Narasi

Urgensi Diplomasi Menghentikan Pertumpahan-Darah dan Bagaimana Peran Indonesia dalam Amanat UU 1945?

Barang-kali, kita perlu belajar dari prinsip Nabi dalam menghindari (peperangan dan pertumpahan darah) dengan satu alasan yang lebih diplomatis. Yaitu, Beliau ingin memutus mata-rantai kekerasan dan menghindari tragedi kemanusiaan, sebagai efek buruk dari peperangan itu sendiri.

Sebagaimana, terkait konflik Israil-Palestina yang begitu rumit dan kompleks itu. Peperangan dan pertumpahan darah sejatinya tidak akan pernah menyelesaikan konflik yang terjadi di Palestina. Sebab, puluhan tahun kecamuk peperangan, justru melahirkan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terus menjalar.

Maka sangat problematik, ketika kita terjebak ke dalam dukungan-dukungan yang tidak efektif dan cenderung destruktif. Yaitu hasrat ingin pergi berperang ke Palestina untuk mendukung serangan. Lalu berharap ini akan menyelesaikan persoalan? Tanpa memikirkan efek mata rantai kekerasan yang telah memakan banyak korban.

Maka di sinilah pentingnya dukungan-dukungan yang sifatnya diplomatis dalam memutus mata rantai kekerasan atau pertumpahan darah. Sebab, kemanusiaan sejatinya jauh lebih penting untuk kita bicarakan saat ini.  Pentingnya membangun dukungan terbentuknya ruang dialog yang konstruktif berkelanjutan dalam menghentikan kekerasan di balik konflik Israil-Palestina.

Dukungan Konstruktif Indonesia untuk Perdamaian Dunia dalam UUD 1945

 Indonesia, sebagaimana dalam amanat UUD 1945 memiliki komitmen dukungan-dukungan untuk perdamaian global. Termasuk dalam konteks konflik Israil-Palestina, Indonesia secara fungsional, memiliki peran dukungan yang konstruktif dalam melahirkan ketertiban dunia berdasarkan prinsip kemerdekaan.

Jadi, dukungan (dunia yang tertib) tanpa kekerasan, tanpa pertumpahan darah dan tanpa kecamuk peperangan. Bagaimana di satu sisi Indonesia mengecam keras segala bentuk penjajahan tetapi tidak membenarkan segala bentuk kekerasan. Sikap Indonesia adalah membawa pengaruh terhadap dunia yang tertib, aman, damai dan menjunjung kemanusiaan.

Dalam konteks situasi yang terjadi di Palestina, di mana anak-anak tergeletak ikut menjadi korban di balik kekerasan dalam kecamuk peperangan. Kiranya ini dapat membuka hati kita, bahwa menghentikan kekerasan jauh lebih fundamental. Dari pada berhasrat melancarkan peperangan yang semakin menjajal tragedi kemanusiaan di dalamnya.

Ruang diplomasi kedua pihak ini menjadi sangat penting. Bagaimana ruang dialog tidak lagi berbicara “keadilan” dalam jual-beli serangan. Tetapi berbicara tentang “keadilan kemanusiaan” demi menghentikan kekerasan di dalamnya. Hal yang paling sejati semacam itu perlu dibangun. 

 Di dunia maya, dukungan-dukungan kita harus berada dalam paradigma memutus mata-rantai kekerasan itu. Pentingnya membawa dukungan dialog dan mediasi yang konstruktif berkelanjutan. Jangan semakin membawa narasi-narasi api emosi yang mendukung serangan-serangan antar dua belah pihak.

Komitmen kita sebagai orang Indonesia mengacu ke dalam dukungan yang berdasar dalam amanat UUD 1945. Yaitu mendukung kemerdekaan dengan prinsip ketertiban bukan kehancuran dalam kecamuk peperangan. Mendukung perdamaian yang abadi, bagaimana melibatkan Eco-keagamaan dalam melahirkan kesadaran iman yang menuntun kesadaran terciptanya perdamaian yang berkelanjutan.

Kita bukan saatnya lagi berbicara tentang jual-beli serangan antar dua belah pihak. Saatnya kita berbicara jual-beli (kesadaran) dalam menjunjung (norma etis) dengan hati nurani. Bagaimana kekerasan dalam kecamuk peperangan itu bisa dihentikan. Mementingkan kemanusiaan dibanding ego hasrat balas dendam.

Maka, di sinilah pentingnya kita sebagai orang Indonesia untuk menghapus segala bentuk dukungan-dukungan yang destruktif itu. Seperti hasrat bergabung berperang, memunculkan sentiment atas umat agama lain dan mendukung peperangan. Semua dukungan-dukungan semacam ini hanya akan memperkeruh keadaan dan semakin membangun rantai kekerasan.

This post was last modified on 6 November 2023 3:25 PM

Sitti Faizah

Recent Posts

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

20 jam ago

Negara bukan Hanya Milik Satu Agama; Menegakkan Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua

Belakangan ini, ruang publik kita kembali diramaikan oleh perdebatan sensitif terkait relasi agama dan negara.…

20 jam ago

Patriotisme Inklusif: Saat Iman yang Kuat Melahirkan Rasa Aman bagi Sesama

Diskursus publik kita belakangan ini diuji oleh sebuah polemik yang sebetulnya tidak perlu diperdebatkan. Rencana…

20 jam ago

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

2 hari ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

2 hari ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

2 hari ago