Categories: Narasi

Menolak Standar Ganda, Meneguhkan Solidaritas Universal

Solidaritas kemanusian itu sejatinya universal dan rasional. Disebut universal, sebab hak, harkat dan martabat manusia itu kapan dan di mana pun sama. Sama-sama wajib dihargai dan dilindungi. Juga bersifat rasional, sebab ia lahir dari alasan rasional yang dilegitimasi oleh nalar manusia. Yakni memanusiakan manusia.

Munculnya politik identitas mereduksi makna solidaritas kemanusiaan itu menjadi berwajah dua. Ukurannya pun jadi standar ganda. Jika yang dizalimi itu adalah pihak/agama kami, maka ia wajib dibela. Tetapi jika sebaliknya, pihak/agama mereka yang dizalimi, diam seribu bahasa.

Kami versus mereka adalah standar yang berbahaya. Kepentingan “kami” adalah ukuran kebenaran. Maka di luar kami salah. Ini bukan hanya salah, tetapi juga menimbulkan masalah dan konflik baru.

Inilah yang menyebabkan masyarakat tradisonal dulu sering terjadi konflik. Sebab, ukuran kebenaran adalah suku mereka. Akibatnya, solidaritasnya adalah solidaritas kesukuan nan sempit. Perang, perampokan, konflik antara suku pun sering terjadi.

Persis inilah yang diperlihatkan sebagian kaum Islamisme. Mereka dengan latang menyuarakan perdamaian, solidaritas, serta kemanusiaan, jika yang jadi korban adalah muslim. Aksi bela, pemungutan bantuan, tagar #save, dan seterusnya disuarakan.

Baca Juga : Puncak Keberagamaan itu Kemanusiaan

Media sosial menjadi sarana paling subur untuk menunjukkan bahwa kaum muslim di berbagai belahan dunia terzalimi. Akan tetapi, dengan tidak sadar, bahkan tanpa merasa bersalah hal yang sama juga mereka lakukan kepada agama lain, pihak minoritas, bahkan dengan mudahnya mengafir-sesatkan pihak lain yang tak sejalan dengan mereka.

Strategi Pilih-pilih

Standar ganda ini sungguh sangat berbahaya. Sebab akan melahirkan eksklusifisme, dan membangkitkan primordialisme masing-masing. Solidaritas yang lahir dari kondisi seperti ini sejatinya adalah solidaritas semu.

Dari luar nampak bersifat empati, mendamaikan, serta menghilangkan diskriminasi dan toleransi, tetapi jika dilihat lebih dekat ini tak ubahnya seperti bentuk diskriminasi dan intoleransi baru yang penuh dengan umpatan, cacian, dan provokasi.

Kenapa disebut solidaritas semu? Sebab sikap dan laku yang ditunjukkan adalah sikap dan laku pilih-pilih. Subjektivitas kelompok yang memilih siapa yang layak dibela, disuarakan, dan dikasih empati.

Strategi pilih-pilih mencederai watak dari solidaritas itu sendiri yang bersifat universal dan rasional. Solidaritas menjadi solidaritas sempit dan tidak diterima oleh semua orang. Nalar manusia sulit menerima model solidaritas pilih-pilih.

Diskriminasi, intoleransi, dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh pihak/agama lain kepada kita, bukan berarti melegitimasi kita untuk melakukan hal yang sama pada mereka. Ini adalah logika keliru.

Seorang pencuri, dengan mengatakan bahwa tetangga di samping rumahnya adalah perampok, yang jauh lebih sadis darinya, tidak melegitimasi bahwa kelakuannya yang mencuri itu menjadi absah. Tidak sama sekali. Keduanya tetap salah.

Kembali kepada Nilai Kemanusiaan

Dalam konteks menegakkan solidaritas universal tidak ada cara lain kecuali kembali kepada prinsip kemanusiaan. Prinsip inilah yang bisa beralaku kapan dan di mana pun. Semua pihak, kelompok, dan agama menerima prinsip ini.

Sejak dini, agama sudah mendeklarasikan bahwa Tuhan memuliakan manusia. Wa laqad karramna bani adam, sungguh telah kami muliakan anak Adam. Ungkapan yang bersifat deklaratif ini kita temui hampir dalam setiap agama.

Kemanusiaan adalah nila-nilai yang bisa menghilangkan sekat-sekat kesukuan, agama, dan budaya. Kemanusiaan bisa mempersatukan dan mendamaikan. Melihat manusia laik sebagai manusia adalah tugas kita bersama.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara. Para pendahulu kita sudah mendeklarasikan bahwa salah satu lima dasar negara ini adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil adalah kata yang menolak strategi pilih-pilih dan tidak membolehkan standar ganda. Sementara beradab adalah perwujudan nilai universal dari kemanusiaan itu sendiri bahwa tujuannya adalah keadaban, kedamaian, serta kesejahteraan. Aksi bela, tagar-tagaran, serta pengumpulan dana seharusnya dilakukan atas nama kemanusiaan dengan prinsip keadilan serta dengan tujuan keadaban. Dengan cara inilah, kita tidak terjebak pada solidaritas sempit pilih-pilih yang berlandaskan pada standar ganda.

This post was last modified on 3 April 2020 10:31 PM

Nur Asiah

View Comments

Recent Posts

Bahaya Provokasi Digital; Dari Mobilisasi Massa ke Monetisasi Kekerasan

Aksi demonstrasi massa yang terjadi di banyak kota tempo hari tentu tidak terjadi secara kebetulan.…

1 hari ago

Tradisi Muludan; Strategi Resolusi Konflik Berbasis Lokalitas ala Muslim Pedesaan

Jika kita rutin membuka media sosial belakangan ini, maka kita akan disuguhi berbagai informasi dan…

1 hari ago

Menerjemahkan Pesan Maulid Nabi di Kebisingan Kerusuhan dan Kekerasan

Pada tanggal 5 September, umat Islam di seluruh dunia akan memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW,…

1 hari ago

Harga Sebuah Amarah; Melihat Efek Demonstrasi Destruktif dari Sisi Ekonomi dan Psikologi

Dalam sepekan terakhir kita disuguhi pemandangan brutal ketika gerombolan massa meluapkan amarah kolektifnya. Ada yang…

2 hari ago

Agar Aspirasi Tak Tenggelam dalam Kebisingan Anarkisme

Gelombang demonstrasi terjadi di berbagai kota di Indonesia. Pada dasarnya, demonstrasi adalah hak konstitusional warga…

2 hari ago

Kampanye Khilafah; Gejala FOMO Kaum Radikal Menunggangi Fenomena Demonstrasi

Akun TikTok @ekalastri333 dengan pengikut 12, 9 ribu dan menulis di bio profilnya sebagai “pengemban…

2 hari ago