Narasi

Waspada Klaim Aksi Menyelamatkan Indonesia

Pada tahun-tahun terakhir ini marak narasi “penyelamatan” terhadap Negara Indonesia atau komponen-komponen berharaga di dalamnya. Misalnya, “Aksi menyelamatkan Indonesia”. Selain kata “menyelamatkan” juga ada “bela”, semisal “Aksi bela ulama”, dan lain sebagainya. Mafhum mukhalafah terhadap narasi ini adalah adanya orang atau kelompok yang menzalimi Indonesia atau ulama.

Apabila Indonesia atau ulama benar-benar terzamili sehingga muncul aksi semacam ini, maka perlu ada diskusi lebih lenajut sehingga aksi ini bisa menjadi media berharga dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Pertama, seberapa besarkah pandangan kelompok yang mengadakan aksi ini terhadap Indonesia dan ulama. Benarkah mereka adalah orang-orang yang tulus memperjuangkan keindonesiaan dan ulama sejati? Atau, jangan-jangan mereka adalah sekolompok masyarakat yang bercita-cita merebut kekuasaan, baik struktur pemerintahan ataupun ketokohan agama, dengan memanfaatkan situasi yang ada? Jika yang terakhir ini yang terjadi, maka kelompok ini dipastikan juga akan menzalimi Indonesia dan ulama.

Berbeda manakala yang menggelar aksi “membela” ini adalah kelompok tulus dengan berpandangan keindonesiaan sebagaimana founding father dan para pengikut ajaran agama yang shalih. Dapat dipastikan bahwa mereka adalah kelompok orang yang benar-benar berjuang untuk kemakmuran Indonesia dan kenyamanan para ulama sehingga bisa berdakwah dengan baik. Dalam jangka panjang, mereka memiliki cita-cita bahwa Indonesia merupakan negara yang makmur dengan hati yang religius. Mereka adalah orang-orang yang bercita-cita bahwa masyarakat Indonesia akan menikmati surga sejak dari dunia, lebih-lebih nanti di akhirat.

Sementara, apabila keberadaan aksi “membela” ini pada dasarnya hanyalah omong kosong, dalam artian Indonesia dan ulama sebenarnya tidak terzalimi, maka sudah jelas bahwa kelompok ini sejatinya adalah kelompok pembuat kegaduhan. Mereka menggunakan narasi “membela” dalam rangka memprovokasi masyarakat sehingga berfikir bahwa Indonesia dan/atau ulama adalah kelompok terzalimi. Mereka berharap bahwa masyarakat akan menganggap bahwa kelompok pembuat aksi adalah kelompok benar yang secara tidak langsung rakyat juga menilai bahwa kelompok yang berseberangan dengan pembuat aksi adalah kelompok yang menzalimi Indonesia dan/atau ulama. Masyarakat tidak sadar bahwa kelompok pembuat aksi adalah kelompok pemfitnah dan pengadu-domba. Rakyat tidak sadar bahwa dirinya adalah objek yang diadu domba. Rakyat dijadikan kekuatan untuk memenuhi nafsu keegoisan diri dan atau kelompok pembuat aksi.

Kondisi ini bisa terjadi lantaran masyarakat tidak selamanya selektif dalam menyikapi informasi yang beredar. Mereka tidak memiliki pandangan yang luas dan mendalam terhadap keindonesiaan dan keagamaan. Sehingga, dengan adanya sulutan emosi dari kelompok tertentu, mereka dapat dengan mudah terpikut di dalamnya.

Bermula dari sinilah, sikap waspada mesti terus ditingkatkan. Adanya aksi “Menyelamatkan Indonesia”, “Bela Ulama”, atau sejenis tidak selamanya pembuat aksi yang benar. Semua perlu ditelaah lebih jauh sehingga bisa diketemukan siapa sejatinya yang menzalimi Indonesia dan/atau ulama. Bisa jadi yang menzalimi Indonesia dan/atau ulama adalah kelompok berseberangan dari yang membuat aksi, atau bahkan yang menzalimi adalah yang membuat aksi.

Jangan sampai ada propaganda dan provokasi di masyarakat. Jangan sampai adanya adu domba di masyarakat terjadi sehingga perpecahan terjadi di mana-mana. Karena bagaimanapun, negara Indonesia ada hanya karena persatuan masyarakatnya. Perbedaan adalah sunatullah, dan persatuan adalah rajutan indah yang ada di tubuh Indonesia sehingga bisa menggapai kemuliaan bersama.Wallahu a’lam.

This post was last modified on 7 Oktober 2020 3:41 PM

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

12 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

12 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

12 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

12 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago