Narasi

Ulama, Guru Bangsa Pemersatu Nusantara

Kalau kita kuliti lembar demi lembar sejarah nasional, maka kita akan menemukan banyak peran dan komitmen para ulama untuk memperjuangkan kemerdekaan sekaligus menjaga keutuhan NKRI. Bahkan, lahirnya dasar negara Pancasila merupakan salah satu sumbangsih pemikiran para ulama. Demi tegaknya suatu negara yang menghargai perbedaan dan menjamin keberagaman, maka bangsa Indonesia dilahirkan bukan sebagai negara agama (baca: Islam), akan tetapi negara hukum yang didalamnya ditegakkan nilai-nilai Ketuhanan. Komitmen ini juga menegasikan bahwa bangsa Indonesia bukanlah negara sekular, yang memisahkan agama dan negara (Agung SS Widodo, jalandamai.net, 19 Maret 2018).

Fakta sejarah telah membuktikan  bahwa salah satu tokoh heroik K.H. Hasyim Asy’ari menginisiasi lahirnya resolusi jihad 22 Oktober 1945. Resolusi jihad ini menurut Muhammadun (2013) merupakan manifestasi nasionalisme para ulama serta kyai dalam membela tegaknya kemerdekaan Indonesia dengan mengeluarkan “fatwa jihad” untuk berperang melawan penjajah. Nasionalisme melekat kuat dalam diri K.H. Hasyim Asy’ari. Terlebih lagi, pada saat itu umat Islam sedang digegerkan ide Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani yang mendorong tumbuh kembangnya jiwa nasionalisme masyarakat Islam di Indonesia (Sirojuddin-AR, 2004).

Para ulama juga telah turut berkontribusi besar dalam perumusan ideologi bangsa, yakni Pancasila. Cendekiawan Islam,  KH. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, beberapa di antara Panitia Sembilan yang bersinergitas di dalam perumusan Pancasila. Demikian juga dengan rumusan dasar negara UUD 1945, dalam alenia ketiga Pembukaan (Preambule) UUD 1945, yang berbunyi, ”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur”, merupakan penggalan yang mengandung nilai-nilai ke-Islaman.

Bahkan berkaitan dengan ulama guru bangsa, kita mengenal sosok Gus Dur, yang tak segan-segan berani memerangi gerakan anti-Pancasila, termasuk yang berkedok agama. Gus Dur dalam kapasitas sebagai pemimpin, baik ketika menjadi ketua Umum PBNU 3 periode, (1984-1999) dan Presiden Republik Indonesia ke-4, serta geraknya dalam wilayah politik merupakan guru bangsa yang rajin dalam memperjuangkan tegaknya demokrasi dan toleransi beragama. Gus Dur pun tak segan-segan berani menolak formalisasi sistem Khilafah, karena hanya akan melegalkan aneka bentuk pemaksaan.

Dalam sebuah negara yang di dalamnya terdapat bangsa yang bercorak plural, pada dasarnya bernegara merupakan hukum alam atau Sunatullah. Bahkan, akan menjadi wacana yang berkelanjutan ketika disandingkan dengan pemahaman terhadap Pancasila (Effendi, 1998: 1992). Masyarakatnya akan terbelah ke dalam berbagai suku, ras, bahasa, kultur, dan agama. Dengan demikian, sebagai sebuah fenomena, kemajemukan tak bisa dihindari. Keberagaman berlangsung dalam pelbagai ruang kehidupan. Akhirnya, akan berada dalam dunia kemajemukan.

Gus Dur juga dengan penuh keyakinan beranggapan bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk dalam kategori “negara damai” (dar al-Sulh), sebuah konsepsi negara dan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara, dar al-Islam, dar al-Harb, dar al-Sulh (negara Islam, negara perang, negara damai). Pancasila melalui slogannya “Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Itu artinya, bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku, bangsa, dan bahasa, tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah common platform, landasan hidup bersama yakni Pancasila.

Berbagai rekam jejak ulama guru bangsa pemersatu nusantara tersebut menegaskan bahwa peran dan kontribusi ulama tak melulu soal agama, melainkan dalam segala aspek termasuk kebangsaan. Sebagaimana diungkapkan oleh Widodo (2018) bahwa para ulama telah mengemban tugasnya sebagai guru bangsa, benteng NKRI sekaligus penyambung lidah rakyat, maka tugas bangsa ini adalah mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dari para ulama yakni wajah Islam yang rahmatan lil’alamin sehingga lahir bangsa Indonesia yang baldatun thoyyibun warabun ghafur. Bangsa yang menjadi rahmat bagi semua, menjadi rumah bagi para penghuni-penghuninya, dimana didalamnnya dihiasi oleh semangat kebersamaan, toleransi, dan menjaga semangat kebhinnekaan yang tunggal ika jalandamai.net, 18 Maret 2018).

This post was last modified on 27 November 2020 3:06 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

16 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

16 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

16 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago