Categories: Narasi

Ajaran Kemanusiaan dan Cinta Tanah Air di Pondok Pesantren Ash-Shomadiyah

Dari sejarahnya, cikal bakal Pondok Pesantren Ash-Shomadiyah ini bermula ketika Mbah Shomadiyah yang selalu rutin shalat jamaah maghrib dan isya’ di masjid agung, sebelah barat alun-alun Tuban. Jalan yang dilalui Mbah Shomadiyah berjalan kaki ke masjid terdapat markas Belanda. Pada jam-jam sore itulah kegiatan kompeni bersenang-senang dengan membunyikan musik. Setiap Mbah Shomadiyah lewat, suara musik itu tiba-tiba tidak berbunyi.

Begitu Mbah Shomadiyah sudah berlalu, suara musik bisa berbunyi lagi. Begitu kejadian berulang-ulang setiap petang ketika Mbah Shomadiyah lewat. Akhirnya penguasa Belanda berupaya supaya Mbah Shomadiyah tidak melewati  jalan tersebut, maka diberikan Mbah Shomadiyah punya lahan dan masjid sendiri, suapaya tidak jalan lewat markas Belanda  tersebut. Dan, tempat itulah yang kini terkenal dengan nama kompleks Pondok Pesantren Makam Agung.

Di sinilah kemudian Mbah Shomadiyah perlahan menyalurkan ilmunya kepada masyarakat sekitar, yaitu mengajak untuk shalat berjamaah dan mengaji atau ta’lim. Beliau mengasuh Pondok Pesantren ini sampai wafat dan akhirnya kemudian diteruskan oleh keturunannya. Bisa di bilang masa kejayaan Pondok Pesantren Ash-Shomadiyah tidak bisa lepas dari figur K.H Ahmad Shifa’Sholih atau Mbah Syifa’ (wafat tahun 2009). Beliau merupakan salah satu tokoh yang sangat disegani pada masanya.

Pada masa kepemimpinannya Mbah Syifah’ ini mulai dirintis dan difasilitasi pendirian lembaga pendidikan formal di lingkungan pesantren Shomadiyah, mulai dari memfasilitasi sarana gedung dan tanah untuk SDI dan SMP Mu’alimin, yang kemudian pada tahun 1992 berdiri Madrasah Aliyah ash-Shomadiyah, dan pada tahun 1996 berdiri tingkat MTS. Selain nama besar Mbah Syifa’, terdapat nama besar lain yang melegenda di lingkungan Ash-Shomadiyah yaitu KH. Syarif (Mbah Syarif). Mbah Srarif ini sangat terkenal dengan sikap ikhlas dan sederhananya.

Berangkat munculnya sekolah formal inilah penulis berani mengatakan pondok ini mengajarkan tentang kemanusiaan dan cinta tanah air. Karena pada tahun 2010 pernah merasakan suasana di Pondok Pesantren Ash-Shomadiyah dan menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Ash-Shomadiyah. Bisa dikatakan dari sekolahan inilah banyak orang terselamatkan masa depannya. Sebab, banyak dari mereka yang menempuh pendidikan di Ash-Shomadiyah berangkat dari kalangan menengah ke bawah. Pun, pembayaran yang dilakukan menggunakan infaq, dalam satu semeter hanya membayar 30.000 s/d 60.000. Kalau tidak ada yang membayar kepala sekolah yang pada masa itu di pimpin oleh Riza Shalihuddin Habibi atau sering disapa Abah Riza, juga mengatakan, “tidak mengapa, biarkan mereka belajar”.

Baca Juga : Puncak Keberagamaan itu Kemanusiaan

Inilah salah satu yang menjadi simbol kemanusiaan yang diajarkan oleh Pondok Pesantren Ash-Shomadiyah. Melalui guru-guru yang mengajar dengan penuh keikhlasan, kemudian menjalar kedekatan dengan muridnya. Sehingga tidak ada sekat-sekat dalam berinteraksi, tapi yang pasti semua diajari tawadhu, menghormati orang yang lebih tua, sampai dengan mengajarkan pentingnya kebersamaan dalam membingkai kedekatan dan cinta dalam mengasihi. Maka, tidak mengherankan apabila akan sering datang alumni yang datang ke pondok pesantren Ash-Shomadiyah, meskipun hanya sekedar itu sowan atau merindukan tempat bagaimana bisa merasakan pendidikan yang memanusiakan.

Selain sisi kemanusiaan yang diajarkan oleh Pondok Pesantren Ash-Shomadiyah. Santri-santrinya juga diajak untuk mencintai dan menjaga tanah air ini. Melalui pendidikan Abah Riza percaya santri-santri bisa ikut ambil andil dalam memegang estafet bangsa Indonesia, dan tentunya memiliki harapan besar untuk memajukannya. Sebagaimana kata-kata yang sering dikatakan ketika mengisi pidato “Burung terbang dengan sayapnya, manusia terbang dengan cita-citanya”. Dan sekarang terbukti banyak santrinya yang terbang luas di kampus-kampus negeri dengan tujuan untuk mengejar cita-cita dan tentunya mencari pengetahuan dan semoga bisa membangun Indonesia lebih berkemajuan dan bisa mengikuti zaman, tanpa melupakan kebudayaan lamanya. Melalui tulisan ini, sebenarnya ingin menyampaikan, masih banyak sekolah yang selalu memberikan naungan kemanusiaan. Pendidikan adalah salah satu jalur utama untuk membuka wawasan, pengetahuan, dan tentunya ajaran kemanusiaan, yang kemudian tidak menutup kemungkinan akan berguna bagi bangsa ini. Untuk itu, jangan pernah untuk tidak sekolah, karena pemerintah juga sudah memberikan sebuah wejangan untuk wajib sekolah 12 tahun. Manfaatkan itu, dan kemudian amalkan untuk membangun bangsa Indonesia. Melalui pendidikan kita akan mendapatkan sistem kemanusiaan dan cinta tanah air Indonesia. Sebagaimana Indonesia yang Multicultural dan toleran.

This post was last modified on 13 Maret 2020 1:53 PM

Suroso

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

5 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago