Masih ingat Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah (FKAWJ) yang sempat dipimpin oleh Ja’far Umar Thalib? Forum itu merupakan salah satu produk institusionalisasi paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang ada di Indonesia.
Ja’far Umar Thalib adalah pria keturunan Arab Hadrami yang memperoleh pendidikan dan pengajaran dari lingkungan Al-Irsyad dan Persatuan Islam, dua organisasi Islam yang menganut faham Salafi (puritan). Selesai mempelajari agama di Indonesia hingga Afganistan, Ja’far kembali ke Indonesia mengembangkan ajaran Salafi dan kemudian melakukan mobilisasi politik dengan membentuk FKAWJ sebagai organisasi payung bagi Laskar Jihad yang ia pimpin untuk membantu kaum muslimin dalam konflik Maluku dan Ambon (Hasan, 2008).
Selain kelompok Ja’far Umar, beberapa alumni Timur Tengah di Indonesia, utama alumni Saudi Arabia, aktif dalam dakwah dengan bendera Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Mereka mendirikan radio dan televisi dengan nama Radio Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang disingkat menjadi “Roja”.
Faham dan gerakan Salafi pada masa kini juga mengklaim dirinya sebagai ASWAJA, padahal dalam hal furu’ mereka berbeda dengan kelompok NU. Mereka tampil beda dengan mengenakan jubah panjang (jalabiyah), sorban (imamah), celana yang menggantung (isbal) dan memelihara jenggot (lihyah). Perempuannya mengenakan pakaian hitam-hitam yang menutupi semua tubuh dan wajah mereka, kecuali mata.
Persaingan dan perebutan pengaruh faham ASWAJA dan gerakan Salafi menjadi-jadi setelah Perang Teluk tahun 1990. Diantara mereka yang baru pulang belajar dari pusat-pusat Salafi di Timur Tengah (Saudi, Yaman, Pakistan) kembali ke Indonesia berebut sebagai wakil sah gerakan itu. Akibatnya, perpecahan dan konflik tidak dapat dihindari dan kemudian lahirlah Salafi Jihadis (Mufid, 2013).
Jangan salah, kelompok jihadis ekstremis ini juga mengaku salafi. Penganut paham Salafi radikal (Sururi/Jihadis) hanya taat dan patuh kepada ulama yang tergolong “salafus shaleh ahlu tsuhur” yaitu ulama pengikut Salafi yang berada di medan perang yang layak untuk diikuti hujah dan fatwa nya. Ulama yang bukan ahlu tsuhur, nasehat dan fatwanya tidak dikuti. Mereka cenderung memahami teks (nash) secara harfiyah, menafsirkan sirrah nabawiyah dan keteladanan salaf al shaleh tanpa mengaitkan dengan maqashid al syari’ah apalagi konteksnya, asbab al-nuzul atau asbab al-wurud.. Cara pandang seperti ini bukan sesuatu yang baru.
Pada era sahabat juga telah muncul kelompok “kharijiyah” dan pada masa modern muncul paham “hakimiyah”. Kedua faham ini menggunakan adagium “la hukma ila Allah” yakni tidak hukum yang diikuti dan ditaati kecuali hukum Allah.
Perebutan otoritas dalam menggunakan label Aswaja menjadi persoalan serius dalam lanskap keislaman di Indonesia. Di satu sisi, Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, telah sejak awal mengidentifikasi dirinya sebagai pengusung ASWAJA dengan pendekatan tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleransi).
Dalam tradisi NU, Aswaja dipahami sebagai metode beragama yang memadukan akidah Asy’ariyah/Maturidiyah, fikih madzhab yang diakui, serta tasawuf yang berorientasi pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Pemahaman ini menjunjung tinggi konsep maqashid al-syariah, yaitu tujuan-tujuan syariat yang meliputi penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Namun, klaim atas Aswaja oleh kelompok Salafi dengan corak puritan maupun ekstrem-nya menimbulkan disonansi. Hal ini terlihat dari penolakan mereka terhadap madzhab fikih tradisional, penolakan terhadap praktik-praktik tradisional Islam yang memiliki akar budaya lokal, dan kritik tajam terhadap amaliyah seperti tahlil, maulid, dan ziarah kubur yang dipertahankan oleh NU.
