Narasi

Waspada Delegitimasi Pancasila melalui Narasi Solusi Khilafah

Setiap ideologi pasti ada titik kritisnya. Demikian pula Pancasila. Bisa dibilang, dua dekade pasca Reformasi 1998 ini merupakan fase kritis bagi Pancasila. Pasca berakhirnya Orde Baru, Pancasila seolah kehilangan pamornya. Berakhirnya era asas tunggal Pancasila membuat bangsa kita mengalami semacam fase kekosongan ideologi. 

Kepercayaan masyarakat pada Pancasila pun menurun drastis. Di saat yang sama, gelombang penyebaran ideologi keagamaan transnasional pun membanjiri ruang publik kita. Nilai dan prinsip Pancasila merosot tajam di semua lini kehidupan. 

Prinsip ketuhanan yang dikandung sila pertama mendapat ancaman serius dari maraknya praktik Intoleransi, radikalisme, bahkan terorisme berlatar agama. Prinsip kemanusiaan sebagai ruh sila kedua dihadapkan pada berkembangnya pola pikir dan gaya hidup individualistik. 

Prinsip persatuan sebagai kandungan sila ketiga terancam oleh munculnya gerakan-gerakan separatisme yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Sedangkan prinsip musyawarah-mufakat yang menjadi inti sila keempat dihadang oleh fenomena politik kotor seperti politik identitas dan politisasi agama yang menjadi tren belakangan ini. 

Terakhir, nilai keadilan yang termuat dalam sila kelima terasa hambar manakala sistem ekonomi kita hari ini didominasi oleh nalar kapitalisme liberal. Sistem ekonomi pasar bebas ini telah melahirkan kesenjangan sosial yang teramat akut. 

Upaya Delegitimasi Pancasila

Meski demikian, tudingan pemerintah gagal mensejahterakan rakyat tentu sebuah agitasi yang tanpa dasar. Apalagi agitasi itu berujung pada delegitimasi Pancasila yang dituding sebagai biang kemiskinan, korupsi, dan langgengnya oligarki. 

Di tengah situasi kritis ini, langkah penting yang harus dilakukan bangsa ini bukanlah mengganti ideologi dengan yang baru. Tersebab, tidak ada jaminan ideologi baru itu lebih baik. Lebih penting dari itu ialah bagaimana memperbaiki implementasi ideologi yang sudah ada yakni Pancasila agar bisa keluar dari situasi kritis. 

Terry Eagleton dalam bukunya Ideology; An Introduction menjelaskan bahwa ideologi itu bisa bertahan lama dan tetap relevan jika memenuhi setidaknya tiga syarat. Pertama, memiliki social acceptance (penerimaan sosial) yang tinggi. Artinya, sebagian besar masyarakat menerima ideologi tersebut. Meski pun ada yang menolak, jika jumlahnya minor tidak menjadi persoalan besar. 

Kedua, ideologi harus bersifat terbuka dalam artian tidak absolut dan membuka diri pada kemungkinan penafsiran baru yang relevan dengan dinamika zaman. Ketiga, ideologi tidak dimonumenkan sebagai kata benda yang pasif, namun harus menjadi kata kerja yang aktif. Caranya adalah dengan mengimplementasikannya ke dalam kebijakan-kebijakan praktis yang memberikan signifikansi langsung bagi masyarakat. 

Bagaimana Menguatkan Komitmen dan Implementasi Pancasila?

Jika merujuk pada pendapat Eagleton tersebut, maka hal paling urgen yang bisa dilakukan adalah; pertama, membangun kembali kepercayaan publik pada Pancasila. Terutama sekali di kalangan remaja dan kaum muda sebagai kelompok yang mengalami fenomena distrust terhadap Pancasila. Harus ada gerakan kolektif untuk membangun kesadaran di kalangan remaja dan kaum muda bahwa Pancasila adalah ideologi terbuka yang relevan di segala zaman.

Penting juga membangun komitmen bahwa Pancasila adalah ideologi final yang mustahil diubah, apalagi diganti ideologi lain. Kedua, mereinterpretasikan alias menafsirkan ulang prinsip-prinsip Pancasila agar relevan dengan dinamika zaman dan problem kekinian. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila harus senantiasa ditafsirkan ulang seturut perkembangan zaman.

Di era ketika kebebasan dan keterbukaan sudah menjadi keniscayaan ini, Pancasila harus hadir sebagai filter yang menyaring budaya dan ideologi asing yang masuk ke Indonesia. Pancasila harus menjadi benteng identitas yang melindungi anak bangsa dari infiltrasi ideologi asing dan transnasional. Terakhir, penting pula untuk menjadikan Pancasila sebagai pedoman etika dan moral dalam birokrasi pemerintahan.

Maknanya, Pancasila harus menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan di level eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan begitu, segala kebijakan pemerintah baik di ranah hukum, sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya harus mencerminkan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.

Dengan begitu, kita patut yakin Pancasila akan melewati masa-masa kritisnya. Langkah-langkah itu sekaligus membantah argumen kaum konservatif-radikal yang meyakini bahwa solusi atas krisis Pancasila adalah khilafah. Jika dinalar secara obyektif, sampai detik ini para pengasong khilafah tidak menawarkan solusi praksis apa pun.

Alih-alih tawaran solusi, mereka lebih sibuk mengajak umat Islam kembali ke masa lalu dengan meromantisasi kejayaan Islam di era kekhalifahan. Seolah-olah, era kejayaan itu bisa diduplikasi atawa dikloning dengan mudah hanya dengan mengadaptasikan sistem khilafah ke zaman sekarang. Apa yang ditawarkan para pengasong khilafah hanyalah utopia masalalu yang mustahil dihadirkan di masa sekarang.

This post was last modified on 6 Juni 2023 3:08 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

12 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

12 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

12 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago