Categories: Keagamaan

Wukuf: Menyelesaikan Masalah Dengan Ibadah

Dalam hadis diriwayatkan bahwa Rasul bersabda; “al-Hajju ‘Arafah”, haji itu di Arafah (HR. Ibnu Hibban). Artinya puncak pelaksanaan ibadah haji harus melaksanakan wukuf di Arafah. Itulah yang membedakan antara ibadah haji dengan ibadah umrah, semua rangkaian ibadah dalam ibadah umrah dapat dilaksanakan setiap saat, namun ibadah haji hanya dapat dilaksanakan pada bulan Zulhajji yang ditandai dengan berkumpulnya seluruh calon jamaah haji dari seluruh penjuru dunia di ‘Arafah guna melaksanakan wukuf.

Istilah ‘wukuf’ berasal dari bahasa Arab ‘wakafa’, yang berarti berhenti sejenak. Ibadah ini hanya dapat dilaksanakan di tengah Padang Arafah. Pemaknaan tentang wukuf yang lebih dalam adalah berhenti sejenak di tengah keramaian manusia dan di tengah kesibukan sambil memperbanyak membaca lafadz talbiyah dan istigfar, membaca lafadz takbir, tahmid dan tahlil demi mengagungkan asma Allah SWT, serta memperbanyak sholawat kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW. Sedangkan ‘Arafah berarti mengenal atau mengetahui. Padang Arafah merupakan tempat melaksanakan wukuf bagi seluruh jamaah haji di setiap tanggal 9 Zulhijjah.

Haji merupakan ibadah penutup dalam rangkaian rukun Islam, ibadah ini diwajibkan oleh Allah kepada setiap Muslim yang mampu, baik mampu secara finansial, kesehatan, maupun keimanan dan ketakwaan. Begitu mulianya ibadah ini hingga dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasul menegaskan “Tidak ada balasan lain untuk haji mabrur kecuali surga.” (HR Nasai dari Abu Hurairah).

Masyarakat kita tentu sudah banyak mengetahui dan membaca perihal janji surga yang akan diberikan Allah kepada hambanya yang mampu melaksanakan ibadah haji, hal itu pula yang menjadi dorongan terbesar bagi setiap muslim di seluruh penjuru dunia untuk dating berduyun-duyun melaksanakan ibadah tahunan ini. Rasulullah SAW bahkan menyatakan bahwa haji memiliki derajat yang sama dengan jihad fi sabillillah, yakni berjuang di jalan Allah. Karenanya jika seorang muslim wafat ketika sedang melaksanakan ibadah haji, mereka digolongkan sebagai ummat yang meninggal dalam keadaan mati syahid.

Dalam hadist diriwayatkan tentang seorang laki-laki yang datang dan mengadu kepada Rasul, dengan lugu laki-laki itu berujar, “Saya ini penakut dan saya ini lemah”, Rasul menjawab “Ayolah berjihad yang tidak ada kesulitannya, yaitu menunaikan haji” (HR. Thabrani dari Husein bin Ali). Dalam hadist yang lain, Rasulullah SAW bersabda: “Jihad bagi orang yang sudah tua, lemah dan wanita ialah menunaikan haji” (HR. al-Nasa’i).

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa haji termasuk dalam jihad, hal ini tentu mematahkan anggapan sebagian orang atau kelompok yang secara serampangan mengartikan bahwa jihad hanya terbatas pada kegilaan untuk melakukan perang dan menimbulkan kerusakan. Beberapa ulama bahkan menyatakan bahwa ibadah haji merupakan salah satu bentuk jihad yang sesungguhnya, karena dalam ibadah ini setiap muslim diminta untuk ‘berpindah’, baik dalam hal lokasi maupun suasana hati.

Hal utama yang ditekankan dalam ibadah haji adalah kepatuhan dan kepasrahan diri kepada Allah sang penguasa kehidupan. Jihad dalam bentuk ibadah haji dilakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan kebencian dan kekerasan. Itulah hakikat jihad yang sesungguhnya. Dari sini pula kita dapat melihat bahwa sesungguhnya kekerasan dan umbaran kebencian sangat bertolak belakang dengan semangat jihad yang mendambakan kebaikan. Mengangkat pedang bukan lagi jihad, membunuh sesama makhluk Allah juga bukan jihad, semua itu adalah perilaku jahat.

Melalui ritual wukuf, jamaah haji diminta Allah untuk ‘berhenti’ sejenak dan menanyakan pertanyaan penting ke diri sendiri, “Mau kemanakah kalian?” (QS. al-Takwir 81: 26); Apakah kita akan bergerak menuju kebaikan atau malah terperosok dalam kebrutalan dan kerusakan.

Sejatinya, segala macam bentuk wukuf yang dilaksanakan secara konsisten harus membawa efek positif terhadap tutur kata, tingkah laku, serta gaya dan cara berpikir setiap Muslim, sehingga tidak ada lagi celah untuk pertumbuhan paham kekerasan yang sangat bertentangan dengan hakikat ajaran Islam. Melalui ibadah kita tampilkan ajaran agama dengan indah, sementara melalui kekerasan kita memaksakan agama menjadi awal dari kehancuran. Semoga kita selalu dilindungi Allah untuk tetap berjihad dengan penuh kasih sayang dan kebaikan.

Belmont Residence, 13 September 2015.

This post was last modified on 15 September 2015 12:50 PM

Irfan Idris

Alumnus salah satu pesantren di Sulawesi Selatan, concern di bidang Syariah sejak jenjang Strata 1 hingga 3, meraih penghargaan dari presiden Republik Indonesia pada tahun 2008 sebagai Guru Besar dalam bidang Politik Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar. Saat ini menjabat sebagai Direktur Deradikalisasi BNPT.

Recent Posts

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

7 jam ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

8 jam ago

Hari Pendidikan Nasional dan Upaya Membangun Sekolah yang Damai dari Intoleransi, Bullying dan Kekerasan

Hari Pendidikan Nasional yang akan diperingati pada tanggal 2 Mei 2024 menjadi momentum penting untuk…

8 jam ago

Role Model Pendidikan Karakter Anti-Kekerasan Ala Pesantren

Al-Qur’an merupakan firman Allah azza wa jalla yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya, yang…

8 jam ago

Merdeka Belajar; Merdeka dari Tiga Dosa Besar Pendidikan

Sekolah idealnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Namun, ironisnya belum semua sekolah memberikan rasa aman…

1 hari ago

Fitrah Indonesia dan Urgensi Sekolah Ramah Perbedaan

Di tengah dinamika keragaman Indonesia, konsep sekolah ramah perbedaan menjadi semakin penting untuk dikedepankan guna…

1 hari ago