Dinamika ini diperparah dengan kehadiran kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Aswaja untuk melegitimasi tindakan ekstrem mereka. Dalam banyak kasus, mereka menggunakan tafsir keagamaan yang keras untuk membenarkan aksi kekerasan, seperti bom bunuh diri dan serangan terhadap kelompok-kelompok minoritas yang dianggap menyimpang. Padahal, semangat ASWAJA yang asli adalah memelihara persatuan (jama’ah) dan menghindari fitnah (kekacauan) di tengah umat.
Sejatinya, Aswaja tidak boleh diinstitusionalisasikan. Ia adalah nilai moral dan laku hidup, bukan AD/ART apalagi dogma eksklusif. Jika Aswaja dianggap sebagai umat paling otentik Nabi, maka banyak hadis Nabi yang menjelaskan bagaimana karakter umat Nabi Muhammad, misalnya hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«يَحْتَى يَقْتُلَ الرَّجُلُ جَارَهُ وَأَخَاهُ وَعَمَّهُ وَابْنَ عَمِّهِ».
فَقَالَ الْقَوْمُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! أَوَيَعْقِلُونَ ذَلِكَ؟
فَقَالَ: «لَا، يُنْزَعُ عُقُولُ أَكْثَرِ أَهْلِ ذَلِكَ الزَّمَانِ، وَيُخْلِفُ لَهُ هَبَاءً مِنَ النَّاسِ، يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ وَلَيْسُوا عَلَى شَيْءٍ».
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«مَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِي، يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا، وَلَا يَتَحَاشَى مُؤْمِنَهَا، وَلَا يَفِي لِذِي عَهْدٍ عَهْدَهُ، فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ».
Artinya
Rasulullah SAW bersabda:
“Hingga seseorang membunuh tetangganya, saudaranya, pamannya, dan sepupunya.”
Para sahabat berkata: “Subhanallah! Apakah mereka masih memiliki akal sehat saat itu?”
Beliau menjawab: “Tidak, akal mereka telah dicabut oleh Allah, sehingga yang tersisa hanyalah orang-orang yang tampak seperti manusia tetapi tidak memiliki pemahaman yang benar. Mereka mengira berada di atas kebenaran, padahal tidak demikian.”
Rasul juga bersabda:
“Barang siapa yang keluar dari umatku, membunuh orang-orang baik maupun orang-orang jahat, tidak peduli kepada orang mukmin, dan tidak menghormati perjanjian dengan ahlu dzimmah, maka ia bukanlah bagian dariku, dan aku bukan bagian darinya.”
Hadis menegaskan bahwa fitnah dapat diatasi dengan kembali kepada nilai-nilai utama Islam, seperti kasih sayang, keadilan, dan menjaga persatuan umat. Dalam konteks Aswaja, ini berarti menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, bukan justru mempolitisasinya.
Sebagaimana Rasulullah SAW menolak orang-orang yang melanggar nilai persatuan umat, Aswaja sejatinya adalah ajaran untuk menjaga kerukunan di tengah perbedaan, bukan menjadi alat untuk menciptakan kekacauan atau mendominasi kelompok lain.
Aswaja adalah milik umat Islam yang memahami dan menghidupkan kembali esensi dari ajaran tersebut. Aswaja bukan sekadar label politis-dogmatis, tetapi merupakan panduan etis dan teologis untuk hidup beragama yang inklusif, moderat, dan kontekstual.
Aswaja sejatinya milik seluruh umat Islam yang ingin meneladani kebaikan, keadilan, dan kasih sayang sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan generasi salaf al-shaleh. Yang terpenting bukanlah siapa yang berhak atas nama Aswaja, melainkan bagaimana kita menghidupkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam dinamika keagamaan di Indonesia, wacana mengenai identitas keislaman selalu menjadi topik hangat, terutama dalam…
Hadist Nabi yang menyebutkan bahwa umatnya akan terpecah ke dalam 73 golongan dan hanya 1…
Terminologi Al Jamaah telah menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama dan umat Islam pada umumnya.…
Sepekan terakhir, media massa internasional dan nasional memberitakan tentang bencana kebakaran yang melanda Los Angeles.…
Salam Damai, Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Edisi Perdana e-Journal…
Mata saya terbelalak ketika tengah menggulir lini masa media sosial Instagram. Di laman explore saya…