Categories: Narasi

Agama(wan) Merespons Corona

Langkah sigap ditunjukkan kelompok agamawan dalam menanggapi pendemi COVID-19. Menghadapi ancaman virus baru yang semakin masif, berbagai upaya dilakukan untuk menekan penyebaran virus mematikan tersebut. Apalagi pemerintah Indonesia telah menetapkan COVID-19 sebagai bencana nasional non-alam. Sehingga seluruh pihak perlu semakin peduli dan memberikan kontribusinya agar musibah yang diakibatkan Corona segera terselesaikan.

Virus yang awalnya muncul di Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019 kini telah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Penyebaran virus yang begitu cepat membuat setiap negara yang terjangkit COVID-19 harus melakukan upaya ekstra untuk memutus rantai penyebarannya. Keterlibatan semua pihak dibutuhkan, termasuk para agamawan di Indonesia. Dan berbagai kelompok agama di Indonesia telah melakukan langkah yang tepat untuk meminimalisasi dampak corona. 

Sebut saja PP Muhammadiyah yang membentuk Muhammadiyad COVID-19 Command Centre (MU-C3). Ikhtiar ini dilakukan sebagai percepatan penanggulangan virus di Indonesia. Kegiatan pencegahan yang dilakukan antara lain penyediaan disinfektan untuk sekolah, rumah ibadah, pesantren, pendistribusian masker, dan hand sanitizer. Mereka pun memberikan alat pelindung diri, seperti masker, sarung tangan, baju khusus, dan pelindung kepala untuk tim medis.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga berupaya mencegah penyebaran virus baru ini. Salah satunya dengan menerbitkan protokol NU Peduli COVID-19. Protokol tersebut ditujukan untuk seluruh jaringan yang berada di bawah NU (PBNU, PWNU, PCNU, Pengurus Lembanga, dan Badan Otonom di seluruh tingkatan). Termasuk mengedarkan protokol untuk masjid dan musholla, lembaga pendidikan NU, protokol di pasar, dsb.

Baca Juga : Radikalisme, Corona, dan Masa Depan Bangsa

Majelis Ulama Indonesia juga cepat melihat fenomena corona. Salah satunya melalui Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19. Dalam fatwa tersebut, menyebutkan bahwa dalam kondisi penyebaran virus yang tidak terkendali, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shilat jumat di kawasan tersebut hingga keadaan menjadi normal kembali. Sehingga sholat jumat wajib diganti dengan sholah zuhur di tempatnya masing-masing.

Dalam fatwanya, MUI juga melarang pelaksanaan ibadah yang membuat konsentrasi massa  di wilayah yang kondisi penyebaran virus tidak terkendali. Fatwa seperti ini perlu diperhatikan dan ditaati karena mengandung nilai kebaikan dan memberikan manfaat. Harapannya peredaran virus, yang mungkin ditularkan oleh jamaah yang telah terifeksi, bisa ditekan.

Selain beberapa hal di atas, banyak hal sederhana yang dilakukan kaum beragama dalam menanggapi situasi pendemi ini. Misalnya, ada takmir masjid yang memutuskan untuk menggulung karpet di masjidnya untuk sementara waktu dan meminta jamaahnya membawa masker sendiri-sendiri jika ingin sholat. Kebersihan masjid pun semakin ditingkatkan dengan cara mengepel lantai secara rutin dengan cairan disinfektan.

Takmir masjid kemudian memberikan pengumuman agar jamaah yang sakit untuk sementara waktu tidak menghadiri sholah berjamaah di masjid. Ada juga masjid yang menyediakan sabun di tempat wudhunya agar kebersihan jamaahnya dapat terjaga. Berbagai hal ini mungkin akan dianggap sebagai hal yang berlebihan. Tetapi dalam kondisi serangan virus ganas ini, langkah-langkah tersebut adalah hal urgen yang perlu dilakukan.

Berbagai hal yang dilakukan pemeluk agama di atas menunjukkan bahwa agama bisa menjadi solusi atas permasalahan kontemporer yang terjadi di masyarakat. Agama tidak sekedar berhenti pada aktivitas ritual dengan tujuan akhirat, melainkan berperan penting untuk mengatasi persoalan umat. Langkah-langkah di atas juga menggambarkan bahwa agama bisa dipahami secara rasional sehingga menghasilkan solusi masalah.

Hal ini merupakan kebalikan dari sebagian kelompok agama yang masih berpikiran fatalistik. Misalnya, karena virus merupakan salah satu mahluk Allah, maka upaya untuk menghindari diri dari penyakit akibat korona adalah dengan berdoa saja. Sementara aktivitas keseharian lainnya tetap dijalankan. Bagi kelompok ini, tidak perlu takut tertular virus ini. Jika pun tertular, maka hidup dan mati manusia ada di tangan Allah. Jika pandangan seperti ini yang dianut, maka berbagai ikhtiar untuk menjaga diri dari terjangan virus akan semakin sulit. Sehingga potensi penyebarannya bisa lebih cepat. Beruntung, di Indonesia, lebih banyak agamawan (dan umat) yang mau diajak berpikir kritis dan rasional. Sehingga harapan kita, badai korona ini dapat segera berlalu.

This post was last modified on 22 Maret 2020 8:28 PM

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

21 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

22 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

22 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago