Narasi

Ulama: Guru Bangsa Penyambung Lidah Rakyat

Dalam kajian historikal atas bangsa ini, peran dan komitmen para ulama untuk memperjuangkan kemerdekaan sekaligus menjaga keutuhan NKRI tidak perlu lagi diragukan. Bahkan, lahirnya dasar negara Pancasila merupakan salah satu sumbang sih pemikiran para ulama. Demi tegaknya suatu negara yang menghargai perbedaan dan menjamin keberagaman, maka bangsa Indonesia dilahirkan bukan sebagai negara agama (baca: Islam), akan tetapi negara hukum yang di dalamnya ditegakkan nilai-nilai Ketuhanan. Komitmen ini juga menegasikan bahwa bangsa Indonesia bukanlah negara sekular, yang memisahkan agama dan negara.

Pemikiran dan kontribusi para ulama dalam menjaga NKRI sampai kapanpun akan dibutuhkan. Oleh karena itulah, sudah menjadi tugas kita dan bangsa ini untuk menghormati para ulama. Kita tentunya sangat menyanyangkan jika ada perilaku-perilaku yang justru menunjukkan rasa tidak hormat kepada ulama. Ulama adalah pewaris sekaligus penerus jalan dakwah para nabi. Para ulama juga menjadi penyambung lidah rakyat, untuk memperjuangkan kemerdekaan, melawan penindasan, menebar kasih sayang (rahmatan lil ‘alamin) dan meneguhkan toleransi antar umat beragama.

Para ulama telah memberikan kontribusinya untuk menjaga keutuhan NKRI, utamanya dalam membawa pesan perdamaian dan toleransi. Pesantren-pesanteran yang dalam gerakannya berbasis pada aspek sosio-religiusitas telah membangun pondasi yang kuat untuk merajut ikatan persaudaran dalam perbedaan. Maka tidaklah mengherankan, jika bangsa ini dalam krisis jati diri (perpecahan), para ulama dan pesantren akan menjadi aktor utama yang akan menyuarakan persatuan. Bagi mereka, Pancasila adalah jiwa dan wujud implementasi syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Komitmen itulah yang termaktub dalam Deklarasi yang dilakukan oleh NU dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Situbondo pada tanggal 16 Rabiul Awwal 1404 H, yang menyatakan “penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya, dan sebagai konsekuensi atas sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak” (Said Ali: 2010).

Bangsa Indonesia tentunya sangat bangga karena pernah memiliki sosok ulama kharismatik sekaligus sebagai guru bangsa seperti: KH. Hasyim Asyari, KH Wachid Hasyim, KH Abdurrahman Wachid, KH. Hasyim Muzadi, dan masih banyak para ulama, yang semasa hidupnya telah memberikan seluruh jiwa dan raganya demi keutuhan bangsa Indonesia. Mereka adalah tokoh terdepan yang menyuarakan keadilan, toleransi, dan membela kaum yang lemah. Tanpa kehadiran ulama bangsa Indonesia bukanlah apa-apa, merekalah yang selalu mengingatkan kita untuk kembali kepada khittah bernegara yakni pribadi yang Pancasilais.

Almarhum KH. Abdurahman Wahid, semoga Allah merahmati beliau pernah menitipkan pesan, “mari kita wujudkan peradaban dimana manusia saling mencintai, saling mengerti, dan saling menghidupi. Karena persaudaraan kemanusiaan merupakan puncak dari persaudaraan yang akan memperkokohkan persatuan kebangsaan dan persaudaraan keislaman”.  Pesan Gus Dur ini patut kita renungkan kembali dalam situasi kebangsaan yang sedang carut marut akibat banyak umat beragama yang terprovokasi oleh isu sentimen agama sehingga mengalami krisis toleransi. Pun, dalam kesempatan yang berbeda Gus Dur juga mengingatkan “ tidak penting apa pun agamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang. Orang tidak akan pernah tanya apa agamamu…”.

Para ulama telah mengemban tugasnya sebagai guru bangsa, benteng NKRI sekaligus penyambung lidah rakyat, maka tugas bangsa ini adalah mewujudkan apa yang menjadi cita-cita dari para ulama yakni wajah Islam yang rahmatan lil’alamin sehingga lahir bangsa Indonesia yang baldatun thoyyibun warabun ghafur. Bangsa yang menjadi rahmat bagi semua, menjadi rumah bagi para penghuni-penghuninya, dimana didalamnnya dihiasi oleh semangat kebersamaan, toleransi, dan menjaga semangat kebhinnekaan yang tunggal ika.

Menarik ketika kita mengingat kembali apa yang pernah disampaikan oleh Soekarno, ketika dirinya mengutip statemen Muhammad Natsir, seorang Pimpinan Partai Masyumi pada pertemuan di Pakistan Institute For International Relation, Karachi, Tahun 1953, “Pakistan adalah negara modern, dengan demikian juga negara kami memeluk agama Islam, kami menyebutnya dalam kosntitusi. Bukan berarti mengeluarkan agama dari kehidupan, tetapi karena kami telah mengekspresikannya dalam Pancasila, yang menjadi ajaran spiritual, moral, dan landasan etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Nalar kebangsaan inilah yang selama ini diperjuangkan oleh para ulama, dan ini pula yang menjadi tugas kita.

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

1 hari ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago