Narasi

Visi Asta Cita; Penguatan Ideologi Pancasila di Bawah Kepemimpinan Baru

Sesaat setelah dilantik, Presiden Prabowo Subianto memberikan pidato di hadapan anggota DPR RI dan tetamu undangan. Dalam pidato sekitar 50 menit itu, Prabowo menyinggung sejumlah program besar dibawah kepemimpinannya salama 5 tahun ke depan. Ada delapan poin program prioritas atau dikenal dengan visi astacita.

Antara lain, pertama penguatan ideologi Pancasila dan penegakan HAM. Kedua, pertahanan negara dan kemandirian bangsa di bidang pangan, energi, air, dan ekonomi pada umumnya.

Ketiga, membuka lapangan pekejaan dan mendorong tumbuhnya industri kreatif. Keempat, memperkuat kualitas sumber daya manusia. Kelima, melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi. Keenam, membangun dari desa. Ketujuh, memperkuat reformasi hukum dan politik. Kedelapan, mewujudkan kehidupan yang selaras dengan alam dan meningkatkan toleransi beragama.

Depalan visi pemerintahan baru itu menarik untuk dicermati lebih jauh. Astacita itu tentu bukan sekadar lip service melainkan impian bersama yang harus terwujud ke depan. Sebagai bangsa yang besar, kita juga wajib punya visi besar. Visi yang besar itu bukan hanya mencakup impian internal, namun juga wajib merespons situasi geopolitik global.

Dalam konteks internal, kita saat ini dihadapkan pada beragam tantangan. Situasi ekonomi belakangan ini tengah dilanda gelombang deflasi berturut-turut. Harga barang di pasaran anjlok, karena daya beli masyrarakat yang menurun. Belum lagi gelombang PHK yang melanda dunia industri kita. Semua itu adalah tantangan di depan mata yang wajib diselesaikan.

Fenomena Kemerosotan Ideologi

Disaat yang sama, bangsa ini juga mengalami kemerosotan dalam hal ideologi. Kian banyak kaum milenial dan generasi Z yang mengalami defisit nasionalisme. Lunturnya semangat cinta tanah air itu juga dibarengi dengan kian masifnya penetrasi ideologi transnasional radikal. Konsekuensi dari kondisi itu adalah Pancasila hari ini seolah mulai dilupakan. Ideologi kebangsaan pun mengalami distorsi yang mengkhawatirkan.

Dalam konteks eksternal, kita juga dihadapkan pada gejolak geopolitik global. Kontestasi negara-negara adidaya untuk menjadi yang paling dominan di level internasional membuat kondisi geopolitik global penuh dinamika bahkan gejolak. Diperlukan sikap kehati-hatian ekstra agar bangsa ini tidak terseret ke pusaran konflik dan gejolak tersebut. Pekerjaan rumah paling berat ke depan adalah bagaimana bangsa ini tetap mandiri di tengah tarikan arus globalisasi. Namun, tetap mampu berkontribusi pada isu-isu global.

Dalam banyak kesempatan, Prabowo Subianto selalu menekankan pentingnya proteksionisme. Istilah ini mengacu pada kebijakan untuk melindungi kepentingan negara atau bangsa sendiri. Proteksionisme berbeda dengan chauvinisme. Chauvinisme adalah nasionalisme sempit, yang menganggap bangsa sendiri paling hebat di antara bangsa lain. Sedangkan proteksionisme lebih ke sikap membatasi masuknya kepentingan asing untuk lebih memprioritaskan kepentingan bangsa sendiri terlebih dahulu.

Dalam konteks ekonomi misalnya, proteksionisme termanifestasikan pada kebijakan pengendalian atau pembatasan impor barang untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya usaha atau industri dalam negeri. Proteksionisme di bidang ekonomi ini penting agar bangsa ini bisa mendirikan dan tidak tergantung pada bangsa lain.

Dalam konteks ekonomi, astacita yang menjadi visi dan misi pemerintahan baru ini kiranya sejalan dengan prinsip ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila pada dasarnya berorientasi pada kemandirian dan kedaulatan bangsa. Bahwa bangsa harus membangun kekuatan ekonomi dengan prinsip gotong-royong dan berorientasi pada pemerataan.

Membangun Kemandirian Ekonomi dan Ideologi

Maka, seperti disampaikan Prabowo dalam pidato pelantikannya, bahwa kita tidak boleh terlalu silau dengan angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi yang acapkali tidak merepresentasikan realitas di lapangan. Capaian ekonomi haruslah dilihat dari indikator kesetaraan dan keadilan di masyarakat.  Proteksionisme kiranya tidak harus dipahami secara sempit, yakni hanya dalam konteks ekonomi saja. Definisi proteksionisme kiranya juga bisa diperluas hingga ranah ideologi.

Dalam konteks ideologi, proteksionisme mewujud pada sikap memperkuat ideologi bangsa sendiri di tengah kontestasi ideologi global. Di titik ini, penguatan Pancasila terutama di kalangan milenial dan generasi Z menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar.

Arkian, poin-poin dalam Asta Cita ini tentu tidak berdiri sendiri melainkan saling terikat satu sama lain. Penguatan ideologi tentu saling berkait dengan pembangunan sumber daya manusia, pembukaan lapangan kerja, penerapan toleransi beragama, dan poin-poin lainnya. Dan, lebih penting dari itu, Asta Cita ini akan berhasil jika seluruh elemen bangsa mendukung kerja-kerja pemerintahan yang baru. Sebagus apa pun program pemerintahan yang baru, jika

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Alarm Kearifan Nusantara: Pulang, Sebelum Terasing di Rumah Sendiri

Di tengah riuh rendahnya panggung digital, sebuah paradoks ganjil tengah melanda bangsa ini. Secara fisik,…

12 jam ago

15 Tahun BNPT: Siap Jaga Indonesia

Tahun 2025 menandai usia ke-15 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai sebuah lembaga strategis penanggulangan terorisme…

14 jam ago

Reorientasi Dakwah; Dari Konversi Iman ke Harmoni Keagamaan

Bagi sebagian kalangan muslim, keberhasilan dakwah itu dinilai jika mampu menarik umat agama lain untuk…

14 jam ago

Menakar Kekuatan Dakwah Transnasional dan Dakwah Nusantara

Seiring terbukanya akses informasi global, arus dakwah transnasional masuk tanpa filter melalui media sosial, platform…

1 hari ago

Menghadapi Infiltrasi Dakwah Trans-nasional dengan Kebijaksanaan Lokal

Di era keterbukaan informasi saat ini, media digital telah mengubah cara umat beragama, khususnya umat…

1 hari ago

Bagaimana Seorang Da’i Berkompromi dengan Keberagaman?

Seorang pendakwah sesungguhnya memikul dua amanah besar di tengah masyarakat. Di satu sisi, pendakwah adalah…

1 hari ago