Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/5/2018).
Hal ini tidak lepas dari desakan publik yang menguat. Pemicunya adalah rentetan kejadian terorisme belakangan yang mengenggut banyak nyawa. Mulai dari kerusuhan Rutan Mako Brimob, bom bunuh diri di Surabaya, Upaya terror di Polda Riau, dan lainnya.
Revisi ini sebenarnya sudah diajukan oleh pemerintah kepada DPR sejak Februari 2016. Namun, pembahasan antara DPR dan pemerintah berlangsung alot dan memakan waktu lama. Kebuntuan ‘hanya’ terkait definisi terorisme itu sendiri. Setelah rangkaian tindakan terror dan desakan publik, akhirnya pemerintah melunak dan menyetujui definisi yang diajukan DPR.
Presiden Joko Widodo sempat mengancam akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang apabila sampai bulan Juni UU ini belum rampung. Sebab, revisi UU ini merupakan sebuah payung hukum yang penting bagi aparat untuk mencegah dan menindak kejahatan terorisme.
Lahirnya UU Terorisme baru menjadi babak baru dan angina segar bagi upaya penanggulangan terorisme yang komprehensif. Kunci berikutnya adalah optimalisasi penegakan hukum. Butuh sinergi lintas lini dan sektoral. Jangan sampai UU Terorisme hanya menjadi dokumen hukum yang ompong di lapangan. Kelompok terorisme diprediksi sudah mengantisipasi lahirnya UU ini. Upaya ekstra dibutuhkan dalam operasionalisasi di lapangan.
Pasal Krusial
Pasal yang paling membuat lama disahkan UU Terorisme adalah definisi (Pasal 1). Definisi yang disetujui akhirnya mengartikan terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Kedua, pasal terkait organisasi teroris (Pasal 12A). Pasal ini mengatur, setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan pengadilan sebagai organisasi terorisme dipidana paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun. Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan kegiatan korporasi juga bisa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.
Ketiga, pasal tentang penghasutan (Pasal 13A). Pasal ini mengatur, setiap orang yang memiliki hubungan dengan organisasi Terorisme dan dengan sengaja menyebarkan ucapan, sikap atau perilaku, tulisan, atau tampilan dengan tujuan untuk menghasut orang atau kelompok orang untuk melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat mengakibatkan tindak pidana terorisme, dipidana paling lama 5 tahun.
Keempat mengenai pelibatan anak (Pasal 16A). Pasal ini mengatur, setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah sepertiga.
Kelima tentang waktu penahanan (Pasal 25). Pasal ini mengatur tersangka teroris bisa ditahan dalam waktu yang lebih lama. Jika sebelumnya penahanan seorang tersangka untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan hanya bisa dilakukan dalam waktu 180 hari atau 6 bulan, kini menjadi 270 hari atau 9 bulan.
Keenam menyangkut penangkapan (Pasal 28). Pasal ini mengatur polisi memiliki waktu yang lebih lama untuk melakukan penangkapan terhadap terduga teroris sebelum menetapkannya sebagai tersangka atau membebaskannya. Jika sebelumnya polisi hanya memiliki waktu 7 hari, kini bisa diperpanjang sampai 21 hari.
Ketujuh adalah Penyadapan (Pasal 31 dan 31A). Pasal ini mengatur, dalam keadaan mendesak penyidik kepolisian bisa langsung melakukan penyadapan kepada terduga teroris. Setelah penyadapan dilakukan, dalam waktu paling lama tiga hari penyidik wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri setempat.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengklaim, UU Terorisme ini terlengkap di dunia. Karena mengandung 3 aspek, yaitu pencegahan, penegakan hukum atau penindakan dan perlindungan termasuk korban dan kompensasinya.
Pascapenetapan UU Terorisme yang baru ini, pemerintah harus bergerak cepat agar segera aplikatif. Berbagai Peraturan Pemerintah (PP) dan turunan ke bawah mesti segera dikeluarkan. Sosialisasi penting digencarkan dalam tempo singkat.
Kunci penegakan adalah sinergi. Pemerintah sebagai koordinator dan fasilitator mesti segera menggandeng semua pihak, mengkoordinasi, dan memfasilitasinya. Satu hal penting bahwa internal pemerintah sendiri mesti dipriotitaskan dalam satu suara dan tindakan.
Sejumlah pihak mengkhawatirkan adanya pelanggaran HAM dalam upaya penanggulangan terorisme. UU telah menegaskan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia. Aparat yang melanggar ketentuan tersebut diancam pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah penting duduk bersama terhadap pihak-pihak yang sejak awal kontra terhadap revisi UU Terorisme ini. Tujuannya untuk penyamaan persepsi. Meskipun selanjutnya menjadi hak semua warga jika ada yang mengajukan uji judicial review. Pemerintah mesti mempersiapkan argument menghadapinya.
Pencegahan menjadi prioritas pertama yang diamanatkan dalam UU ini. Pencegahan dalam UU tersebut meliputi 3 aspek, yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Aspek pencegahan ini diperkuat dengan pelibatan seluruh stakeholder dan seluruh komponen bangsa untuk terlibat secara semesta dalam penanggulangan terorisme. Terorisme sebagai musuh bersama membutuhkan kerjasama penanggulangannya. Bibit-bibit sejak dini mesti dicegah perkembangannya. Semua sector mesti bergerak melaksanakannya.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…