Narasi

Tubuhku adalah Batasku: Menyingkap Praktik Diskriminasi di Ruang Publik Indonesia

Suatu kali saya berseloroh pada seorang perempuan yang telah lama menjadi teman saya, “Ajak balapan lari saja,” timpal saya ketika ia dibilang kecil oleh teman-teman perempuannya yang besar. Saya perlu memberi tanda kutip pada kata “kecil” dan “besar” itu. Sebab, buat para perempuan itu, konon, kata “kecil” itu sangatlah sensitif.

Ungkapan kata “kecil” dan “besar” yang menyangkut pada keadaan fisik secara sekilas memang tampak rasis. Bukankah orang-orang India dan Arab kebanyakan tampak “besar”? Lantas, apakah pertanyaan saya itu juga rasis, karena membedakan orang dari keadaan fisiknya menyangkut perkara-perkara yang membawa-bawa tubuh untuk membeda-bedakan orang pula?

Pada dasarnya, dalam lawakan-lawakan tradisional atau yang masih kental dengan gaya tradisional dengan kemasan yang lebih kekinian, semacam Dagelan Mataraman, Srimulat, Lenong Betawi, dst., apa yang kini dikenal sebagai body shaming sudah menjadi kelumrahan. Memang, untuk mengundang gelak-tawa para penikmatnya, tak jarang para pelawak mengeksploitasi kekurangan fisik atau tubuh lawan mainnya. Atas dasar logika meraup keuntungan dengan merugikan pihak lain inilah body shaming tersebut menjadi hal yang tak lagi lumrah di hari ini dan bahkan dapat menyeret yang bersangkutan ke meja hukum.

Satu hal yang pasti, membawa-bawa keadaan fisik dalam perkara yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan keadaan fisik memang merupakan sebentuk diskriminasi. Stephen Hawking menjadi orang yang penting bukanlah karena keadaan fisiknya, tapi karena sumbangsihnya pada ilmu pengetahuan. Itulah kenapa pembedaan orang berdasarkan keadaan fisiknya sudah banyak dihilangkan atau sudah tak lagi menarik untuk disimak, apalagi diikuti. Ketika diterapkan pada konteks politik praktis, body shaming semacam itu akan dapat memantik terjadinya konflik yang berlatar-belakang keadaan fisik seperti konflik etnis ataupun ras yang otomatis dapat mengoyak keberagaman Indonesia.

Lalu bagaimana praktik politik usang semacam itu masih saja dipakai dan murah dijumpai di ruang-ruang publik khalayak Indonesia? Saya tak akan mengaitkan hal itu dengan populisme, meskipun dalam derajat tertentu memang ada kaitannya dengan fenomena global yang beberapa tahun belakangan ini mendominasi ruang publik Indonesia dengan segala variannya.

Di samping erat kaitannya dengan populisme, sikap-sikap diskriminatif yang menyangkut masalah tubuh tertaut pula dengan warisan kolonialisme dimana pengetahuan adalah nama lain dari kekuasaan. Sebelum Belanda resmi meneguhkan kapitalisme dan kolonialisme , mereka telah terlebih dahulu menancapkan cengkeraman pengetahuan dengan menjadikan Indonesia, atau Nusantara dahulu, sebagai mooi indie (Intertonikalitas: Perihal Awal Sekaligus Akhir Musik, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Pada fase pertama kolonialisme-imperialisme yang berkaitan dengan motif pengetahuan ini sejatinya politik diskriminatif yang berkaitan dengan tubuh sudah diterapkan dan dilembagakan lewat wacana-wacana ilmu pengetahuan, khususnya etnografi. Di balik klaim-klaim ilmiah, para sarjana Belanda sesungguhnya telah menetapkan identitas orang-orang Nusantara secara sepihak. Taruhlah stigmatisasi orang Jawa sebagai “pemalas” atau orang Tionghoa sebagai “pelit.” Ini semua ternyata berangkat dari klaim ilmiah dan bukanlah sebentuk ekpresi ketaksukaan belaka. Dengan kata lain, ketika orang-orang Nusantara sudah dibekukan identitasnya, kemudian Belanda memiliki alasan untuk membuat “rajin” orang Jawa dan membuat “dermawan” orang Tionghoa dengan ukuran “kerajinan” serta “kedermawanan” ala mereka.

Dengan demikian, sejak lama sebenarnya kita telah mewarisi politik tubuh gaya Belanda yang masuk pertama kali lewat para etnografisnya (epistemologi) sebelum para pemodal (ekonomi) dan para militernya (politik). Atas dasar hal ini, saya kira, berbagai bentuk diskriminasi akan sendirinya menghilang ketika aspek epistemologisnya (wacana-wacana ilmu pengetahuan), yang merupakan dasar dari praktik politik dan kebudayaan, dirumuskan ulang dimana kita sendirilah yang mesti membicarakan diri kita sendiri dan bukannya orang lain. Taruhlah pada bidang ekonomi, selama ini tanpa sadar kita sebagai orang Nusantara telah dibentuk untuk menjadi orang Barat, atau orang lain, dimana ilmu ekonomi modern berakar (Paradigma Ekonomi Alternatif “Kawruh Beja”di Tengah Pagebluk, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Demikian pula pada masalah kepribadian kita dimana ilmu psikologi modern telah lama memonopoli pengetahuan dan praktik tentangnya, kita telah dibentuk sedemikian rupa untuk menjadi pribadi yang celakanya ukurannya bukanlah ukuran kita (Sankan-Paraning Dumadi (4): Belajar dari Kyai Wusman, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

This post was last modified on 2 Februari 2021 12:14 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

10 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

10 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

10 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

10 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago