Narasi

Yang Muda Yang Ronda Digital

Kejahatan terjadi bermula dari ruang sosial. Karena interaksi sosial, narasi kebencian sering kali muncul dialamatkan kepada lawan bicara atau orang ketiga. Alhasil, lawan bicara ataupun orang ketiga pun ganti memproduksi narasi digital tandingan yang lebih besar. Dan kini, ruang sosial bukan hanya di dunia nyata melainkan juga di dunia maya.

Tahun 2016, hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 256,2 juta jiwa sebanyak 132,7 juta jiwa atau 51,8 persennya adalah pengguna internet. Ditinjau dari segi pekerjaan, dari julmah pengguna internet tersebut yang terbanyak adalah mahasiswa dan pelajar. Pengguna internet dari kalangan mahasiswa sejumlah 89,7 persen, pelajar 69,8 persen, pekerja 58,4 persen, ibu rumah tangga 25,3 persen, dan lainnya 6,7 persen. Sementara, konten yang diakses tertinggi adalah media sosial. Media sosial 97,4 persen, hiburan 96,8 persen, berita 96,4 persen, pendidikan 93,8 persen, komersial 93,1 persen, dan layanan publik 91,6 persen.

Berdasarkan data tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas masyrakat Indonesia menggunakan internet. Pengguna yang terbanyak adalah kalangan muda (milenial) dari mahasiswa disusul pelajar. Media sosial merupakan konten tertinggi yang diakses masyarakat. Sehingga, kaum milenial dan media sosial menjadi salah satu penentu dari konten internet yang ada.

Data ini sejalan dengan rutinitas kaum milenial di zaman sekarang. Secara kasat mata, kita dapat melihat bahwa hampir seluruh mahasiswa dan pelajar (usia SMP dan SMA) selalu membawa telepon seluler canggih (yang bisa digunakan untuk mengakses internet termasuk media sosial). Ketika waktu istirahat, sambil ngobrol dengan temannya, sambil makan, mereka selalu menggunakan alat komunikasi tersebut. Bermula dari sinilah, tidak dapat disangkal lagi betapa kaum milenial merupakan pengguna media sosial tertinggi.

Baca juga : Milenial Cerdas, Mengikis Narasi Kebencian dengan Ronda Online

Ketika kaum milenial merupakan pengguna media sosial tertinggi, tentu mereka memiliki kewajiban tertinggi pula dalam bidang keamanan. Lebih-lebih, mereka adalah kelompok yang paling cekatan dalam penggunaan media sosial dan internet. Ketika memiliki telepon seluler pintar, secara alamiah mereka akan dengan mudah bisa menggunakan beragam aplikasi yang disediakan. Hal ini berbeda dengan orang tua yang kadang untuk belajar menulis dan mengetik pesan singkat saja harus diajari lebih dari tiga kali. Itu pun belum tentu bisa. Para orang tua bukan saja tidak mudah menyerap ilmu menggunakan telepon seluler pintar namun juga karena fungsi panca inderanya sudah banyak yang berkurang sehingga sulit untuk mempelajari cara penggunaan alat canggih tersebut.

Saat ini konten media sosial cukup beragam. Selain konten positif diproduksi dan disebarkan oleh keum milenial, sebagian mereka juga dengan sengaja membuat kegaduhan dengan memproduksi dan menyebarkan konten negatif. Kaum milenial memiliki kreativitas yang begitu tinggi dalam menggunakan media sosial sehingga narasi negatif sering kali terbalut dengan topeng menyenangkan. Pemutarbalikan fakta bisa saja berbentuk meme yang lucu sehingga para penerima pesan tidak merasa dibohongi.

Kreativitas lain, ada kelompok yang suka membuat tulisan panjang dengan berbagai analisanya, membandingkan satu hal/orang/kelompok dengan yang lainnya dengan cara mengunggulkan yang satu dan merendahkan yang lain. Pembaca diajak untuk memantapkan hati padi penilaian positif satu hal dengan menilai hal lain negatif. Padahal, data-data yang digunakan tersebut sering kali adalah data yang sejatinya tidak sempurna. Namun demikian, data tersebut digunakan dalam rangka memuluskan keinginan pembuat analisa.

Bermula dari sinilah, keamanan media sosial merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan. Dan, kaum milenial sebagai pengguna terbanyak dan tercanggih memiliki tanggung jawab besar. Selain menjaga diri agar tidak memproduksi dan menyebarkan konten negatif, kaum milenial juga perlu ronda digital sekaligus menindaklanjuti pelaku kejahatan yang ditemukannya. Usahakan menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan, namun jika tidak selesai bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

View Comments

Recent Posts

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

16 jam ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

16 jam ago

Menghapus Dosa Pendidikan ala Pesantren

Di lembaga pendidikan pesantren, tanggung-jawab seorang Ustadz/Kiai tidak sekadar memberi ilmu kepada santri. Karena kiai/guru/ustadz…

16 jam ago

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

2 hari ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

2 hari ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

2 hari ago