjaga kemanusiaan dan anti-kekerasan.
Dalam prinsipnya, Islam dalam memiliki basis teologis agar bisa saling bergandeng-tangan dalam urusan (memutus kekerasan) dengan prinsip-prinsip yang telah mengacu ke dalam prinsip teologis di atas. Seperti dalam (Qs. Ali-Imran:64) “Katakanlah wahai Muhammad, wahai ahli Kitab, marilah kita menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antar kami dan kamu”.
Maka, di sinilah pentingnya meniscayakan titik terang perdamaian sebagaimana yang telah dijelaskan di argument di awal. Juga pentingnya membuka ruang dialog keagamaan dalam memutus rantai kekerasan dengan dua perspektif teologi keagamaan. Yaitu saatnya untuk membangun perdamaian seperti yang dijelaskan dalam Bible “There is time for Peace”.
This post was last modified on 13 November 2023 12:54 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…